Ironis: Antara Ketahanan Pangan dan Sampah Makanan
“Gemah Ripah loh Jinawi”. Ungkapan kalimat ini memiliki arti tenteram dan makmur serta sangat subur tanahnya. Suatu cerminan keadaan bangsa Indonesia yang memiliki potensi kekayaan alam yang besar termasuk sumber bahan makanan. Sampai-sampai ada istilah "Tongkat kayu dan batu jadi tanaman".
Tetapi, sangat ironis. Meskipun memiliki potensi sumber bahan makanan yang besar, ketahanan pangan Indonesia masih dianggap tidak terlalu baik. Dan tidak hanya itu, situasi justru diperparah dengan banyaknya sampah sisa makanan yang dihasilkan. Suatu gambaran permasalahan yang sangat lengkap di negeri kita tercinta.
Ketahanan Pangan
Berdasarkan UU 18 tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Seperti apa kondisi ketahanan pangan Indonesia?
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit terhadap kinerja ketahanan pangan pada 113 negara di dunia, dihasilkan angka Global Food Security Index 2020 (GFSI 2020). Posisi teratas diduduki oleh negara Finlandia, sedangkan Indonesia menempati urutan 65 yang turun dari tahun sebelumnya di peringkat 62. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Singapura dan Malaysia yang berada di urutan ke 20 dan 43 Bahkan Vietnam pun menempati urutan ke 63, sedikit di atas Indonesia (foodsecurityindex.eiu.com).
.
Dari hasil tersebut, Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengungkapkan, “Turunnya posisi Indonesia ini (GFSI 2020) dari posisi 62 ke posisi 65, mencerminkan masih perlunya upaya keras Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan” (idntimes.com, 14/03/2021).
Indonesia sebagai negara terluas di Asia Tenggara memiliki luas wilayah sebesar 5,19 juta KM2, terdiri dari luas daratan sebesar 1,92 juta KM2 dan lautan seluas 3,27 juta KM2. Dengan posisinya yang berada di wilayah khatulistiwa dan memiliki banyaknya gunung berapi, menjadikan Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan tinggi dan memiliki tanah yang kaya akan mineral dan subur. Kondisi ini sangat baik untuk pertanian. Julukan sebagai salah satu negara megadiversitas pun menjadikan Indonesia sebagai negara dengan sumber daya pangan yang beragam dan dalam jumlah besar di dunia.
Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan banyak pihak menunjukkan, Indonesia memiliki 100 spesies tanaman biji-bijian, umbi-umbian, sagu, dan gula sebagai sumber karbohidrat; 100 spesies tanaman kacang-kacangan sebagai sumber protein dan lemak; 70 spesies bumbu dan rempah; 40 spesies tanaman bahan minuman; dan 940 spesies tanaman obat tradisonal (BKP, 2016). Tidak kalah besarnya, potensi hewan ternak sebagai penghasil daging pun sangat besar di Indonesia. Demikian juga dengan potensi perikanan yang bernilai produksi mencapai 38,3 juta Ton di tahun 2019.
Dengan potensi sumber daya pangan yang begitu besar. Harusnya Indonesia memiliki kesempatan untuk dapat memanfaatkan dan mengelolanya secara maksimal, baik sebagai bahan pangan untuk memasok kebutuhannya sendiri atau untuk negara lain jika berlebih. Bukan sebaliknya, dengan dalih jumlah produksi dalam negeri tidak mencukupi dan sebagai upaya untuk memenuhi cadangan kebutuhan bahan pangan maka dilakukanlah impor bahan pangan. Sering kali kondisi ini tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.
Dilansir melalui media cnbcindonesia.com (18/04/2020), terdapat sebelas kebutuhan pokok yang ditetapkan Kementan dan diawasi stoknya. Kebutuhan pokok tersebut adalah beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging kerbau/sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, serta minyak goreng. Kendati kondisinya masih memiliki surplus yang cukup besar, tetap saja impor dilakukan untuk menghindari kelangkaan kebutuhan pokok.
Ketahanan pangan menjadi sangat penting karena mempengaruhi status gizi. Rendahnya ketahanan pangan mengakibatkan status gizi pun jadi berkurang dan berdampak kepada turunnya derajat kesehatan. Malnutrisi, stunting, underweight pada anak-anak mengakibatkan tumbuh kembang anak terhambat dan dampak jangka panjangnya adalah berpengaruh kepada kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Tidak hanya anak-anak, rendahnya ketahanan pangan yang menyebabkan kekurangan gizi atau kurangnya asupan gizi pada ibu hamil akan berpengaruh terhadap pertumbuhan janin. Efek yang dihasilkan adalah terjadinya Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan stunting pada bayi. Hal ini juga berdampak kepada kualitas SDM di masa yang akan datang.
Sampah Makanan
Sampah makanan terdiri dari dua jenis yaitu food loss dan food waste. Food loss terjadi pada tahapan produksi. Sedangkan food waste merupakan makanan yang layak dikonsumsi tetapi terbuang pada tahap eceran atau konsumsi akhir, misalnya makanan yang tidak habis dimakan, tidak matang, kadaluarsa. Biasanya dihasilkan oleh rumah tangga, hotel, restoran, catering, dan lainnya.
Jika dilihat dari komposisinya, 60 persen sampah yang dihasilkan di Indonesia adalah sampah organik yang didalamnya terdapat sampah sisa makanan. Program lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan Indonesia memproduksi 20,9 juta ton sampah makanan rumah tangga setiap tahunnya atau masyarakat di Indonesia membuang sampah makanan sekitar 77 Kg/kapita setiap tahun. Karena capaian tersebut, Indonesia mendapat julukan sebagai produsen terbesar sampah makanan rumah tangga di Asia Tenggara (databoks, 8/302021).
Jika kita kalkulasi dan konversi ke dalam nilai rupiah, sampah yang dihasilkan dalam satu tahun setara dengan nilai 27 triliun yang bisa dinikmati oleh lebih dari 28 juta orang. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah populasi penduduk miskin di Indonesia yang sebesar 26,42 juta orang. Padahal jika saja kita bisa antisipasi, tidak akan sebanyak ini sampah makanan yang dihasilkan. Jika dimanfaatkan, sampah makanan ini bisa diolah menjadi pakan ternak (dbs.com, 27/8/2020).
Banyak hal yang menyebabkan terjadinya sampah makanan seperti, terlalu banyak menyimpan sehingga makanan menjadi kadaluarsa, konsumsi yang berlebihan karena lapar mata, gengsi atau malu karena takut dianggap lapar atau takut dianggap pelit jika harus membawa makanan yang berlebih dan tidak habis.
Dalam ajaran Agama Islam, salah satu adab makan yang benar adalah jangan menyisakan makanan dalam piring termasuk yang melekat pada jari. Seperti yang terdapat dalam Shahih Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu, “Apabila makanan salah seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotoran darinya, lalu makanlah dan janganlah membiarkannya untuk dimakan oleh syaitan!”. Dan beliau memerintahkan kami untuk membersihkan piring (dengan menghabiskan sisa-sisa makanan yang ada), beliau bersabda, “Karena kalian tidak mengetahui di bagian makanan kalian yang manakah keberkahan itu berada.” (HR. Muslim).
Akibat yang ditimbulkan dari sampah sisa makanan dalam jumlah yang sangat besar adalah kerusakan lingkungan. Gas metana yang dihasilkan dapat menyebabkan pemanasan global karena termasuk Gas Rumah Kaca (GRK). Belum lagi air dan bahan bakar yang digunakan menjadi sia-sia dan terbuang percuma.
Mari kita memperhatikan apa yang kita makan, konsumsi secukupnya dan berupaya untuk tidak membuang-buang makanan. Ingat, masih banyak yang mengalami kekurangan makanan dan membutuhkan makanan. Pun jika sudah terlanjur menjadi sampah, sebaiknya kita lakukan pengolahan dan manfaatkan lebih lanjut. Dengan demikian, sampah makanan dapat berkurang dan ketahanan pangan negara kita menjadi lebih baik lagi.
“kalau kau cukup makan sepiring nasi, kenapa harus sepiring setengah. Kalau kesehatanmu cukup dipenuhi dengan sebiji tempe, kenapa harus ambil dua?” (Emha Ainun Nadjib).
Artikel Lainnya
-
126019/08/2020
-
225702/01/2020
-
342510/11/2021
-
Memahami Psikologi Ekologi Atoni Meto
22920/10/2025 -
Integritas, Kejujuran, dan Perang Melawan Korupsi
114921/09/2021 -
132025/05/2021
