Ekonomi Digital Untuk Siapa?

Statistisi Muda BPS Kabupaten Bantul
Ekonomi Digital Untuk Siapa? 06/06/2021 1090 view Ekonomi kompasiana.com

Pandemi covid-19 seakan mengubah cara hidup dan bekerja manusia dalam sekejap. Sesuatu yang awalnya bisa dilakukan dengan tatap muka, saat ini harus beralih ke media daring. Ekonomi digital pun telah memperoleh banyak manfaat dari krisis covid-19. Banyak dari kita sekarang bekerja dari rumah menggunakan layanan cloud dan video conference, memesan makanan melalui platform digital, dan membeli berbagai macam barang secara online.

Dari aspek ekonomi, nilai transaksi e-commerce Indonesia melalui market place pada tahun 2020 juga tercatat telah mencapai US$ 32 miliar (Rp. 465,7 triliun) atau justru meningkat dibandingkan sebelum pandemi yang hanya sebesar US$ 21 miliar (laporan e-Conomy SEA yang disusun Google, Temasek, dan Bain & Company). Nilai transaksi tersebut merupakan yang terbesar di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Hal ini salah satunya disebabkan populasi penduduk Indonesia yang mencapai 270,2 juta jiwa pada tahun 2020, sehingga merupakan pasar yang “renyah” bagi e-commerce baik lokal maupun global.

Gambaran ini seakan mempertegas bahwa covid-19 memang telah mempercepat trend digitalisasi. Namun demikian, masih ada kelompok masyarakat yang berpeluang terpinggirkan dari proses transformasi digital ini di antaranya kelompok berpendidikan rendah dan orang-orang yang tinggal di daerah pelosok negeri.

Tak Semua Menikmati

Dilihat dari latar belakang pendidikan, pengguna internet di Indonesia lebih dari setengahnya merupakan lulusan SMP ke bawah. Pemanfaatan internet di Indonesia juga masih didominasi untuk keperluan media sosial. Penggunaan internet yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi hanya sekitar 34,84 persen (Susenas, 2019).

Selain itu, berdasarkan survei E-Commerce 2020 yang dilakukan BPS, sekitar 90,56 persen usaha yang menggunakan media online melakukan penjualannya hanya dengan pesan instan seperti Whatsapp, Line, Telegram dan sebagainya. Sementara yang mempunyai akun penjualan di marketplace/platform digital hanya sekitar 25,72 persen.

Infrastruktur digital kita juga belum sepenuhnya merata meskipun sudah terbangun jarigan backbone Palapa Ring dan lebih dari 533.000 BTS. Utilisasi jaringan fiber optic Palapa Ring masih rendah untuk kawasan timur Indonesia yang pada awal tahun 2021 baru mencapai 17%. Kawasan tengah dan timur Indonesia juga masih dijumpai banyak wilayah blank spot.

Berdasarkan data Potensi Desa (Podes) 2019, daerah yang belum terjangkau jaringan internet seluler mencapai 5.346 desa. Sekelumit profiling dunia digital tersebut seakan mendukung hasil penelitian The Economist Intelligence Unit (2020), yang menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dalam hal indeks internet inklusifnya di kawasan asia tenggara di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand.

Tren digitalisasi yang masif pada tahun 2020 dan 2021 kemungkinan masih akan terjadi selama masa pemulihan ekonomi. Oleh karena itu potensi dan peluang ini harus diambil pemerintah dengan menjadikan sektor ekonomi digital sebagai kunci dalam melakukan pemulihan ekonomi, terutama sektor e-commerce yang mempunyai pangsa ekonomi yang besar. Permasalahan inklusivitas perlu segera dipikirkan agar semua masyarakat mampu menikmati berkah ekonomi digital ini. Dua hal yang menjadi penentu terwujudnya ekonomi digital yang inklusif adalah aspek konektivitas yang ditentukan oleh kualitas infrastruktur dan aspek literasi yang berkaitan erat dengan tingkat pendidikan.

Meningkatkan Konektivitas

Saat ini pemerintah memang hanya dilengkapi ruang fiskal yang terbatas dalam pengelolaan keuangan negara karena anggaran banyak terserap untuk penanganan dan pengendalian covid-19. Upaya untuk membangun infrastruktur baru maupun perluasan, praktis saat ini harus dilakukan dengan menggandeng pihak swasta. Skema pendanaan USO (Universal Service Obligation) perlu lebih diutamakan dibandingkan dari APBN. Investor asing langsung (FDI) juga bisa menjadi alternatif untuk mempercepat digitalisasi.

Dari pengalaman, pihak swasta biasanya lebih tertarik berinvestasi di daerah perkotaan dibandingkan perdesaan. Dari hitung-hitungan bisnis memang daerah perkotaan lebih menjanjikan karena populasi yang relatif mengumpul dan infrastruktur yang komplit. Namun demikian, kecenderungan itu harus segera diakhiri dengan “memaksa” investor swasta agar menginvestasikan dananya untuk membantu meningkatkan coverage internet maupun meningkatkan kualitas jaringan terutama di daerah remote. Sebagai timbal baliknya pemerintah harus mempermudah proses pengurusan dan birokrasi dari para calon investor.

Upgrade Literasi Digital

Penduduk di negara berkembang seperti Indonesia hendaknya tidak hanya menjadi konsumen (pasar) tetapi juga menjadi pemain aktif di ekosistem ekonomi digital. Bisnis konvensional yang bersifat offline harus mampu go digital untuk menghindar dari kemerosotan omzet akibat pandemi. Agar tercipta tujuan tersebut, diperlukan syarat berupa tingginya literasi digital baik dari sisi penggunaan alat teknologi informasi maupun optimalisasi pemanfaatan TI untuk hal yang positif.

Timbulnya kasus kurir yang diancam oleh pembeli COD (Cash On Delivery) yang terjadi akhir-akhir ini adalah salah satu contoh kasus masih rendahnya literasi digital masyarakat. Mereka tidak paham aturan COD yang ditetapkan oleh market place yang bisa berbeda-beda antar platform. Fasilitas COD sebenarnya merupakan strategi bisnis dari market place untuk menjangkau masyarakat yang belum sepenuhnya mempunyai akses terhadap fasilitas keuangan digital cashless seperti e-wallet maupun internet banking. Mereka dipermudah dengan fasilitas membayar langsung kepada kurir.

Upgrade literasi digital tidak bisa dilakukan secara instan karena berkaitan dengan latar belakang pendidikan. Pemerintah perlu menyiapkan road map untuk memasukkan pendidikan literasi digital di institusi pendidikan maupun di balai-balai pelatihan.  Di samping itu pendampingan juga perlu dilakukan terhadap UMKM yang sedang berjuang mempertahankan usahanya dengan jalan go digital. Aneka pelatihan perlu dilakukan pemerintah untuk memberi bekal kepada pengusaha startup maupun pengusaha lama yang akan terjun ke ekosistem digital. Program seperti Digital Talent Scholarship yang dilakukan Kominfo harus sering dilakukan dengan coverage yang diperluas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya