Tolong, Keluarlah Sebentar dari Ruang Digital !

Dunia global saat ini yang dipenuhi dengan jaringan dan tautan informasi mensyaratkan cara-cara baru memikirkannya. Cara-cara baru itu didefinisikan, menurut Byung-Chul Han, oleh suatu ketidaksanggupan menunda dalam banyak hal, dalam arti, hilangnya ketenangan dan keheningan, dan selanjutnya, oleh satu-satunya daya penggerak manusia digital, dikenal dengan Zapping atau Scrolling. Manusia serba buru-buru, instan, spontan, sensitif, mudah tersinggung, dan tidak lagi sabar dalam banyak hal.
Zapping, yaitu berpindah dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain, bersifat berisik, sedangkan “pikiran butuh keheningan” (Byung Chul, 2017, 35). Peretasan digital menghancurkan pikiran dengan menghilangkan keheningan. Zapping berisik, ribut dan anti-kontemplasi. Itulah saatnya ketika informasi apa pun tersedia, itu juga saatnya zapping, yang memungkinkan pengalaman zapping berlebihan. Kekhusyukan dan keheningan tidak memiliki tempat di dunia digital.
Sistem neoliberal, yang memperkenalkan yang cepat dan instan sebagai perintah algoritma pasar bebas, menghancurkan secara total seluruh apa yang disebut eksistensi temporal dan meluaskan waktu. Perintah produksi neoliberal, merusak ketenangan waktu, dapat dikatakan, praktik dan tindakan yang membutuhkan jangka waktu lama, seperti refleksi, meditasi, dan kontemplasi. Dalam perintah keuntungan nilai lebih, kapitalisme neoliberal memuliakan yang cepat dan instan. Byung-Chul Han (2020, 36) bilang, “Kapitalisme tidak tertarik dengan ketenangan. Ketenangan bisa jadi tingkat terendah dari produksi”.
Sistem neoliberal yang mengutamakan kecepatan dan instan sebagai keharusannya, menghancurkan sepenuhnya segala sesuatu yang didefinisikan oleh “perpanjangan waktu” dan memperpanjang waktu. Imperatif produksi neoliberal menghancurkan ketenangan temporal, yaitu praktik dan tindakan yang memerlukan durasi, seperti kontemplasi, pemikiran, dan waktu luang. Demi keuntungan, kapitalisme memuja kecepatan, kegesitan, dan kecekatan. Kapitalisme memerintah masyarakat agar makin buru-buru dalam mengonsumsi barang-barang yang diproduksi, bahkan ideologinya!
Dalam pengertian ini, hidup kontemplatif, yang adalah keharusan dan memungkinkan suatu akses kepada yang tenang, kepada hal yang dalam pengertian Heidegger, dikerdilkan oleh perintah neoliberal atas produksi, tanpa hening dan tanpa bendung, di mana kita tidak mampu mengendalikan kita sendiri dalam banyak hal, kita tidak mampu lagi berpikir secara memyeluruh, melatih kita dengan pandangan yang jauh, dan berhati-hati. Kitak kehilangan daya untuk bertahan dalam meditasi dan kontemplasi, karena riak informasi dalam pikiran mendesak kita untuk membuka notifikasi dan mengejar informasi.
Dalam pengertian ini, vita contemplativa, yang penting dan memungkinkan “akses menuju ketenangan” pada “peristiwa” dalam pengertian Heidegger, mengalami atrofi demi keharusan produksi neoliberal. Tanpa ketenangan dan tanpa istirahat, kita tidak dapat lagi berlama-lama memikirkan sesuatu, artinya kita tidak dapat lagi berpikir matang-matang, mengamati dengan seksama dan lama. Merenungkan. Menurut Byung-Chul Han (2015,55), “ada peristiwa, bentuk atau osilasi, yang hanya dapat diakses melalui tatapan kontemplatif yang berkepanjangan”.
Byung-Chul Han (2015,75) membandingkan meditasi dan vita contemplativa dengan masa kerja (produksi). Menurutnya, vita contemplativa sebagai “praksis durasi” dan “ekspedisi ke dalam keheningan” mampu menyelami “keberadaan benda”, artinya “pikiran semakin dalam, semakin menjauh, semakin menggapai sesuatu yang benar-benar lain”. Pikiran adalah hasil dari keheningan. Dierami dalam keheningan.
Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin untuk menunda di dunia digital. Digital menghancurkan kapasitas untuk menunda, dan itulah sebabnya ia mengikis pemikiran. Byung-Chul Han (2015, 52) menggarisbawahi, “Kekhusyukan kontemplatif mengandaikan bahwa segala sesuatunya akan bertahan lama. Mustahil untuk bertahan cukup lama dalam menghadapi serangkaian peristiwa dan gambar yang cepat”.
Globalisasi dan ruang digital merupakan antipode dari kesabaran dan kontemplasi. Penyebaran “peristiwa dan gambar” bermula dari keharusan sirkulasi dan produksi global, yang saat ini tidak dapat lagi dikekang. Zapping, yang merupakan cara baru dalam melakukan segala sesuatu di dunia saat ini, yaitu dunia keutamaan digital, hanya masuk akal di era ketika segala sesuatu diproduksi secara massal, ditumpuk, dan tersedia secara luas. Dalam kata-kata Byung-Chul Han (2015, 32), “Semuanya mendesak sekaligus di masa kini. Hal ini mengakibatkan akumulasi gambar, peristiwa, dan informasi yang membuat kekhusyukan kontemplatif menjadi mustahil. Beginilah cara kita bergerak cepat di dunia”.
Permenungan sekarang ini tidak dapat bertahan dalam durasi yang lama dan ketenangan juga berpindah jalur. Ia berpindah dari satu hal ke hal lain, tetapi tidak mampu mendalaminya dengan cara yang kontemplatif. Zapping ditetapkan sebagai contoh yang menyakitkan bagi perhatian dan pikiran manusia. Dia semacam algojo jahat yang membuat kita tidak bisa berpikir. Dengan zapping tidak ada lagi permenungan dan refleksi diri. Kita tidak lagi mendalami sesuatu secara mendalam; zapping merupakan fenomena korteks, bagian luar.
Dunia digital tidak mengenal ketenangan dalam keheningan. Dia tidak tahu apa itu keuletan dan ketelitian, dia juga tidak mampu “memperlambat waktu”. Sifatnya adalah “diskontinuitas”. Byung-Chul Han (2015, 31) menilai bahwa “Ruang jaringan tidak terdiri dari fase dan transisi yang berkesinambungan, tetapi dari kejadian atau keadaan yang tidak berkesinambungan […] seseorang berpindah dari satu mata rantai ke mata rantai lainnya, […] tidak ada yang mengendalikan seseorang untuk berhenti dalam waktu yang lama […] membutuhkan waktu yang lama hanya akan menyebabkan kebosanan”.
Di dunia digital penglihatan manusia tidak dapat menyimpulkan apa pun karena ia sepenuhnya dikendalikan oleh serbuan informasi yang tak terhitung. Ruang digital adalah ruang yang memusingkan, dan mengacaukan; membuat semuanya berantakan! Persepsi menjadi pusing dengan begitu banyak informasi. Mata manusia juga menjadi korban vertigo digital. Ia terlatih sepenuhnya dalam hal aditif dan yang belum selesai. Digital menginstruksikan mata untuk tidak berlama-lama dalam satu konten atau informasi seperti teks, foto, ataupun video. Hal itu tentu mudah menghilangkan kapasitas kontemplatif manusia.
Facebook, Instagram, dan TikTok merupakan jaringan media sosial terbaik untuk zapping digital. Tidak ada yang konklusif di sana. Perhatian manusia perlu diakhiri. Dunia digital, sebagai ruang yang sangat tidak meyakinkan, bukanlah habitat alami pemikiran dan perhatian manusia. Ruang keheningan dan kemampuan bermedirasi, berpikir, dan berkontemplasi dibajak oleh aditif. Kesabaran, keuletan, integritas diri, dan ketulusan dipecahkan oleh eros online, dan serbuan miliaran konten yang bergulir di depan mata. Facebook, Instagram, dan TikTok adalah perancah perhatian digital, yang membuat permenungan atas hidup menjadi tidak mungkin. Refleksi filosofis, penghayatan nilai-nilai spiritualitas, dan keimanan agama, serta kreativitas berkomunikasi tatap muka tidak diberi ruang oleh konten-kontens spontan digital.
Facebook, Instagram, dan TikTok merupakan jaringan sosial yang bergerak cepat. Percepatan tidak sesuai dengan pikiran. Anda berpindah dari satu halaman menuju halaman lainnya. Akselerasi bawaan media sosial tidak memberikan ruang untuk kesabaran kontemplatif. Menghadapi banjir video dan foto yang sensual, kontroversial, irrasional, dan pornogratif, perhatian manusia mulai memudar. Manusia kehilangan kapasitas kontemplatifnya. Berbasis pada kerja dan produksi digital, kehidupan modern tidak dapat menemukan ketenangan, keheningan dan kesunyian, ia tidak tahu bagaimana cara beristirahat, melepas lelah, bernafas, dan menutup mata. Byung-Chul Han (2016, 9) bilang, “Perubahan gambar yang cepat membuat mata tidak bisa ditutup […] gambar saat ini dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk menutup mata, antara mata dan objek ada kontak langsung, yang tidak memungkinkan adanya jarak kontemplatif.
Dalam hal yang bersifat aditif dan sementara, memejamkan mata adalah perlindungan yang baik. Perhatian direvitalisasi dengan mata tertutup. Mata harus terpejam! Merupakan urgensi bagi manusia digital untuk belajar menutup mata, untuk melepaskannya dari sengatan digital. Istirahatkan mata dari kecemasan digital. Keluarkan mereka dari godaan sensual-visual digital. Telinga harus latih tidak mendengarkan dan berserah pada keheningan yang membebaskan.
Dalam kegelapan mata yang tertutup dan keheninganlah pikiran kita memanifestasikan diri. Karena itu, sekali lagi, tolong keluarlah sebentar dari dunia digital, dan mulailah bertanya dan mempersoalkan hidup: Siapakah dan/atau apakah saya? Apa yang bisa dan yang seharusnya saya lakukan? Apakah yang membuat saya bertahan, menunggu, dan terus berjuang di jalan hidup ini? Bagaimana saya harus memaknai kehidupan saya sehari-hari? Apakah siapa/apa-nya saya dapat berguna bagi diri sendiri dan yang lain? Dengan berranya analitis, berpikir kritis, dan berdiskursus terbuka, kita sedang berfilsafat.
Artikel Lainnya
-
40507/11/2023
-
9429/07/2025
-
19204/09/2024
-
Wisata Premium Labuan Bajo Untuk Siapa?
360101/01/2020 -
Kado Akhir Tahun Jokowi untuk FPI
118831/12/2020 -
Pentingnya Menanamkan Karakter Sejak Dini
49319/01/2024