Memerangi Ilusi Tunggal Pemaksaan Identitas

Memerangi Ilusi Tunggal Pemaksaan Identitas 07/03/2020 1856 view Lainnya harianterbit.com

Peradaban manusia pada hakikatnya berangkat dari beragam identitas yang berlainan. Kondisi demikian menempatkan ruang sosial membiak dengan beragam identitas dan cara hidup. Di sana sebetulnya manusia (yang menempati ruang sosial) harus mengakui keberadaan identitas lain sebagai sikap keadaban. Logika ‘menerima tanpa syarat’ identitas lain ke tengah ruang sosial merupakan pengejewantahan dari sikap mulia bahwa manusia pada hakikatnya beragam. Namun kondisi demikian berbalik arah di tengah kemajuan peradaban manusia.

Dalam tahun-tahun terakhir, kita menemukan banyak kekerasan berwajah identitas yang dilakukan individu dan kelompok terhadap identitas lain. Kita bisa menengok kehidupan masyarakat Rohingya di Myanmar yang mengalami kekerasan dari aparat militer. Tidak hanya itu, kekerasan di Timur Tengah juga dipicu atas nama identitas. Bahkan hari ini kita masih mendengar kembali kekerasan di India terhadap kelompok Muslim dan ini sangat memprihatinkan.

Di Indonesia kekerasan berwajah identitas hampir tidak pernah absen. Ada banyak kekerasan identitas, kekerasan di Maluku pada tahun 1999 dan konflik di Karimun beberapa waktu lalu. Kekerasan identitas di banyak tempat di Indonesia bahkan di dunia sekalipun merupakan bentuk nyata sempitnya konsep pluralisme kebangsaan sehingga menanggalkan logika toleransi dalam diri individu dan kelompok. Sempitnya pemahaman sebagian kelompok terhadap pluralisme kebangsaan memantik kekerasan identitas menyeruak dan menguat di kalangan masyarakat.

Mirisnya, kekerasan berlatar identitas di Indonesia misalnya, ekses dari bentuk politisasi isu-isu agama dan suku. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya, isu agama paling banter dan santer diperjual-belikan ke ruang publik sebagai komoditas politik dalam mengeruk dukungan. Tidak bisa dipungkiri, ruang sosial akhirnya disesaki dengan beragam narasi yang dibungkus dengan wajah identitas. Di sana kelompok sosial hadir dengan wajah beringas, kejam dan sok suci sembari menyuarakan ‘demi identitas (agama) semua dipertaruhkan’.

Lantas pertanyaan berbalik, mengapa ditengah peradaban modern, kekerasan identitas masih berlanjut bahkan nyaris tidak pernah absen dalam ruang sosial? Apakah identitas manusia sebagai sebuah keberagaman dan modal sosial (capital social) menjadi bumerang yang justru dengan mudah memantik sikap kejam dan beringas, sehingga kekerasan terhadap identitas kelompok lain merupakan bentuk pembenaran demi menjaga eksistensi identitas kelompoknya? Argumen paling awal musti disasar, setiap identitas yang terinklusi dalam ruang sosial selalu mendaku diri sebagai pemilik dari peradaban sekaligus menguatnya ilusi tunggal pemaksaan identitas. Dalam bentuk seperti ini, kekerasan identitas tidak pernah berhenti bahkan terus menguat selama kelompok terus memendam logika yang bersumbu pada identitas yang sempit dan cacat.

Dalam buku (kekerasan dan identitas), Amartya Sen mengemukakan pandangan dasar dari benturan peradaban, menurutnya dengan memilah-milah penduduk dunia ke dalam dunia Islam, dunia Barat, dunia Hindu, dunia Budha, sesungguhnya daya adu domba yang terkandung dalam sistem klasifikasi itu telah dimanfaatkan secara implisit untuk menempatkan manusia secara tetap-pasti kedalam deretan kotak-kotak tunggal nan kaku (Amartya Sen; 2006).

Logika demikian sangat tepat dengan beragam kekerasan yang terjadi di banyak tempat di dunia saat ini. Di Indonesia, pemaksaan identitas tunggal dari kelompok tertentu kepada identitas lain semakin santer dilakukan. Satu kelompok identitas mengukuhkan diri paling benar dan pantas dijadikan sumber kebenaran sehingga kelompok lain wajib tunduk terhadap klaim sepihak tersebut. Pemaksaan identitas tunggal semacam ini semakin mempertegas bahwa beragam kelompok yang menempati ruang sosial mengalami perbenturan peradaban karena dangkalnya pemahaman terhadap peradaban.

Tak anyal, pemaksaan identitas kelompok lahir dari sikap ilusi tunggal pemaksaan identitas kelompok yang memandang bahwa hanya ada satu identitas yang musti diakui didalam ruang sosial. Sehingga ketika identitas lain muncul di ruang sosial, di sana pemaksaan terhadap identitas sebagai klaim pemilik dari peradaban berbenturan dengan identitas lain. Pemaksaan identitas melalui sikap cemooh, hate speech, bahkan menistakan identitas mulai membanjiri ruang sosial dari satu kelompok terhadap kelompok lain. Di situlah sebetulnya ilusi tunggal pemaksaan identitas mulai mendapatkan tempat dan pada gilirannya dapat dengan mudah membentur satu kelompok di dalam ruang sosial dan kekerasan identitas dengan sendirinya tidak terelakan.

Ilusi tunggal pemaksaan identitas sangat berbahaya ditengah keberagaman. Alih-alih keberagaman harus mendapat respon positif, masyarakat malah kian terdepak dari logika toleransi. Masyarakat akhirnya mudah dikendalikan di bawah logika pemaksaan identitas. Kekerasan identitas mendapatkan tempat ketika masyarakat melihat identitas kelompok lain sebagai ‘virus’ terhadap identitasnya. Konstruksi nalar masyarakat digenggam dibawah kerangkeng identitas yang terlampau cacat, penuh kebencian dan dipenuhi wajah dendam.

Sebetulnya dalam ruang sosial yang demikian, kita musti membangun pemahaman bersama terhadap identitas dan peradaban. Melalui kegiatan dialog kebangsaan, keagamaan dan pluralisme seyogyanya identitas yang berlainan dapat saling membangun satu konsep bersama tanpa menghilangkan nilai dari identitasnya. Bagi saya, menumbuhkan pemahaman bersama terhadap identitas dan peradaban dapat mengikis benturan peradaban. Dengan sendirinya, ilusi tunggal pemaksaan identitas dapat dipatahkan di bawah konsep bersama.

Hemat saya, hal ini harus dimulai dari keluarga, pendidikan dan masyarakat. Keluarga harus berperan aktif memberikan pemahaman terhadap keberagaman. Melalui pendidikan, harus diberikan pemahaman terhadap konsep kebangsaan dan pluralisme agar nilai yang ditanam lewat keluarga dapat diperkuat melalui penerapan pendidikan yang berbasis pada pembentukan karakter. Sedangkan masyarakat, harus membangun kesadaran bersama melalui kerja sosial yang bisa memberikan penguatan terhadap sikap hidup toleransi.

Pada akhirnya, ilusi pemaksaan tunggal identitas merupakan bentuk nyata dari pemahaman masyarakat yang berkelindan pada buruknya pemahaman peradaban dan pluralisme.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya