Joki Perguruan Tinggi

Berita mengenai terbongkarnya kasus perjokian karya tulis ilmiah semakin meruyak belakangan ini yang membuat kita pilu akan keadaan marwah perguruan tinggi. Nasib perguruan tinggi lagi-lagi diuji menyoal kasus pembuatan karya ilmiah sebagai ruh dari warga perguruan tinggi, terendus beberapa kelompok melakukan penyimpangan untuk membuat sebuah karya tulis ilmiah melalui joki.
Headline Kompas (11/02/2023) dengan judul "Usaha Perjokian Merajalela Pabrik Karya Ilmiah", membuat penasaran untuk mencari tahu lebih dalam bagaimana joki karya ilmiah bisa terjadi di perguruan tinggi. Hasil investigasi yang dilakukan oleh Kompas menyorot beberapa dosen, teramasuk lembaga bernama CLUE yang menyediakan jasa joki untuk kepentingan naik jabatan secara instan.
Bagaimanapun professor itu cerminan kampus. Investigasi oleh Kompas akhirnya membuat curiga atas dunia universitas selama ini. Apakah mereka (baca; mahasiswa) betul-betul menggunakan hasil pikir ide mereka untuk membuat karya ilmiah melalui buah pikir murni mereka? Atau jangan-jangan malah dipasrahkan oleh para joki hanya untuk menyandang gelar sarjana secara instan? Tak hanya professor, mahasiswa pun riskan melakukan hal yang sama.
Kasus ini alhasil terbongkar. Faktanya di tiang-tiang pojok kota banyak diberitakan jasa garap skripsi secara instan misalnya. Kebebasan akses dan lunturnya etika intelektualitas mafhum terjadi di tengah aras besar pasarime kiwari sedang menjamur. Universitas sebagai ruang aktualisasi ide yang memiliki kredibilitas seakan-akan jadi lahan gagah-gagahan tanpa menekan substani pengabaian kepada ilmu pengetahuan.
Bila saja hal tersebut terjadi, berarti bangunan pemahaman mengenai peranan intelektual dan cendekia belum terpatri pada diri peserta didik. Masuk perguruan tinggi, jangan-jangan dipahami sebagai kunci untuk masuk dalam logika pasarime yang membabi-buta marwah perguruan tinggi. Alhasil, Selembar ijazah mereka dewakan. Menyoal nalar kritis dan kebertanggungjawaban intelektual jadi opsi sekunder. Agar dapat gelar Strata 1 (S1) mahasiswa harus menyelesaikan penelitian kecil mereka yang terbilang tidaklah mudah.
Logika Pasarisme
Aras besar neoliberalisme bukan bualan belaka. Permintaan dan penawaran secara ekonomi jadi landasan bagaimana arah gerak peradaban terjadi. Logika ekonomi di atas segalanya mencerabut marwah perguruan tinggi. Perguruan tinggi mulanya itu yang membentuk insan ulil albab berubah menjadi ruang pembentuk bagi yang mendewakan homo economicus.
B. Herry Priyono dalam opininya di Majalah Basis (Nomor 07-08/Juli-Agustus 2002) berjudul Antara Uang dan Pendidikan, mengingatkan kita bagaimana ruang pendidikan riskan terkena imbas neoliberalisme. Menurut B. Herry Priyono, logika neoliberalisme ialah model yang mendasari semua tindakan dan realasi antar manusia, entah itu persahabatan, keluarga ataupun, pendidikan dinilai melalui konsep materialistik semata bernama pasar dan uang.
Menjamurnya joki di relung-relung perguruan tinggi bukanlah tanpa sebab. Keberadaan joki yang menjamur diakibatkan oleh perubahan orientasi warga perguruan tinggi memahami tugas-tugas intelektual seorang warga kampus hingga delapan sampai empat belas semester.
Tak semua memahami meniti jalur sunyi perguruan tinggi dengan bergelut dengan buku. Beberapa memahami dengan mendapatkan gelar dari perguruan tinggi, dapat dialihkan untuk beberapa kepentingan; karir politik hingga masuk sistem industri. Bryan Caplan dikenal sebagai intelektual libertarian kanan, dengan penuh ambisius berujar, “perguruan tinggi tidaklah lebih dari sinyal sosial dan hal yang membuang-buang waktu jika hanya bertujuan untuk membangun kemampuan bekerja”.
Narasi Caplan begitu menohok. Pasalnya baginya belajar di perguruan tinggi itu tak harus menyoal nalar kritis. Namun, masuk dengan sebandel uang, keluar mendapatkan selembar ijasah, baginya sudahlah cukup untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang serba dilihat dari segi ekonomi.
Buku gubahan Peter Fleming berjudul Dark Academia; Matinya Perguruan Tinggi (Footnote Press; 2021), adalah pelampiasan emosi Peter atas kondisi perguruan tinggi kiwari yang banyak sekali menyoretkan aspek kritik pada perguruan tinggi sendiri. “Kita tidak bisa mengesampaingkan fakta bahwasannya para akademisi terlibat dalam permainan neoliberal, tergoda oleh karerisme kompetitif dan sistem insentif, berharap dapat menjajaki pada posisi top atau bahkan terkenal.” (Hlm. 10).
Tak heran, mengapa perguruan tinggi banyak berlomba menarik mahasiswa sebanyak-banyaknya, ditambah konsep ranking yang kurang bisa dipertanggungjawabkan itu untuk kepentingan bisnis dalam kampus. Sehingga logika kacau membentuk perguruan tinggi terjadi.
Ketua Umum Akademisi Ilmu Pengetahua Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, praktik perjokian publikasi ilmiah di perguruan tinggi itu juga diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang memaknai mutu pendidikan sebatas “pencitraan” dengan cara dapat memproduksi jurnal sebanyak-banyakanya dan pastinya juga pencapaian ranking yang semu itu. (Kompas, 12/02/2023).
Keberadaan perguruan tinggi menjadi target legitimasi bagi para siswa untuk masuk ke ruang-ruang eksistensi semata bukanlah tanpa sebab. Penelitian Educational Testing Service (2015) menarik untuk kita refleksikan bersama. Penelitian tersebut menbedah sebab musabab runyamnya kepakaran di perguruan tinggi.
Ijazah SMA kurang lagi menjadi prasyarat untuk masuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Minimal punya ijazah perguruan tinggi untuk bersaing di dunia lapangan pekerjaan kiwari. Mafhum lulusan strata satu mulai menjamur terhendus pengaruh bahwasannya syarat mendapatkan pekerjaan itu minimimal punya bekal ijazah S1.
Munculnya beberapa joki, ternyata membuat tersenyum bagi mahasiswa yang mengorientasikan perguruan tinggi sebagai ladang mencari secarik ijazah. Buku Matinya Kepakaran gubahan Tom Nichols (Kepustakaan Populer Gramedia; 2018), membuka mata kita bagaimana orientasi warga perguruan tinggi untuk mengabdi kepada keilmuan telah berubah sedikit demi seikit oleh logika neoliberalimse yang memilukan dalam ruang-ruang perguruan tinggi.
Tak heran sampai hari ini, nasib perguruan tinggi dirundung pilu. Apakah menekankan sikap otentiknya yang menekankan mahasiswa itu sebagai partner dimana ia harus konsisten dan disiplin menyelami dunia pengetahuan? atau jangan-jangan mahasiswa telah berubah menjadi seorang klien yang siap menikmati fasilitas secara instan tanpa memperimbangkan kebertanggungjawaban seorang mahasiswa?
Artikel Lainnya
-
279301/01/2020
-
56921/12/2021
-
184222/03/2021
-
Menyoal Sistem Patron-Klien di Indonesia
182101/09/2021 -
Pemberlakuan Jalan Berbayar di Jakarta: Solusi Penanganan Kemacetan?
21810/02/2023 -
Quo Vadis Jaminan Keselamatan dan Kesejahteraan Guru
48611/06/2021