Mahasiswa dan Identitas Pergerakan

Getolnya pergerakan mahasiswa beratensi pro rakyat hari-hari ini menjelma menjadi cerita pesimistis di sebagian kalangan publik dan golongan elite pemerintahan. Saya mengikuti cukup banyak komentar lepas pada media sosial facebook. Di sana terlihat pesimisme kalangan yang tersebut di atas mengenai aksi-aksi provokatif mahasiswa, namun punya tendesi mengguncang tatanan birokrat.
Ada yang berkomentar: “percuma berdemo, tuntut pemerintah, kalau pada akhirnya masuk jajaran pemerintahan, lantas berhadapan dengan aksi-aksi serupa oleh mahasiswa generasi berikutnya”. Kira-kira begitulah saduran ringkas dari banyak model komentar serupa tapi dengan intensi yang kurang lebih sama.
Cerita Pesimistis
Komentar-komentar lepas yang cukup banyak saya jumpai – sebagaimana telah saya sadur sebelumnya – dapat saja terinterpretasi dalam kaitannya dengan aksi masif mahasiswa yang terkonfirmasi melalui media-media pemberitaan. Misalnya, aksi mahasiswa asal Manggarai diaspora, menuntut kajian ulang bahkan pencabutan izin tambang di wilayah Manggarai Timur.
Aksi ini justru menuai feedback miris dari sebagian kalangan publik – yang tersebut di atas. Komentar-komentar yang sedikit banyak tidak dikaji secara ilmiah atau sekurang-kurang terpublikasi dalam format akademik ini, memang sering kali menjadi bahan “rongsokan” yang tidak ada nilai jualnya.
Namun, bagi saya, komentar-komentar semacam ini berpotensi mengancam demokrasi; di sana amat terlihat sebentuk kepasrahan publik terhadap segenap kebijakan oligarkis dan mendengungkan nada pesimistis terhadap pergerakan mahasiswa.
Alasan pesimisme kalangan publik ini cukup sederhana. “Untuk apa berdemo – beraksi – kalau ujung-ujungnya “bertengger” pada ranting-ranting kekuasaan”. Sebuah sikap naif dan penuh pasrah serentak terlihat mendegradasi semangat pergerakan yang telah sekian tahun menyejarah dalam bingkai perjuangan melawan ketidakadilan, eksploitasi kekayaan alam dan kemanusiaan oleh para penjajah dan oligark.
Cerita pesimistis ini sayangnya pula, datang dari kalangan yang notabene pernah menyandang status mahasiswa. Bagi saya menarik untuk digali dan diiterpretasi landasan yang menjadi pijakan kalangan pesimis, membangun sebuah alternatif baru dalam sejarah peradaban demokrasi.
Ada beberapa kemungkinan yang bisa diinterpretasi. Pertama, mungkin saja selama berstatus mahasiswa mereka tidak pernah “bersuara” kontra kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Boleh jadi, sejak awal sudah digandrungi bayang-bayang kursi kepemerintahan.
Kedua, kemungkinan mereka adalah aktivis, namun setelahnya diiming-imingi kekuasaan yang memudarkan semangat pergerakannya. Ketiga, bisa jadi mereka kurang paham sejarah pergerakan mahasiswa yang sekian kali mengguncang tatanan oligarkis dan otoritatif yang mengancam demokrasi.
Selain itu, ada peristiwa bersejarah pergerakan heroik mahasiswa menuntut adanya reformasi sebagai pijakan bagi wajah baru demokrasi setelah puluhan tahun dimanipulasi di bawah kekuasaan otoriter. Catatan-catatan ini adalah bukti signifikansi peran mahasiswa dan aksi atau pergerakan yang tercipta. Ketidaktahuan sejarah hanya akan mendiseminasi alternatif gagasan gagap, lantas berkomentar asal-asalan.
Urgensitas Peran Mahasiswa
Di Indonesia, peran penting mahasiswa sudah begitu nampak sejak lama bahkan sebelum negara ini merdeka. Mahasiswa di dalam maupun di luar negeri getol menyuarakan aspirasi kritis dan aksi-aksi heroik guna mendulang dukungan demi sebuah kemerdekaan dari genggaman kolonialisme. Budi Utomo adalah wadah perjuangan pertama di Indonesia yang memiliki struktur organisasi modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh mahasiswa lembaga pendidikan STOVIA (Katadata.co.id, 23/9/19).
Kemudian, pada saat yang sama Mohamad Hatta dan beberapa mahasiswa lain mendirikan Indische Vereeniging yang merupakan cikal bakal Perhimpunan Indonesia tahun 1925, ketika mereka sedang menempuh studi di negeri Belanda. Penginiasian organisasi kemahasiswaan ini tidak lain beratensi pro kemerdekaan bangsa Indonesia.
Ide persatuan kemudian lahir atas dorongan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) hingga akhirnya menelurkan gagasan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Masifnya pergerakan mahasiswa (pemuda) terus berlanjut jelang proklamasi kemerdekaan. Sebuah penanda kesungguhan mahasiswa menekel soal-soal kemerdekaan.
Aksi dan pergerakan semakin progresif dilakukan mahasiswa setelah Indonesia dinyatakan merdeka dari penjajahan kolonial. Memang, sempat “dibungkam” semasa orde baru memerintah. Pergerakan-pergerakan mahasiswa mulai dari level regional sampai nasional kian dianggap “tabu”; ancaman demi ancaman membungkam aksi kemanusiaan, perjuangan kebebasan, penuntutan hak-hak sipil, dan lain sebagainya.
Mahasiswa di seluruh pelosok negeri dibuat “mati langkah”, vakum pergerakan, sebelum “naik darah” pada 1998 di penghujung orde baru. Mahasiswa kembali unjuk rasa secara masal dan menciptakan tapak bersejarah yang menjadi tonggak reformasi dalam tubuh NKRI. Otoritarianisme dijejal mahasiswa dengan aksi-aksi heroik sekalipun memakan korban nyawa. Itu semua demi “mengembalikan” NKRI yang sedianya berwajah demokratis.
Peristiwa-peristiwa yang menyejarah ini setidaknya membuat kita kenyang historisitas informasi, lantas dengan gagah kita menjunjung pergerakan masif mahasiswa yang bahkan sampai saat ini semakin progresif dan frontalistis. Kalau bukan mahasiswa, siapa lagi menghadang laju hegemoni oligarki nan kapitalistis?
Para pemangku kepentingan dalam kursi empuk pemerintahan kerap kali was-was bersikap frontal di hadapan penguasa lantaran jabatan selalu menjadi bayaran. Ketakutan tercopotnya jabatan, menjadi alasan kuat oposisi – pun non-oposisi – tidak kritis dan progresif dalam tubuh demokrasi. Pesismisme ini yang menunda keyakinan saya akan kredibilitas kalangan oposisi dalam sebuah pemerintahan.
Nah, oleh karena itu, peran mahasiwa semakin urgen dalam konteks ini. Mereka sama sekali tidak memiliki kepentingan politis tertentu. Aksi-aksi masif di depan gedung-gedung elite pemerintahan adalah sebentuk kepedulian akan nasib rakyat yang semakin hari semakin merayap oleh pelbagai kebijakan berbau politis; adalah sebentuk perhatian akan kondisi ekonomi rakyat kelas bawah yang diinjak-injak animo kapitalis, dan lain sebagainya.
Sebagai garda terdepan mahasiswa berdiri membela dan menuntut hak rakyat yang posisinya sulit diambil alih oleh kalangan oposisi sekalipun yang sarat kepentingan politis.
Merawat Pergerakan
Abad ini, pergerakan identik dengan mahasiswa. Ya, begitulah kurang lebih nada aktivis yang bertarung melawan kemapanan penguasa, para oligark. Pergerakan itu seumpama seberkas cahaya pengentas “kegelapan” yang tercipta oleh kebijakan-kebijakan yang kerap kali tidak pro rakyat.
Aksi atau pergerakan masif, frontalistis, dan tidak jarang prvokatif itu pun hemat saya bukan berlandaskan motivasi untuk menghancurkan penguasa, para ologark. Tetapi, justru karena rasa peduli terhadap kehidupan rakyat, peduli terhadap kemanusiaan, prihatin akan keterpurukan ekonomi, kecemasan akan tindakan kriminal oleh aparat – militer, kepolisian, maupun pemangku pemerintahan – dan sebagainya.
Chesterton pernah menulis: “seorang prajurit sejati bertarung, bukan karena ia membenci apa yang ada di depannya, melainkan karena ia mencintai apa yang ada di belakangnya” (Beaumont dan Ingleby, 2013). Dalam konteks pergerakan mahasiswa “bertarung” melawan kekuasaan oligarkis terlebih bukan karena kebencian mereka terhadap para penguasa, melainkan karena sikap junjung tinggi akan keadilan; hasrat kepedulian akan nasib rakyat.
Dengan demikian, mestilah kita merasa yakin bahwa perjuangan mahasiswa adalah sebentuk kecintaan akan tanah air yang ingin supaya terus dijaga keutuhannya; dijunjung tinggi kemanusiaannya; dihargai kebebasannya. Perguliran kekuasaan manipulatif terjadi karena pergerakan mahasiswa. Itu fakta sejarah.
Maka dari itu, publik mesti merawat pergerakan dengan mensupor tanpa nada pesimistis. Saya yakin, semangat pegerakan akan tetap ada bahkan sampai kelak masuk dalam ranah pemerintahan sebagai penentu kebijakan publik, kalau sekarang secara suportif ditopang oleh semua kalangan publik.
Artikel Lainnya
-
85709/12/2023
-
177312/10/2019
-
156309/03/2020
-
Narasi Vs Bukti Dalam Gugatan Pilpres 2024
33607/04/2024 -
Tumbangnya Keadilan di Tangan Predator?
154115/06/2020 -
Ancaman dan Peluang Bonus Demografi
203806/09/2021