Menakar Sisi Lain Kemarahan Bupati Alor ke Mensos

Pegiat Literasi
Menakar Sisi Lain Kemarahan Bupati Alor ke Mensos 06/06/2021 852 view Politik tribuanapos.net

Masih ingat video berdurasi 3,9 detik yang viral 1 Juni lalu? Ya, video itu berisi luapan emosi Bupati Alor, NTT Amon Djobo yang tengah memarahi staf Kemensos dan Mensos Tri Rismaharini.

Sebelumnya saya harus tegaskan, tulisan ini tidak bermaksud membela bupati Alor. Karena tulisan ini dikirim dari seberang. Dari Diaspora Alor di Kupang. Yang membaca tulisan ini, pastikan bahwa ia tak pernah berujar kasar, juga makian terhadap orang lain alias suci.

Pastikan juga bahwa anda sudah memarahi dan mengecam Adian Napitupulu yang konon menyebut Prabowo sebagai pengurus kuda yang baik atau murka atas Rocky Gerung, misalnya yang pernah menyebut Jokowi dungu dan masih banyak hal serupa lainnya yang sudah dipertontonkan sejumlah pejabat dan elit negeri ini

Baiklah silahkan dilanjutkan. Saya ingin menekankan, publik seharusnya tak hanya fokus pada teks, audio atau video yang hanya berdurasi 3,9 detik itu. Tapi keseluruhan konteks, termasuk kondisi di luar video itu. Sekali lagi, keseluruhan konteks, bukan teks.

***
Usai klarifikasi Menteri Risma dan permintaan maaf Bupati Amon, saya mencoba untuk meneropong keseluruhan konteks dan menakar sisi lain dari peristiwa ini. Semoga bacaan saya benar atau setidaknya mendekati benar.

Saya tidak perlu lagi mengulang menulis teks dari isi video 3,9 detik itu. Karena saya yakin publik atau netizen sudah berulang kali mendengarnya. Mari kita lihat beberapa hal: Pertama, kuat dugaan, video yang beredar sudah disetting oknum tertentu. Sebut saja, antara video permintaan maaf dan marah-marah bupati. Penyebar video sepertinya sengaja mengamplify masalah ini dengan cara mengupload di medsos baik YouTube maupun Whatsapp, karena peristiwa menghebohkan itu sudah terjadi April lalu dan baru viral sekarang.

Sebab, dalam video permintaan maaf itu terlihat sang Bupati tengah memberi sambutan pada sebuah pertemuan dengan masyarakat dan kemungkinan besar dihadiri sejumlah unsur Forkopimda Alor. Karena kalau video minta maaf, biasanya dilakukan dengan press conference atau jumpa pers. Tapi sekali lagi ini dalam sebuah acara. Semoga dugaan saya salah.

Kedua, soal tanggapan Mensos Risma. Kala itu, Risma menjelaskan panjang lebar soal kondisi di Alor, atau umumnya NTT, termasuk soal jaringan internet dan telepon selular yang masih terganggu. Tapi pertanyaannya, mengapa Bupati dan Ketua DPRD Alor itu sama-sama sedang berada di satu wilayah, tepatnya di Kota Kalabahi, tapi jaringan di smart phone Ketua DPRD, Enny Anggrek yang justru terhubung, lantas Bupati Amon tidak?

Hal ini membuat spekulasi dan memunculkan pertanyaan lainnya, mengapa jaringan selular atau internet hanya bisa ada di ponsel pemilik sesama pengguna seragam merah? Jika benar, mengapa Enny enggan berkoordinasi dengan pihak eksekutif dalam hal ini bupati? Ada apa? Yang harus dipahami publik, entah Program Keluarga Harapan (PKH) maupun bantuan biasa, seharusnya menjadi sepengetahuan dan melalui koordinasi bupati sebagai pemimpin wilayah, sebab bupati bukan pemimpin dapil satu atau dapil dua. Sekali lagi, bukan dapil satu atau dapil dua, tapi pemimpin seluruh masyarakat di Kabupaten Alor.

Jika eksekutif enggan dilibatkan dan malah legislatif kukuh berada dibalik penyaluran bantuan itu, lantas siapa yang akan bertugas mengawasi jika ada sesuatu yang terjadi kemudian? Jelas, secara etika pemerintahan, kemungkinan besar bagi Amon, ini sangat melecehkan eksekutif, khususnya dirinya sebagai bupati. Dugaan saya Amon berang karena eksekutif diabaikan kemudian bantuan ini sangat berpotensi dipolitisir. Lantas, ada yang bertanya, pasti Amon menginginkan agar dirinya yang menyalurkan bantuan itu sehingga ia bisa mencari panggung politik atau mencari empati rakyat. Di sini saya bisa tegaskan, masa jabatan Amon segera berakhir 2023, mungkinkah ada periode ke tiga untuknya? Tidak, bukan?!

Saya rasa kepentingan politik Amon sudah tidak ada, murni kepentingan pelayanan kemanusiaan. Itu yang tergambar saat kemarahannya. Baginya, pelayanan kemanusiaan seharusnya tanpa embel-embel dan bukan jadi ajang mencari panggung. Dan baginya, pelayanan kemanusiaan harus sesuai mekanisme, teknis dan etika pemerintahan. Itu prinsip kuatnya. Itu tentu jauh lebih bermartabat. Jika tidak, maka harga diri daerah dan eksekutif cenderung diremehkan dan direndahkan oleh Pemerintah Pusat, maupun oleh Ketua DPRD sendiri yang tempo hari enggan mengkoordinasikan hal itu dengan Bupati Alor.

Pada titik ini, sesungguhnya sikap dan lemahnya komunikasi Enny menunjukan dirinya sebagai pribadi yang bukan sebagai seorang tokoh atau panutan bagi legislatif, juga bukan tokoh bagi masyarakat di dapil satu, apalagi panutan bagi masyarakat Alor. Tidak! Wibawa DPRD Alor pun hari-hari ini seakan redup dan hilang di tangan pemilik pengusaha itu, eh maksud saya pemilik toko itu.

Keempat, terlepas dari tempramen bupati, siapa yang tak kesal kalau setelah bantuan itu disalurkan sedemikian rupa, lantas eksekutif baru diberitahukan kemudian hari? Di sinilah pentingnya kita memahami konteks. Kemarahan bupati pun tak terbendung kala semua persoalan terakumulasi dalam sebuah ruang diskusi.

Dan menariknya, berita yang beredar bahwa usai kejadian, Bupati Amon sudah meminta maaf kepada dua staf kemensos dan menteri Risma patut diacungi jempol, bukan masalah ini kemudian diamplify dan diupayakan agar mendatangkan kegaduhan dalam pemerintahan. Sekali lagi, rentetan video viral ini, kuat dugaan ada di bawah sebuah settingan yang rapih dan terstruktur. Dan, tujuan terselubungnya pasti ada.

Jika itu yang menjadi keinginan para elit atau kelompok tertentu, maka selain urusan kemanusiaan, sebenarnya apa yang sedang dicari Ketua DPRD Alor dan Bupati Alor?

Sesungguhnya, baik Bupati Alor Amon Djobo dan Ketua DPRD Alor Enny Anggrek sedang tidak akur. Ini bisa dilihat dari gestur dan komunikasi politik belakangan ini.

Enny dalam berbagai berita di media massa, justru melapor Bupati Alor, begitupun sang Bupati yang kekeh keinginannya harus dituruti Ketua DPRD Alor. (detik.com).

Lantas, sampai kapan kerenggangan hubungan antara Eksekutif dan legislatif berakhir? Bisakah Amon dan Enny berdamai?
Jika dua belah pihak tidak berdamai dan mengalah lantas mau dibawa kemana negeri Seribu Moko?

Rakyat kuatir dikorbankan. Rakyat takut disakiti. Cukup rakyat menderita karena pandemi dan badai seroja, jangan sampai persoalan kemiskinan, pengangguran, kekerasan dan lainnya terus meraja di Alor, karena pemerintah abai dan sibuk mengamankan kepentingannya dan memenangkan dirinya sendiri ketimbang memenangkan rakyat dari persoalan kemiskinan, pengangguran dan sejumlah persoalan lainnya.

Saya salut dan bangga atas upaya Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat (VBL) yang atas izin Mendagri hendak menyelesaikan sekaligus mendamaikan Bupati Alor dan Mensos. Besar harapan saya dan mungkin kita semua, VBL bisa lakukan hal yang sama, mendamaikan Amon dan Enny. Semoga.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya