RUU TNI: Pintu Gerbang Menuju Negara Militeristik

RUU TNI: Pintu Gerbang Menuju Negara Militeristik 22/03/2025 272 view Politik pict.sindonews.net

Sejarah selalu memberi kita pelajaran. Ia mengajarkan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi akan selalu berujung pada tirani, bahwa militer yang dibiarkan masuk ke ranah sipil hanya akan melahirkan ketakutan, dan bahwa rakyat yang diam adalah rakyat yang sedang berjalan menuju kehancurannya sendiri. Namun, tampaknya kita tidak pernah benar-benar belajar.

RUU TNI yang kini tengah digodok bukan sekadar rancangan undang-undang. Ia adalah lonceng kematian bagi sisa-sisa demokrasi yang pernah coba kita bangun. Ia bukan hanya menghidupkan kembali dwifungsi militer yang pernah menjerat negeri ini, tetapi mengembangkannya menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Multifungsi militer, sebuah konsep yang menempatkan seragam loreng di hampir setiap aspek kehidupan bernegara.

RUU ini menjadi ancaman terbesar bagi masa depan demokrasi Indonesia. Sebab, ia tidak hanya mengizinkan TNI kembali masuk ke ranah sipil, tetapi juga memberikan ruang yang lebih luas bagi mereka untuk menguasai sektor-sektor strategis. Ini bukan sekadar langkah mundur, tetapi loncatan balik ke masa ketika segala sesuatu dikendalikan oleh mereka yang memiliki senjata, bukan oleh mereka yang memiliki kompetensi.

RUU TNI membuka jalan bagi tentara untuk menduduki jabatan-jabatan sipil, mulai dari kementerian hingga perusahaan negara. Dalihnya selalu sama, demi stabilitas nasional. Tetapi kita semua tahu bahwa ini bukan tentang stabilitas. Ini tentang kendali.

Apa yang terjadi ketika posisi-posisi strategis tidak lagi diisi oleh mereka yang memahami birokrasi, hukum, dan ekonomi, tetapi oleh mereka yang hanya memahami komando dan kepatuhan? Kita akan melihat kebijakan yang kaku, administrasi yang berantakan, dan keputusan-keputusan yang dibuat bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan segelintir elite yang ingin mempertahankan kekuasaannya.

Negara ini tidak kekurangan pemikir cerdas, teknokrat andal, atau akademisi brilian. Tetapi mereka yang seharusnya diberi ruang untuk membangun justru disingkirkan. Mereka digantikan oleh orang-orang yang memiliki satu kualifikasi utama, kesetiaan mutlak kepada penguasa.

Jika militer kembali bercokol dalam posisi-posisi sipil, apakah kita bisa berharap pada kebijakan yang berpihak pada rakyat? Tidak. Sebab, kepentingan mereka bukanlah kesejahteraan rakyat, melainkan kelangsungan dominasi mereka sendiri.

Dan yang lebih mengkhawatirkan, RUU ini akan membuat militer semakin sulit dikritik. Sebab, ketika militer sudah masuk ke dalam institusi sipil, segala bentuk protes terhadap kebijakan publik dapat dianggap sebagai serangan terhadap institusi militer itu sendiri.

RUU TNI bukan hanya persoalan kekuasaan. Ia juga memberi legitimasi bagi kekerasan. Dengan diperkuatnya peran militer dalam kehidupan sipil, tindakan represif terhadap rakyat akan semakin sulit dibendung.

Militer tidak dididik untuk bernegosiasi. Mereka tidak dibentuk untuk mendengar aspirasi. Mereka diajarkan untuk mematuhi perintah dan memastikan perintah itu dijalankan, dengan cara apa pun yang diperlukan.

Ketika rakyat turun ke jalan untuk menyampaikan suara mereka, siapa yang akan mereka hadapi? Aparat berseragam yang melihat demonstrasi bukan sebagai hak konstitusional, tetapi sebagai ancaman yang harus dihancurkan. Kita telah melihat ini terjadi berkali-kali di masa lalu, dan kini, dengan RUU TNI, represi semacam itu akan semakin sulit dilawan karena telah diberi payung hukum yang sah.

Demonstrasi akan dianggap sebagai gangguan stabilitas. Kritik akan dilabeli sebagai ancaman keamanan. Dan mereka yang berani bersuara akan berhadapan dengan institusi yang tidak mengenal kompromi.

Jika saat ini kritik saja sudah dianggap sebagai ancaman, bayangkan bagaimana jadinya ketika militer memiliki kendali lebih besar dalam kehidupan sipil. Kita bukan hanya sedang menghadapi potensi represi, tetapi juga masa depan yang dipenuhi dengan ketakutan.

Dua puluh tujuh tahun yang lalu, kita berpikir bahwa kita telah memenangkan demokrasi. Kita percaya bahwa reformasi telah membuka jalan bagi kebebasan dan hak asasi manusia. Tetapi kini kita menyadari satu hal, reformasi tidak pernah benar-benar terjadi.

Yang kita miliki selama ini hanyalah transisi semu, sebuah kompromi antara mereka yang ingin mempertahankan warisan Orde Baru dan mereka yang terlalu cepat puas dengan perubahan kecil yang tidak menyentuh akar masalah. RUU TNI adalah manifestasi dari fakta pahit ini. Ia mengukuhkan bahwa militerisme tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk kembali.

Dan kini, saat itu telah tiba.

Jika reformasi benar-benar lahir, seharusnya kita tidak perlu menghadapi ancaman kembalinya militerisme. Seharusnya kita tidak perlu berjuang untuk menolak rancangan undang-undang yang jelas-jelas melanggar prinsip demokrasi. Tetapi faktanya, kita kembali berada di persimpangan yang sama seperti dulu.

Terlepas dari apa pun latar belakang kita, agama kita, suku kita, pilihan politik kita, ada satu hal yang harus kita sadari. Ancaman ini bukan hanya bagi segelintir orang. Ini adalah ancaman bagi kita semua.

Hari ini, mereka mengarahkan senjata mereka pada para pengkritik. Besok, mereka mungkin akan mengarahkannya pada siapa saja yang dianggap berbeda.

Sejarah dunia telah berkali-kali menunjukkan bagaimana negara-negara yang membiarkan militernya mengambil alih kehidupan sipil berakhir dalam kekacauan. Militerisme bukan jalan menuju ketertiban. Ia adalah jalan menuju ketakutan yang permanen.

RUU TNI bukan hanya sebuah rancangan undang-undang. Ia adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, lebih berbahaya, dan lebih sulit untuk diperbaiki.

Dan jika kita membiarkannya berlalu tanpa perlawanan, maka kita sedang menggali kuburan bagi kebebasan kita sendiri.

Tidak ada negara demokrasi yang sehat jika militer mulai mendikte kehidupan sipil. Tidak ada masa depan yang aman jika institusi yang seharusnya menjaga pertahanan justru sibuk mengatur kebijakan publik.

Kita tidak bisa diam. Kita tidak bisa menunggu hingga semuanya terlambat. Sebab, ketika senjata sudah berbicara, suara rakyat akan dibungkam selamanya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya