Ketika Sekolah Jadi Arena Kekerasan

Staf Pengajar dan Staf Media Litbang pada Sekolah Regina Caeli, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat; Alumnu
Ketika Sekolah Jadi Arena Kekerasan 24/11/2024 182 view Pendidikan cnnindonesia.com

Sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak, kini berubah menjadi ajang kekerasan. Kasus-kasus kekerasan yang terus meningkat, sebagaimana diangkat dalam Tajuk Rencana Kompas pada 7 Oktober 2024, menggambarkan betapa rapuhnya sistem pendidikan dalam melindungi anak-anak. Ironisnya, para pelaku kekerasan sering kali adalah orang-orang dewasa, yang dipercaya untuk mendidik dan melindungi, seperti guru, kepala sekolah, hingga pembina Pramuka. Pertanyaannya adalah apa yang mesti kita buat? Hemat saya, kasus seperti ini bukan sekadar kasus terisolasi, melainkan sinyalemen adanya masalah sistemik dalam lingkungan pendidikan kita.

Regulasi Tanpa Taji

Meski berbagai regulasi telah dibuat, seperti Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023, realitas di lapangan menunjukkan betapa minimnya dampak aturan tersebut. Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) (Kompas, 4/10/2024) menunjukkan lonjakan kasus kekerasan di sekolah, bahkan setelah ribuan sekolah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Pada September 2024 terjadi lonjakan kasus kekerasan di sekolah, yaitu 12 kasus dalam kurun waktu sebulan. Ini berbanding terbalik dengan total kasus dari Januari sampai dengan Juli 2024, yaitu tercatat sebanyak 36 kasus kekerasan di sekolah. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa aturan yang sudah dibuat tidak mampu menekan kasus kekerasan?

Menurut Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970: 73–74), pendidikan seharusnya menciptakan kesadaran kritis dan hubungan yang setara antara pendidik dan peserta didik. Namun, di Indonesia, sistem pendidikan masih didominasi oleh struktur hierarkis yang menempatkan guru sebagai otoritas tertinggi. Ketimpangan kekuasaan ini sering kali menjadi celah bagi praktik kekerasan.

Perlu Pendekatan Lebih dari Sekadar Hukuman

Untuk menciptakan perubahan yang nyata, sekolah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih holistik. Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan adalah restorative justice, sebuah metode yang fokus pada pemulihan hubungan dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Pendekatan ini telah berhasil diterapkan di banyak negara dalam mengurangi kekerasan di lingkungan pendidikan. Misalnya, di Pittsburgh, Amerika Serikat, penerapan pendekatan ini di lingkungan sekolah berhasil menurunkan angka suspensi siswa hingga 36%, jauh lebih tinggi dibandingkan sekolah yang tidak mengadopsi pendekatan tersebut. Strategi seperti proactive circles dan restorative conferences digunakan untuk membangun rasa saling menghormati melalui dialog terbuka antara siswa dan staf (RAND Corporation, 2019: 23–25).

Di Inggris, penerapan restorative justice telah berhasil memperbaiki iklim sekolah dan menurunkan tingkat konflik di antara siswa. Pendekatan ini mampu menggeser fokus dari hukuman menuju perbaikan hubungan dan penyelesaian masalah secara kolektif (UK Restorative Justice Council, 2020: 12–15).

Sementara itu, di Selandia Baru, pendekatan ini bahkan telah diadopsi secara nasional untuk menangani perundungan dan konflik di sekolah. Dengan melibatkan komunitas sekolah secara keseluruhan, pendekatan ini mampu menciptakan ruang belajar yang lebih aman dan inklusif (New Zealand Ministry of Education, 2018: 8–10).

Keberhasilan pendekatan restorative justice di berbagai negara ini menunjukkan bahwa langkah-langkah nyata yang berbasis pada hubungan dan dialog, dapat menjadi solusi efektif dalam mengurangi kekerasan di sekolah. Pendekatan ini menawarkan jalan keluar dari pola kekerasan yang sering kali hanya dihentikan melalui hukuman, tetapi tidak benar-benar menyelesaikan akar permasalahannya.

Selain itu, pelatihan intensif bagi tenaga pendidik sangat penting. Guru tidak hanya perlu menguasai materi ajar, tetapi juga harus mampu membangun relasi empatik dengan peserta didik. Guru harus dibekali dengan kompetensi dan kesadaran tentang hak-hak anak, serta metode disiplin yang positif.

Daniel Goleman, dalam Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (1995), menekankan pentingnya kemampuan pengelolaan emosi, terutama di lingkungan pendidikan. Dengan pengelolaan emosi yang baik, guru dapat menciptakan suasana kelas yang kondusif tanpa perlu menggunakan kekerasan.

Pilar untuk Sekolah yang Aman

Tidak ada satu pihak pun yang bisa mengatasi masalah ini sendirian. Sinergi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat adalah kunci dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak. Orang tua perlu lebih aktif berpartisipasi dalam pendidikan anak, terutama dalam membangun karakter. Sementara itu, sekolah harus menjadi tempat yang transparan, di mana dialog antara pihak sekolah dan orang tua terbuka lebar. Di samping itu, sekolah penting mengubah paradigma dari pendekatan hukuman menjadi pendekatan yang berbasis empati dan restorasi.

Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting. Anak-anak, tidak jarang, menghabiskan banyak waktu di luar sekolah, dan ruang-ruang publik harus aman serta mendukung perkembangan mereka. Kerja sama lintas sektor, baik antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas, menjadi mutlak agar anak-anak mendapatkan ruang yang aman dan nyaman untuk belajar dan tumbuh.

Bukan Sekadar Janji Kosong

Jika regulasi yang telah dibuat hanya berakhir sebagai simbol tanpa implementasi, maka kekerasan di sekolah akan terus berlanjut. Pemerintah perlu memastikan adanya evaluasi berkala atas kebijakan yang sudah berjalan, serta menindak tegas pelanggaran yang terjadi. Tanpa aksi nyata, kekerasan akan terus mencemari sekolah, dan anak-anak kita akan terus menjadi korban dari ketidakmampuan sistem pendidikan dalam melindungi mereka.

Perlu ada langkah berani untuk mengubah arah. Dengan memperkuat komitmen semua pihak, memberikan pelatihan yang tepat bagi guru, dan membangun sinergi yang kuat antara sekolah dan masyarakat, kita bisa menghentikan siklus kekerasan ini. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa sekolah kembali menjadi tempat yang aman, ramah, dan mendidik bagi setiap anak.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya