Mengatasi Sampah: Antara Etika dan Pengelolaan

Statistisi Ahli
Mengatasi Sampah: Antara Etika dan Pengelolaan 13/07/2020 4320 view Opini Mingguan ceritaprasmul.com

Pretty, clean, and nice. Itulah deskripsi dari seorang influencer Nas Daily tentang Singapura melalui video yang diunggahkan ke media sosial. Negara kecil ini berbatasan langsung dengan Indonesia, lebih tepatnya berada di seberang Pulau Batam Kepulauan Riau. Gambaran kota bersih ini sangat bertolak belakang dengan kondisi Indonesia yang saat ini dinilai sebagai negara penghasil sampah plastik nomor dua terbanyak di dunia.

Apa yang membuat Singapura menjadi negara yang begitu bersih? Ternyata, karena keterbatasan lahan membuat negara ini tidak mengenal Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Mereka menggunakan sistem pembakaran untuk semua sampah yang dihasilkan dengan menggunakan suhu 1.000 derajat celcius. Panas yang dihasilkan diubah menjadi energi untuk menghidupkan listrik. Asap dan abu hasil pembakaran juga diproses lebih lanjut hingga tidak merusak lingkungan (travel.detik.com).

Sangat berbeda dengan kondisi di Singapura. Sistem pengelolaan sampah di Indoensia menggunakan TPA sebagai tempat penampungan sampah, terutama di kota-kota besar. Banyaknya jumlah sampah yang diproduksi setiap hari membuat TPA nampak seperti bukit atau gunung kecil. Tidak hanya mengeluarkan bau dan menyebabkan berbagai penyakit, gunungan sampah ini juga bisa menelan korban jiwa jika terjadi longsor sampah.

Beberapa kota Besar di Indonesia memproduksi sampah yang luar biasa banyak perharinya. Perkiraan sampah yang dihasilkan DKI Jakarta perhari mencari 7,2 ribu ton di tahun 2018. Produksi sampah kota Surabaya perharinya juga tidak kalah banyak yaitu sebesar 2,2 ribu ton. Yang lebih memprihatinkan, Kota Pekanbaru yang jumlah penduduknya hanya sepertiga dari kota Surabaya tetapi jumlah produksi sampah perhari hampir separuhnya yaitu sebesar 1,1 ribu ton (Statistik Lingkungan Hidup 2019, BPS).

Dilansir dari katadata.co.id, jika dilihat berdasarkan jenisnya, sampah organik merupakan jenis sampah terbanyak yang dihasilkan yakni mencapai 60% dari total sampah. Sampah plastik menempati posisi kedua dengan 14% disusul sampah kertas 9% dan karet 5,5%. Sampah lainnya terdiri atas logam, kain, kaca, dan jenis sampah lainnya.

Sampah yang dihasilkan tidak hanya merusak keindahan (kumuh) dan menimbulkan berbagai penyakit, tetapi juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Selain itu, jika pengelolaan dan penanggulangan sampah tidak baik maka potensi terjadinya banjir akan jauh lebih besar. Untuk jangka panjang mengakibatkan berkurangnya daya tarik daerah baik untuk wisatawan maupun untuk investor. Yang sering terlupa dan tidak kalah penting, jenis sampah tertentu dapat merusak makhluk kecil yang tidak terlihat (mikroorganisme) serta unsur abiotik lainnya.

Jika memperhatikan jumlah, jenis, dan dampak dari sampah yang dihasilkan, menjadi pertanyaan besar bagi kita semua mengapa masyarakat Indonesia tidak menyadari akan hal penting tersebut. Apakah karena kurangnya pengetahuan tentang sampah? Apakah karena lemahnya pengawasan terhadap peraturan pemerintah? Apakah karena buruknya pengelolaan dan penanggulangan sampah? Atau Karena kurangnya etika lingkungan yang dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat?

Dalam upaya mengatasi masalah sampah, hal penting yang dibutuhkan adalah mengetahui, memahami, serta mengimplementasikan etika lingkungan dan pengelolaan lingkungan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal pengelolaan dibutuhkan penegakan dan pemberian sanksi yang jelas bagi mereka yang melakukan pengrusakan lingkungan.

Etika Lingkungan merupakan pedoman tentang cara berpikir bersikap, dan bertindak yang didasari atas nilai-nilai positif untuk mempertahankan fungsi dan kelestarian lingkungan. Dikutip dari Tim MKU PLH, (2016), etika lingkungan hidup memberikan pelajaran kepada kita bagaimana cara kita menghormati, menggunakan dan melestarikan alam. Apabila perilaku manusia terhadap alam baik maka alam akan berlaku baik pula kepada manusia. Terjadinya bencana pada saat-saat ini merupakan ulah dari manusia sendiri yang tidak bisa menjaga alam dengan baik. Oleh karena itu, bersahabat baiklah dengan alam.

Jika seluruh lapisan masyarakat memahami etika lingkungan maka akan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Manusia memiliki tanggung jawab terhadap keberlangsungan alam, sehingga dituntut untuk dapat melakukan pelestarian lingkungan. Tidak hanya mampu sebatas memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam, tetapi juga mampu menjaga kesinambungan alam itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan apabila memiliki pengetahuan yang cukup tentang lingkungan hidup.

Hal tersebut mengacu kepada konsep Sustainable Development Goals (SDGs) yang mengusung tiga lingkup yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Aspek ekonomi mengacu kepada kesejahteraan dan peningkatan pendapatan, aspek sosial mengacu kepada keterlibatan masyarakat, dan aspek lingkungan mengacu kepada keberlanjutan fungsi ekologi atau lingkungan.

Selain etika lingkungan yang harus dimiliki, pengelolaan lingkungan hidup yang disarikan dalam bentuk peraturan juga menjadi hal penting lainnya. Sistem pengelolaan yang meliputi pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup secara terpadu. Melalui pengelolaan yang baik diharapkan kelestarian lingkungan terwujud dan sumber daya alam dapat dimanfaatkan secara bijaksana.

Secara pribadi, masyarakat juga dapat melakukan upaya mengurangi dan mengelola sampah, yaitu dengan mengurangi konsumsi, melakukan konsumsi barang dan jasa yang ramah lingkungan, memilah sampah sesuai jenisnya, serta melakukan daur ulang sampah agar memiliki nilai ekonomis. Untuk jenis sampah organik, dapat dilakukan pengolahan dan pemanfaatan, yaitu untuk pupuk/kompos, makan ternak, atau diolah menjadi biogas dan energi listrik.

Yang terakhir, dalam hal pengelolaan perlunya penegakan hukum bagi siapapun yang melakukan pengrusakan lingkungan. Seringkali kita melihat masyarakat dengan santainya melakukan pelanggaran hukum lingkungan, seperti membuang sampah di jalan, di sungai, dan lain sebagainya. Tetapi tidak ada upaya penindakan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan. Butuh penegakan hukum untuk menimbulkan efek jera agar masyarakat tidak melakukan dan mengulangi kembali.

Dengan memahami etika dan pengelolaan lingkungan, diharapkan masalah sampah di kota-kota besar khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat teratasi atau minimal berkurang. Dan predikat Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik nomor dua terbanyak di dunia dapat segera berubah menjadi negara yang bersih dan dapat menyaingi Singapura. Semoga.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya