Harga Kemanusiaan di Balik Peperangan

Praktisi Pengelolaan Kinerja dan Risiko
Harga Kemanusiaan di Balik Peperangan 16/11/2023 4106 view Lainnya Kredit Gambar: Unsplash/Mohammed Ibrahim

Shifa, saat itu, tengah merasakan kehangatan dalam dekapan ibunya, meskipun malam itu penuh ketegangan. Di luar, dunia mereka runtuh dalam konflik bersenjata yang tak berkesudahan. Ribuan pengungsi lainnya saling berdesakan mencari tempat perlindungan dari teror yang datang dari langit.

Tiba-tiba, bunyi mengerikan desingan menggelegar, mengguncang mereka semua. Dalam sekejap, segalanya berubah menjadi dentuman keras yang mengoyak hati dan nyawa. Itulah suara terakhir yang mereka dengar, Shifa dan ratusan anak tak berdosa lainnya. Mereka menjadi korban tak bersalah dalam serangan rudal yang menghantam Rumah Sakit Al-Ahli di Gaza pada 17 Oktober lalu.

Shifa bukanlah nama yang sesungguhnya, tetapi tragedi yang menimpanya adalah cerminan pahit dari kenyataan yang menimpa banyak anak di Palestina yang kini terjebak dalam perang tak berkesudahan. Sejak Israel menyerang Jalur Gaza pada 7 Oktober, setidaknya 11.300 warga Palestina telah kehilangan nyawanya. Tragisnya, lebih dari 40 persen di antaranya adalah anak-anak yang tak berdosa.

“Konflik bersenjata selalu membawa dampak mengerikan bagi warga sipil,” ungkap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selama 15 tahun terakhir, konflik yang tak kunjung usai akibat okupansi Israel di tanah Palestina telah merenggut lebih dari 10 ribu jiwa, melukai 160 ribu orang, dan menggusur tempat tinggal 2 juta penduduk Jalur Gaza.

Krisis kemanusiaan serupa akibat peperangan tak hanya terjadi di Palestina. Sejak tahun 2000, Watson Institute (2023) memperkirakan bahwa lebih dari 3,8 juta jiwa telah meninggal dunia akibat konflik bersenjata di seluruh dunia.

Di Timur Tengah, Perang Saudara di Suriah (2011–sekarang), Konflik Darfur (2003–2020), dan Perang Afghanistan (2001–2021) telah menelan lebih dari satu juta nyawa. Dewan Keamanan PBB menegaskan bahwa setidaknya 90 persen dari korban jiwa dalam peperangan merupakan warga sipil.

Konsekuensi Kemanusiaan

Jatuhnya korban jiwa dan fisik, serta krisis kesejahteraan menjadi konsekuensi tak terhindarkan dari setiap konflik bersenjata.

Sejak awal Oktober, agresi Israel di Jalur Gaza telah mendorong 423 ribu warga Palestina meninggalkan tempat tinggalnya, ungkap Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR). Jumlah ini menambah angka 5,9 juta pengungsi Palestina yang sebelumnya telah mencari perlindungan di seluruh Timur Tengah akibat 56 tahun kejahatan apartheid Israel.

Pada akhir 2022, Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) mencatat ada 108,4 juta orang di seluruh dunia yang terusir dari tempat tinggalnya karena konflik dan pelanggaran hak asasi manusia. Dari jumlah tersebut, 35,3 juta di antaranya berstatus sebagai pengungsi, sementara 5,4 juta lainnya masih terus mencari suaka.

Namun, perjalanan para pengungsi untuk meninggalkan kawasan konflik tidak selalu menghasilkan kesejahteraan di tanah yang memberi suaka. Menurut UNHCR, pada awal 2023, dua dari tiga anak pengungsi terpaksa hidup dalam kemiskinan ekstrem. Misalnya di kamp-kamp pengungsi Suriah, sebuah yayasan kemanusiaan Jerman mencatat bahwa 13,4 juta orang harus bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.

Peperangan juga menorehkan luka mendalam bagi anak-anak, yang merupakan kelompok paling rentan. Saat ini, lebih dari sejuta anak terjebak di tengah konflik Gaza, seperti diungkapkan nirlaba internasional Save the Children. Banyak dari mereka tak dapat melanjutkan pendidikan karena sekolah-sekolah yang ditutup dan rusak parah, termasuk sebuah sekolah milik PBB yang dihancurkan dalam serangan Israel di kamp pengungsi al-Maghazi pada 17 Oktober.

Putusnya akses pendidikan membuat Palestina kehilangan potensi-potensi pembangunan di masa depan yang seharusnya ditopang oleh generasi muda. Belum lagi ditambah 22 ribu anak yang harus melanjutkan hidup usai kehilangan orang tuanya. Menurut Euro-Mediterannean Human Rights Monitor, sekitar 93 persen anak di Gaza mengalami trauma berat akibat konflik yang terus berkecamuk di sekitarnya.

Peperangan senantiasa menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Warga sipil, khususnya anak-anak, selalu menjadi korban utamanya. Mampukah kita menghindari tragedi kemanusiaan yang terus berulang ini?

Mengadili Peperangan

Pada 1945, PBB lahir dari puing-puing Perang Dunia Kedua yang telah merenggut nyawa hingga 60 juta orang. Misi utamanya, tertuang dalam kalimat pertama Pembukaan Piagam PBB, adalah "menyelamatkan generasi mendatang dari penderitaan perang, yang selama dua kali dalam kehidupan kita telah membawa kepedihan mendalam bagi umat manusia."

Meski demikian, sejak pendiriannya 78 tahun lalu, dunia telah menyaksikan 285 konflik bersenjata dengan total korban jiwa mencapai 19,4 juta orang. Konflik Palestina dan Israel merupakan salah satu di antaranya yang masih terus berlangsung sejak tahun 1948.

Peperangan bukannya tak terhindarkan, karena ia merupakan bencana buatan tangan-tangan manusia. Organisasi internasional seperti PBB, ASEAN, dan Uni Eropa memegang peran penting dalam mencegah konflik melalui mediasi dan diplomasi preventif. Sayangnya, upaya ini tak selalu berhasil.

Kasus penjajahan Israel atas Palestina (1948–sekarang), konflik Kashmir (1947–sekarang), dan Genosida Kamboja (1975–1979) menjadi contoh kelam bagaimana resolusi perhimpunan negara-negara seringkali hanya menjadi solusi simbolis yang tak berlaku di zona konflik.

Menuntut keadilan atas kejahatan perang merupakan salah satu langkah tegas untuk merespons situasi ini. Selama agresi Oktober 2023, Amnesty International menemukan banyak bukti kuat mengenai kejahatan perang Israel, termasuk serangan tanpa ampun yang menyebabkan kematian massal warga sipil dan menghancurkan banyak keluarga di Gaza.

“Selama 16 tahun, blokade Israel telah membuat Gaza menjadi penjara terbesar dunia,” tegas Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International. Meski Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah memulai penyelidikan atas kejahatan perang tersebut sejak 2019, hingga kini belum ada satupun hukuman yang pernah dijatuhkan.

Menyidangkan kejahatan perang adalah upaya konkret mencegah konflik bersenjata yang berulang, sekaligus memberikan keadilan bagi korban konflik dan juga komunitas internasional. Namun, tindakan ini dapat menimbulkan tensi lebih lanjut yang membutuhkan pertimbangan rumit antara memilih keadilan, mediasi, atau keseimbangan di antara keduanya.

Pada akhirnya, jalan terbaik untuk menjaga perdamaian adalah dengan mengingat betapa besarnya nilai-nilai kemanusiaan yang direnggut dalam kejamnya peperangan. Dengan demikian, kita dapat menghentikan siklus berulangnya peperangan yang membawa penderitaan tak berkesudahan bagi umat manusia.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya