Manajemen Risiko yang Tidak Pas untuk Wadas

Fulltime-Pembelajar
Manajemen Risiko yang Tidak Pas untuk Wadas 16/02/2022 1060 view Lainnya (Twitter/@wadasmelawan)

Semua mata masyarakat tertuju pada Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Tidak hanya di Indonesia saja, dunia internasional pun menaruh perhatian pada konflik yang terjadi di desa tersebut. Tidak kelewatan, jagat media sosial diramaikan dengan tagar #WadasMelawan, #SaveWadas, hingga #WadasTolakTambang.

Selain itu, konflik Wadas juga menarik ragam komentar dari berbagai kalangan. Mulai dari masyarakat umum, para tokoh negara, hingga organisasi keagamaan besar di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Awal Konflik Wadas

Konflik Wadas berawal dari adanya upaya pembebasan lahan untuk salah satu proyek strategis nasional (PSN) yaitu pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo. Bendungan tersebut akan memasok sebagian besar kebutuhan air di Bandara Yogyakarta Internasional Airport (YIA) di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bendungan ini direncanakan akan memiliki kapasitas sebesar 100.94M³ yang diharapkan dapat mengairi lahan seluas 15069 Ha, mengurangi debit banjir sebesar 210 M³/detik, menyediakan pasokan air baku sebesar 1,60 M³/detik, dan menghasilkan listrik sebesar 6,00 MW (KPPIP, 2018). Untuk penyediaan batuan andesit sebagai material pembangunan bendungan tersebut, pemerintah menetapkan wilayah Desa Wadas sebagai pemasok kebutuhan material.

Tujuan pembangunan tersebut ternyata tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari masyarakat Wadas. Sebagian warga Wadas khawatir proyek ini akan merusak 28 sumber mata air di Desa Wadas.

Kerusakan sumber air juga akan menyebabkan kerusakan lahan pertanian dan hilangnya mata pencaharian penduduk. Ada juga kekhawatiran bahwa industri pertambangan akan membuat Desa Wadas lebih rentan terhadap tanah longsor.

Selain itu, Kecamatan Bener termasuk Desa Wadas merupakan bagian dari kawasan rawan longsor (Farisa, 2022). Warga Wadas telah melakukan upaya penolakan proyek tersebut sejak 2016 dan telah menempuh jalur hukum, namun warga Wadas mengalami kekalahan (CNN, 2022).

Sebagian masyarakat tidak setuju akan proyek penambangan di Wadas, yang berarti sebagian warga lainnya menyetujuinya. Dari 617 warga Wadas yang tanahnya akan dibeli pemerintah, terdapat 317 warga telah menyetujui kesepakatan pembelian.

Adanya dualisme di masyarakat Wadas menyebabkan keadaan sosial di Wadas bergejolak. Dari masing-masing kubu, mendapatkan teror dan intimidasi. Dari kubu pro mendapatkan teror seperti tangki motor yang diisi pasir dan ditutupnya rumah warga dari luar oleh orang lain. Sementara itu, dari kubu yang kontra, disampaikan bahwa sering mendapatkan tekanan dari aparat kepolisian (Jateng, 2021).

Gagalnya Pemerintah Memanajemen Risiko Konflik

Seperti yang disampaikan di awal tulisan, konflik Wadas mendapatkan perhatian dari ragam pihak. Namun, hal yang paling disorot yaitu hadirnya pasukan keamanan di Desa Wadas pada saat dilaksanakan pengukuran tanah warga yang sepakat oleh tim proyek pemerintah. Bahkan ada beberapa warga yang dibawa ke kantor polisi dan ada juga yang terekam mendapatkan kekerasan dari oknum keamanan.

Kejadian seperti ini sudah sering terjadi terutama ketika ada demonstrasi. Narasi pemerintah selalu sama, yaitu aparat tidak akan menggunakan kekerasan dan hanya akan menjalankan tugas. Akan tetapi, apa yang terjadi di Wadas menunjukkan bahwa pemerintah belum benar-benar belajar dari konflik-konflik sebelumnya.

Tidak terlalu berlebihan apabila pemerintah dikatakan gagal dalam memanajemen risiko konflik di Wadas. Padahal, manajemen risiko merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan good governance. Hal tersebut karena manajemen risiko berhubungan dengan upaya terencana dan terstruktur yang ditujukan untuk membantu pembuatan keputusan yang tepat pada waktu yang tepat untuk mengidentifikasi, mengklasifikasikan, mengukur risiko dan kemudian mengelola dan mengendalikannya (Srinivas, 2019).

Konflik Wadas membuktikan bahwa pemerintah tidak dapat menerapkan manajemen risiko konflik dengan baik. Pengerahan ratusan aparat keamanan bukan solusi untuk menekan masyarakat yang sedang berjuang untuk mempertahankan haknya serta mempertahankan kelangsungan kelestarian lingkungan.

Terlebih, dengan adanya kekerasan dari oknum keamanan kepada beberapa warga yang dianggap rusuh, semakin meningkatkan citra buruk pemerintah, terutama institusi kepolisian di mata masyarakat. Di samping itu, dampak yang dirasakan oleh masyarakat Wadas akibat peristiwa pengepungan, kekerasan, dan penangkapan, yaitu kondisi di Desa Wadas semakin mencekam dan beberapa warga merasakan trauma (Bhawono, 2022; Mustaqim, 2022).

Pemerintah telah berupaya untuk mengurangi dampak dari konflik Wadas yang terjadi. Upaya tersebut seperti melepaskan warga yang sebelumnya ditangkap dan melakukan komunikasi serta penyampaian informasi kepada publik tentang perkembangan di Desa Wadas.

Akan tetapi, rupanya masih saja informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan apa yang nyatanya terjadi di Wadas. Misalnya, seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, bahwa kondisi di Desa Wadas telah tenang dan damai. Nyatanya, aparat keamanan masih berkeliaran di Desa Wadas dan semakin membuat warga merasa trauma (Ferdian, 2022).

Upaya Resolusi Konflik Pemerintah

Resolusi konflik merupakan jalan satu-satunya untuk meredam gejolak di Wadas. Info terakhir, melalui laman Instagram Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mencoba melakukan hal tersebut. Pak Gubernur datang langsung ke Wadas tanpa pengawalan untuk berdialog dan mendengarkan aspirasi warga Wadas. Disampaikan juga bahwa Pak Gubernur meminta maaf kepada warga dan akan segera berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk membahas apa solusi terbaik dari permasalahan yang terjadi. Warga mengapresiasi sekaligus menyambut dengan ramah kedatangan Pak Gubernur.

Apa yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo menunjukkan bahwa dengan cara pendekatan dialog atau tanpa terkesan mengancam, merupakan cara yang pas yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah sebelum adanya keputusan untuk menerjunkan aparat keamanan ke Desa Wadas. Barangkali prosesnya akan lebih lama. Akan tetapi, sedikit lebih lama lebih baik daripada terburu-buru dan menimbulkan konflik yang menggebu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya