Perempuan Papua dalam Genggaman Patriarki
Presiden Joko Widodo dalam keaktifannya merespon Papua sangat gencar dan cepat. Pembangunan infrastruktur di Papua dapat dikatakan sangat hebat. Hal tersebut menjadi poin plus tersendiri dari perhatian Presiden Jokowi untuk masyarakat Papua. Papua yang dahulunya dilauti oleh pohon-pohon dan endemik langka, kini dapat disulap dengan jalan-jalan lintas daerah. Masyarakat Papua dipermudah oleh proyek Presiden Jokowi dalam menjalankan dinamika sehari-hari seperti, sekolah, berkebun, berinteraksi dengan suadara, dan sebagainya.
Acungan jempol untuk Bapak Presiden Jokowi dalam merespon pembangunan Papua. Tetapi Papua sejak dahulu hingga saat ini tidak hanya diliputi oleh permasalahan infrastruktur, melainkan juga HAM. Papua memang sudah sejak zaman orde baru selalu mendapat perlakuan seperti anak tiri. Kehadiran pemerintah bagaikan selimut penghangat masyarakat Papua, tetapi di dalam selimut terjadi permainan oleh para petinggi negara. Sumber daya alam Papua sangat melimpah dan penggerusan serta perampasan merajalela di tanah Papua.
Setiap orang yang memiliki kuasa berhak mengeksploitasi tanah Papua, termasuk orang Papua itu sendiri. Penembakan dan pembunuhan di Papua sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah terjadi. Salah satu kasus kematian akibat penembakan ialah pendeta Yeremia Zanambani yang tewas ditangan TNI dalam operasi militer. Masyarakat Indonesia khususnya Papua sudah tidak kaget dengan pemaparan berita penembakan di Papua. Makanan sehari-hari orang Papua bukan sagu, melainkan mendengar kabar saudaranya yang mati karena dituduh OPM, melawan aparat, dan sebagainya.
Perempuan Papua terlebih sangat sering tidak mendapatkan perlakuan manusiawi oleh siapa pun, termasuk orang Papua itu sendiri. Perempuan Papua sering melaporkan kasus seperti perlakuan kasar yang didapatinya ke berbagai lembaga HAM. Mereka mengaku sering mendapatkan perlakuan yang sangat tidak lazim dari suami dan aparat.
Mama-mama Papua sering bercerita tentang kebiasaan suaminya yang sering berlaku kasar terhadap dirinya. Perempuan menjadi kepala keluarga yang harus keluar masuk hutan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sedangkan laki-laki berdiam diri dan mabuk. Tidak semua perempuan di Papua mendapatkan perlakuan yang buruk dari suami, bahkan ada yang merasa sangat disayangi, tetapi banyak pula yang menyatakan sebaliknya.
Kekerasan yang dialami mama-mama Papua tidak hanya dari suami, melainkan dari oknum aparatur negara. TNI dan Polisi yang bertugas di Papua memiliki wewenang untuk mengatur dan menjaga keamanan tanah dan masyarakat Papua. Di balik seragam gagahnya, terdapat penyelewengan yang terjadi yang dilakukan oleh oknum aparatur negara terhadap perempuan. Perempuan Papua sering angkat suara tentang dirinya yang diperlakukan layaknya teroris. Orde baru salah satu era di mana perempuan mengalami kebengisan dan tidak dianggap memiliki harga diri. Rentetan senjata menjatuhkan dan melumpuhkan banyak perempuan di tanah damai tanah Papua.
Mereka menyambangi lembaga-lembaga HAM dengan menunjukan bekas luka memar atau tembakan atas perlakuan suami atau aparat. Laporan kasus-kasus mereka diteruskan hingga ke pengadilan, tetapi seperti biasa, berhenti dan tidak diusut. Keberpihakan hukum terhadap merekalah yang membuat mama-mama perempuan malas untuk melanjutkan kasusnya ke ranah hukum.
Negara Indonesia memang sebagian besar daerahnya dibaluti dengan budaya patriarki. Laki-laki lebih mendominasi dibandingkan perempuan. Tidak sejajar kedudukan kedua belah pihak, dapat menghancurkan keberlangsungan kehidupan antar gender. Terdapat pola kehidupan yang sangat kompleks di Papua, pertama, perempuan tidak dapat berdaya dihadapan laki-laki, sehingga memungkinkan laki-laki bertindak sesuka hati. Kedua, laki-laki mampu memperdaya perempuan tapi tidak dengan aparatur negara, sebab kedudukannya kalah tinggi. Ketiga, aparatur negara karena memiliki kekuasaan dan kedudukan, mendapatkan posisi tertinggi.
Presiden Jokowi dalam pidatonya tentang Papua menyampaikan kesedihannya karena Papua dinilai sangat minim dalam infrastruktur. Bapak Presiden seharusnya juga ingin menangis melihat penindasan kemanusiaan di Papua. Sebab beberapa kali ditemukan penyelewengan HAM dilakukan oleh oknum TNI dan Polisi.
Sampai detik ini di era kepemimpinan Presiden Jokowi, kasus pelanggaran HAM rakyat Papua khususnya perempuan tetap ada. Keberlangsungan pembangunan infrastruktur di Papua seharusnya dapat diimbangi dengan kesejahteraan dan ketentraman rakyat Papua. HAM harus dilirik dan dibangun semegah mungkin layaknya Jalan Trans Papua, bandara, stadion, jembatan, dan lainnya.
Jembatan lintas daerah dan Jalan Trans Papua dapat dirancang dan direalisasikan untuk memudahkan kegiatan rakyat Papua. Hal ini menunjukan kepada kita semua bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia juga dapat membangun jembatan untuk menanggulangi kasus HAM di Papua. Aparatur negara, laki-laki, dan perempuan, perlu dijembatani supaya kasus kekerasan dan penembakan dapat diminimalisir sedemikian rupa. Yang tidak kalah pentingnya ialah hukum harus membuka mata dan adil terhadap seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Papua juga bagian dari Indonesia dan Indonesia tidak hanya pulau Jawa.
Artikel Lainnya
-
100725/04/2022
-
10330/08/2024
-
258708/02/2020
-
Harta, Tahta, dan Newcastle United
93515/10/2021 -
Pentingnya Peran Orang Tua pada Pendidikan Seks Anak
101904/07/2021 -
Menilik Program Kartu Pra Kerja yang Diluncurkan Di Tengah Wabah Corona
182819/04/2020