Meneropong Masa Depan Anak Berhadapan Dengan Hukum
Saat ini, hukum mengenai peradilan pidana anak diatur dalam Undang - Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Batasan umur anak pada pasal 1 ayat (3) UU SPPA yang menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur dua belas tahun akan tetapi belum berumur delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, perkara anak yang berkonflik dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili, pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak.
Dalam hal penyelesaian perkara pidana anak, pengadilan anak mengupayakan untuk kepentingan terbaik anak, baik dari segi fisik maupun psikologis. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para aparat penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian perkara pidana di luar jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Dalam pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Selanjutnya, pasal 1 ayat (6) menyebutkan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Salah satu dari proses pengadilan anak adalah adanya diversi seperti disebutkan pada pasal 1 ayat (7) UU SPPA, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Selanjutnya, Pasal 6 menyebutkan tujuan diversi adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Maka dari itu, dengan kata lain, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut di atas adalah entry point pertama bagi ABH agar memiliki masa depan yang cerah.
Revitalisasi Program Pembinaan ABH di LPKA
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa. Sehingga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh berkembang, berpartisipasi, serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Tak terkecuali bagi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang saat ini menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Karena anak menurut Nasir Djamil dalam bukunya Anak Tidak Untuk Di Hukum adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini.
Perlindungan terhadap hak anak yang merupakan suatu bentuk perwujudan perlindungan hak asasi manusia. Perlindungan terhadap anak merupakan suatu tindakan yang wajar, karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Agar anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu juga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Anak yang karena suatu hal harus berhadapan dengan hukum dan menjalani masa pidana di LPKA, tentu mendapatkan penanganan dan perlakuan yang berbeda. Penanganan ABH disiapkan untuk mereka menjadi generasi yang mampu mengambil pelajaran hidup yang amat berharga bagi kehidupannya.
Pelaksanaan pemberian pelayanan, perlindungan, pembimbingan, pembinaan, dan pendidikan, serta perawatan yang diberikan saat proses peradilan, serta penempatan anak di LPKA adalah dalam rangka membina anak agar menjadi manusia yang berguna dan bertanggung jawab untuk dirinya sendiri di tengah kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Anak memang harus tetap menjadi titik sentral, untuk mendapatkan haknya memperoleh pendidikan, kesehatan, identitas, dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Maka dari itu, perlindungan terhadap hak anak harus dikedepankan. Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting diprioritaskan.
Menurut pendapat pribadi saya, ada 3 hal yang harus di lakukan oleh LPKA agar ABH memiliki masa depan yang cerah yaitu, Pertama, memperbaiki SDM, insfrastruktur dan fasilitas yang ada di LPKA. Karena anak memiliki mental yang masih labil, untuk menghindari trauma pada anak, pembinaan yang ada di LPKA harus menyesuaikan dengan kondisi ABH. Pembenahan mulai dari bangunan fisik LPKA sebisa mungkin terbuka tidak seperti bangunan lapas pada umumnya, seragam petugas juga harus humanis, bersahabat dan ramah anak (tidak militeristik seperti segaram petugas lapas pada umumnya), perbanyak ruang bermain dan membaca anak, pemenuhan gizi ABH harus diperhatikan, dan peningkatan kapasitas petugas LPKA melalui diklat, seminar, dan semacamnya terkait tema anak agar petugas tahu betul mengenai seluk beluk pembinaan anak.
Kedua, pembinaan di LPKA yang bersifat edukatif. Sebisa mungkin pembinaan yang ada di LPKA bersifat edukatif tidak militeristik. Bisa bekerjasama dengan dinas pendidikan atau lembaga yang bergerak di bidang pendidikan untuk pengadaan kegiatan belajar mengajar di dalam LPKA karena pendidikan adalah titik masuk yang selanjutnya agar anak memiliki masa depan yang baik. LPKA juga harus menyediakan atau membuat laboratorium khusus ABH untuk berkreasi mengembangkan minat dan bakatnya karena anak biasanya memiliki banyak ide dan imajinasi, sebisa mungkin pihak LPKA mewadahi itu semua dalam satu sistem pembinaan terpadu dan terintegrasi.
Ketiga, membantu pengembangan diri dan mental ABH. melibatkan partisipasi aktif ABH dalam merancang program pembinaan adalah solusi yang tepat. Mengajak ABH untuk mengadakan forum group disscusion (FGD) dan bisa di evaluasi berkala. LPKA bisa berkerjasama dengan lembaga konseling yang konsen dalam bidang pengembangan diri atau karakter untuk membantu membentuk ABH yang lebih baik dari segi mental dan mainset.
Membantu ABH agar memiliki masa depan yang cerah tidak hanya bisa dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH), petugas LPKA, pembimbing kemasyarakatan pada balai pemasyarakatan, instansi pemerintah terkait, dan NGO/lembaga fokus pada ABH saja akan tetapi juga menjadi tugas pokok seluruh elemen masyarakat Indonesia.
Artikel Lainnya
-
254628/05/2021
-
171418/10/2019
-
47924/11/2024
-
1001 Makna di Balik Omnibus Law
215712/10/2020 -
Sampah dan Kesadaran Etis Masyarakat Kita
211613/07/2020 -
Pancasila dan Pembentukan Karakter Orang Muda Katolik (OMK)
143403/11/2022
