Tumbangnya Keadilan di Tangan Predator?

Pemerhati Politik
Tumbangnya Keadilan di Tangan Predator? 15/06/2020 1488 view Opini Mingguan Detik.com

Nyaris mati! Barangkali kata yang acapkali hadir di benak setiap orang bila mengingat-ingat peristiwa penyiraman air keras ke wajah aktivis sekaligus penyidik KPK, Novel Baswedan, lantaran perjuangannya membongkar persoalan korupsi di institusi kepolisian.

Preseden yang menimpa Novel senyatanya makin mempertegas jika nyawa jadi taruhan dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi, utamanya yang bersinggungan langsung dengan interes politico-business oligarki predator!

Besarnya konsekuensi yang mesti ditanggung pejuang antirasuah, justru berbanding terbalik dengan rendahnya jaminan akan keselamatan dan perlindungan kepada aparat penegak hukum yang tengah menjalankan tugasnya. Sekali lagi, kasus Novel adalah bukti kongkretnya. Kalau ini terus-terusan dibiarkan, bukan hal mustahil kekerasan akan kembali terulang.

Entah apa yang dibayangkan Jaksa sewaktu memutus perkara penyiraman air keras terhadap Novel dengan memvonis satu tahun kurungan penjara terhadap dua orang terdakwa, Ronny Bugis dan Ahmad Kadir Mahulete! Bandingkan dengan kasus serupa di mana para terdakwa – Heryanto, Ahmad Irawan, Rika Sonata – di jatuhi vonis di atas 10 tahun penjara. Sialnya, status mereka hanya rakyat biasa.

Betapa pun tuntutan minimal jaksa pada pelaku penyerangan Novel telah mencederai keadilan tak hanya bagi Novel dan keluarganya, namun juga bagi masyarakat. Ini merupakan potret riil dari tuntutan yang tidak mencerminkan prinsip negara hukum dan peradilan yang tak memihak.

Akan tetapi ini bukan sekadar perkara berat ringannya suatu vonis, namun lebih dari itu, terkait bagaimana vonis atas terdakwa mampu menjawab tuntutan keadilan korban! Prinsipnya keadilan harus ditegakkan kepada siapa pun tanpa tebang pilih.

Preseden Yang (Terus) Berulang

Kasus Novel mengingatkan kita akan perkara serupa, yakni pembunuhan terencana terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib! Imunitas hukum bagi pelaku kriminal yang melibatkan kalangan elite predasi rupanya membawa konsekuensi destruktif bagi agenda penegakan hukum.

Proses hukum atas kasus pembunuhan Munir tampak terasa pincang lantaran negara seperti kehilangan taringnya untuk mengadili sejumlah nama dari kalangan elite predasi selaku aktor intelektual di balik kejadian itu. Yang mampu diadili hannyalah aktor lapangan, itu pun dengan vonis yang nir-keadilan.

Sama persis seperti kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Penantian selama tiga tahun – dengan lika-liku proses yang mengecewakan – justru bermuara pada diadilinya dua orang aktor lapangan dengan vonis yang tak setimpal!

Kalau menelaah pertimbangan jaksa penuntut umum yang menjelaskan bila ada unsur ketidaksengajaan kedua terdakwa sewaktu menyiram air keras ke wajah Novel. Sungguh ini adalah penghinaan atas akal sehat dan doktrin hukum pidana universal perihal kesengajaan.

Pengintaian terhadap Novel sejak beberapa hari sebelum pelaku menjalankan aksinya adalah unsur perencanaan dalam proses tindak pidana. Lebih lanjut, sangatlah mustahil para pelaku tak paham apa dampak air keras bila terkena kulit manusia. Dengan demikian argumentasi Jaksa penuntut umum perihal “ketidaksengajaan” para pelaku, tak dapat dibenarkan.

Kejanggalan vonis jaksa seakan-akan ingin mempertegas kembali temuan TGPF bentukan Kapolri yang cenderung memosisikan Novel selaku pihak yang “bersalah”. Akrobat kekuatan inilah yang sekarang tengah dilakoni oleh elite predasi dengan menerabas apa saja yang jadi batu ganjalan bagi kepentingan mereka.

Destruktifnya proses penegakan hukum yang bertendensi “melindungi” pelaku kejahatan merupakan upaya melanggengkan imunitas. Imunitas menjadi persoalan esensial dari proses hukum yang timpang. Adagium hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas bukan hanya isapan jempol belaka, namun ada justifikasi kongkret di dalam realitas yang makin banal.

Tegakkan Keadilan di Bumi Pertiwi

Bila melihat kerangka kelembagaan hukum di Indonesia. Tampak masih ada secercah harapan bagi tegaknya keadilan! Hakim masih diberikan kebebasan untuk menilai fakta dan hukum yang disajikan dalam persidangan berdasar dakwaan yang diberikan, sebagaimana telah dipertegas putusan MA.

Artinya, hakim dimungkinkan untuk mengabaikan tuntutan jaksa! Meski saya sendiri agak pesimis hakim mau mempertimbangkan kembali fakta dan hukum secara cermat, namun tidak ada opsi lain selain mendesak agar hakim menempuh jalan tersebut. Persis pada titik ini, kemanusiaan hakim – termasuk Jaksa Agung dan Presiden – kembali diuji. Apakah rasa kemanusiaan-Nya masih ada atau sudah mati?!

Vonis jaksa terhadap pelaku penyiraman air keras yang sangat mencederai rasa keadilan. Maka evaluasi menyeluruh penting dilakukan oleh Jaksa agung kepada jaksa penuntut umum perihal materi tuntutannya yang terindikasi keliru – untuk tidak mengatakan salah. Dalih “ketidaksengajaan” bagaimana juga tidak bisa dibenarkan lantaran peristiwa penyerangan sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari.

Presiden Jokowi dalam konteks ini tidak bisa tidak, harus ambil keputusan dengan melakukan evaluasi kinerja Kejaksaan dan Kepolisian atas praktik pemberian tuntutan minimal yang pada dasarnya berpotensi melemahkan perlindungan bagi aparat penegak hukum dan penegakan hukum secara keseluruhan.

Setelah sebelumnya presiden Jokowi turut terlibat dalam pengesahan revisi UU KPK, dan memuluskan kemunculan sejumlah kebijakan destruktif! Maka kini saat yang tepat baginya untuk membenahi institusi hukum demi tegaknya keadilan di bumi pertiwi. Segala instrumen ia miliki. Tinggal bagaimana political will dari presiden.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya