Bertahan di Antara Tembok 4x3 Meter

Mahasiswa PBSI UNJ 2022
Bertahan di Antara Tembok 4x3 Meter 17/12/2024 184 view Lainnya istockphoto.com

Apakah kamu pernah melihat seseorang tertidur; entah di bangku trotoar, bangku taman atau di depan rumah toko yang sudah tutup? Apakah kamu juga pernah melihat seseorang bengong di pinggir jalan, di taman, bahkan di pinggiran rel kereta?

Pasti pernah dong! Lalu apa yang tumbuh di pikiran kamu setelah melihat itu? Apakah kamu akan berpikir seperti ini, “Ngapain sih tuh orang tidur sembarangan? Apa mereka ga punya rumah? Padahal kan rebahan di rumah lebih enak!”

Mungkin, yang ada di benak kalian itu, benar adanya. Kalimat, “Apa mereka ga punya rumah?” Bisa kita renungkan lebih dalam. Kita bisa berandai-andai; bagaimana rasanya jika kita tidak memiliki rumah? Apakah kita akan seperti mereka? Tidur sembarangan? Ya, tentunya!

Kemudian kalimat, “Padahal rebahan di rumah lebih enak!” Mungkin tidak relevan bagi mereka yang tidur beralaskan lantai, berbantal tangan, dan berselimut angin.

Hal di atas, tidak hanya dirasakan untuk mereka yang tidak punya rumah.

Mereka yang mempunyai rumah, juga merasakan hal yang mirip-mirip. Bedanya, mereka yang punya rumah, setidaknya masih punya tempat tidur yang terjamin. Walaupun, rumah mereka tidak bisa dikatakan nyaman untuk ditinggali.

Bisa jadi, mereka yang suka bengong di depan rumah toko yang sudah tutup, di bangku trotoar, di bangku taman, atau di pinggiran rel kereta adalah salah satunya contohnya.

Nah, setelah kamu membayangkannya, mungkin timbul pertanyaan: mengapa aku (penulis) bisa memiliki dugaan seperti di atas? Ya, karena, aku pernah memiliki teman yang tidak punya rumah.

Selain itu, aku merupakan bagian dari mereka yang kedua. Yaitu, mereka yang memiliki rumah, tapi sayangnya rumah tersebut tidak bisa memberikan sebuah kenyamanan.

Mungkin, alangkah baiknya, kalau aku menceritakan sedikit kehidupanku. Aku pernah tinggal bersama dua kepala keluarga di dalam rumah dua petak dengan ukuran 3x2 meter di setiap petak, dan sepetak ruangan berukuran 4x3 meter untuk dapur dan kamar mandi.

Keluarga pertama adalah keluarga budeku. Beruntungnya ia hanya tinggal bersama suaminya. Lalu, keluarga kedua adalah keluargaku. Ada bapakku, ibuku, kakak laki-lakiku, kakak perempuanku, dan diriku sendiri.

Kamu bisa membayangkan bagaimana sumpeknya rumahku.

Oleh karena itu, aku jadi tidak suka berdiam diri di rumah. Misalnya, ketika pulang dari sekolah–waktu aku masih SD, aku tidak pernah langsung ke rumah. Aku biasanya nongkrong dulu ke rumah teman atau nongkrong di warnet.

Ketika kelas lima SD, rumahku terkena penggusuran. Setelah penggusuran itu, keluargaku pindah ke rumah sepetak berukuran 4x3 meter, dan harus berbagi kamar mandi dengan tetangga.

Untungnya, budeku dan suaminya, memilih mengontrak di tempat lain. Kalau mereka ikut dengan keluargaku, bisa modar kami semua. Tidur berlima dalam satu ruangan saja, kami sudah merasa menjadi ikan sarden.

Nah, selain permasalahan di atas, aku ingin menceritakan masalah lainnya yang tak kalah seriusnya.

Beban Berat Bagi Orang Tuaku

Di aplikasi Quora, aku membaca curhatan seseorang yang relate dengan kehidupan keluargaku, khususnya orang tuaku. Tulisan tersebut ditulis oleh Echa dengan judul Mengapa Orang Miskin Banyak Anaknya.

Dalam tulisannya, Echa menceritakan pengalamanya ketika membantu tantenya pindahan ke Cikarang. Saat jam sembilan malam, saat ia ingin tidur, ia mendengarkan ada suara ribut-ribut.

Awalnya ia mengira ada kuli yang bertengkar. Namun, dugaannya salah. Ternyata kuli tersebut memergoki pasangan yang sedang bersenggama.
Waduh, siapa yang tidak naik pitam melihat itu?

Ketika pasangan tersebut ingin dipukuli massa, pasangan tersebut membela diri bahwa mereka sudah sah menjadi suami-istri. Jadi, rumit kan ceritanya. Masa iya, mau memukuli seseorang yang sedang melakukan sunah nabi? Kan tidak lucu.

Untuk memastikan kebenarannya, digiringlah mereka ke rumahnya. Dan, benar saja mereka sudah menikah. Mereka tinggal serumah bersama tiga kepala keluarga. Makanya, bersenggama di outdoor menjadi solusi bagi mereka.

Membaca tulisan tersebut, aku langsung membayangkan bagaimana keresahan orang tuaku.

Waktu itu, ketika aku kelas enam SD, aku pernah tidak masuk sekolah, sedangkan kakak-kakakku pergi ke sekolah. Saat jam sepuluh pagi, bapakku memberikanku uang lima ribu rupiah untukku main warnet.

Ini tumben sekali. Biasanya, kalau aku tidak sekolah, aku tidak boleh keluar rumah sebelum teman-temanku pulang dari sekolah. Maka, dengan ragu-ragu aku ambil uang tersebut, dan langsung pergi ke warnet.

Di pertengahan waktu bermain warnet, aku merasa haus dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Saat sampai di rumah itulah, aku melihat orang tuaku sedang bersenggama.

Aku tak tahu bagaimana perasaan orang tuaku saat itu.

Beban Berat Buatku

Kini, saat tulisan ini dibuat, aku sudah menjadi mahasiswa semester lima. Waktu bergulir begitu cepat, namun aku tetap masih tinggal di rumah sepetak berukuran 4x3 meter, dan harus berbagi kamar mandi dengan tetangga.

Tidak mempunyai kamar pribadi menjadi beban berat buatku. Sangat berat! Waktu SD hingga SMA, mungkin aku tidak merasa keberatan akan hal ini. Kala itu, mengerjakan atau tidak mengerjakan tugas, aku tetap bisa naik kelas.

Kini berbeda, kalau aku tidak mengerjakan tugas, aku bisa tidak lulus mata kuliah. Ketika ingin mengerjakan tugas, aku selalu merasa kesulitan karena rumahku terlalu sempit dan bising: orang tuaku dan kakak-kakakku suka mengobrol.

Kalau ingin fokus mengerjakan tugas, aku harus menunggu mereka tertidur. Kadang jam satu dini hari atau jam dua dini hari, aku baru bisa nyaman mengerjakan tugas.

Kalau terjepit harus mengerjakannya di sore hari, aku mau tidak mau harus pergi keluar rumah. Biasanya aku pergi ke warung kopi atau kedai kopi. Ini membuatku yang hidup pas-pasan harus ikhlas mengeluarkan uang.

Selain, masalah tugas, ada satu masalah serius lainnya, yaitu aku tidak ada ruang pribadi untuk melamun. Untuk mengatasi ini, lagi-lagi aku harus keluar rumah dan mengeluarkan uang untuk ongkos naik transportasi umum.

Biasanya kalau sore, aku melipir ke taman atau perpustakaan. Kalau malam biasanya aku pergi ke taman yang tidak terlalu ramai dan juga tidak terlalu sepi. Kenapa aku memilih dua tempat di atas? Karena di tempat itulah aku bisa bengong dengan gratis.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya