Narasi Vs Bukti Dalam Gugatan Pilpres 2024

Pengajar di STPM Santa Ursula Ende
Narasi Vs Bukti Dalam Gugatan Pilpres 2024 07/04/2024 268 view Politik Kumparan.com

Pemilihan umum 2024 telah usai namun masih menyisakan sengketa yang tengah terjadi saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan pilpres 2024 kali ini menghadirkan fenomena menarik untuk ditelaah lebih jauh terutama berkaitan dengan seberapa kuat narasi dan bukti sebagai hal yang urgen dalam menentukan dan melegitimasi hasil pemilu 2024.

Hal yang cukup menarik dalam proses gugatan pilpres kali ini adalah ketika masing-masing pihak menghadirkan serta permohonan menghadirkan sejumlah saksi dalam persidangan. Misalnya dalam persidangan Jumad, 05 April 2024 MK menghadirkan sejumlah menteri kabinet Jokowi dengan kapasitas sebagai saksi yakni Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Sosial Tri Rismaharini (detik.com, 5 April 2024).

Proses menghadirkan sejumlah saksi ini merupakan bagian dari proses pembuktian keterangan bahwa apakah benar ada kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif. Namun hal yang kemudian dipertanyakan adalah apakah hanya dengan menghadirkan saksi kemudian dianggap cukup untuk membuktikan bahwa adanya TSM dalam pilpres 2024. Tentunya tidak, pembuktian ini tidak hanya cukup dengan keterangan saksi melainkan lebih dari itu harus ada pembuktian lanjutan yang didukung dengan data yang valid.

Proses sengketa pilpres di MK tidak hanya sekedar adu narasi namun lebih dari itu harus dikuatkan dengan bukti yang valid. Bukti tentunya harus dihadirkan oleh tim pemohon. Dalam hal ini bahwa tim pemohon paslon 01 Anis-Muhaimin dan paslon 02 Ganjar-Mahfud harus bisa meyakinkan para hakim MK bahwa memang benar ada bukti yang kuat sehingga layak untuk disimpulkan bahwa pilpres 2024 penuh dengan kecurangan yang TSM.

Namun hingga saat ini pembuktian-pembuktian tersebut masih sebatas narasi dan belum menyentuh aspek pembuktian yang lebih valid. Sebab jika merujuk pada asas actori in cumbit probatio bahwa “siapa yang menuntut, dialah yang wajib membuktikan”. Maka sudah sepantasnya bahwa para pemohon harus benar-benar meyakinkan bahwa ada kecurangan yang telah terjadi dalam Pilpres 2024.

Pertanyaannya adalah apakah pemohon memiliki 'kemampuan' yang cukup untuk mampu membuktikan bahwa ada kecurangan ketika waktunya cukup terbatas. Waktu yang sesingkat inilah telah menjadi bahan perdebatan, apakah bisa membuktikan suatu gugatan perkara hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres sementara ada aspek keadilan yang harus terpenuhi dalam suatu pembuktian.

Beban terberat sebenarnya ada pada pihak penggugat karena harus membuktikan setiap dalil gugatan yang dia buat, sementara waktu singkat dari segi pembuktian sangat kurang dan bahkan bisa saja tidak sempat masuk pada substansi dari apa yang penggugat ingin buktikan.

Pada penyelesaikan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi menggunakan asas speedy trial. Penggunaan asas spedy trial mendapatkan banyak pro kontra dari berbagai pihak yang berselisih. Hal ini dikarenakan waktu yang sangat singkat bagi para penggugat untuk bisa membuktikan suatu kecurangan. Waktu yang begitu singkat dianggap begitu berat untuk membuktikan kecurangan dan pelanggaran dengan skop nasional seperti di Indonesia.

Menurut Edward Omar Sharifj Hiariej (2019) dalam keterangannya sebagai saksi ahli dalam persidangan di MK, mengatakan bahwa dalam peradilan cepat sekalipun tetap bisa membuktikan suatu peristiwa. Hal ini terletak pada kualitas dari alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan, bukan pada kuantitas atau banyaknya bukti. Selain itu, alat bukti juga bukan hanya saksi, tetapi yang paling kuat adalah alat bukti surat atau tulisan sebagaimana tingkatan hirarki alat bukti di persidangan mahkamah konstitusi.

Pada hirarki atau tingkatan alat bukti dalam pembuktian di MK, alat bukti surat atau tulisan merupakan alat bukti yang paling atas atau biasa disebut dengan alat bukti primer. Menurut Edward Omar Sharifj Hiariej, alat bukti primerlah yang harus dan paling utama dibuktikan, ketika alat bukti primer tidak bisa dibuktikan maka gugurlah alat bukti lainnya.

Bahkan dalam ilmu-ilmu sosial pun pembuktian menjadi sangat penting. Dalam penelitian sosial sekalipun pengetahuan ilmiah harus bersifat obyektif, tidak dipengaruhi yang berasal dari diri sendiri (narasi). Obyektivitas adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh atau mencapai kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan harus bersifat umum dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui pembuktian yang sahih dan logis. Harus dapat dibuktikan dan diujikan lebih dari satu orang dan atas dasar observasi.

Dengan demikian bahwa alat bukti menjadi sangat penting dalam sebuah peradilan atau sidang sengketa sebab keadilan substantif dan materil tidak akan tercapai jika bukti tidak terpenuhi dengan baik. Dalam beberapa kasus PHPU dapat disimpulkan bahwa narasi-narasi tidaklah cukup untuk bisa menyatakan bahwa ada kecurangan, harus ada pembuktian lewat alat bukti yang cukup.

Terlepas dari telaah hukum, namun lebih dari itu bahwa sebuah keadilan tidak cukup hanya dengan narasi. Keadilan sejatinya dapat terwujud jika didukung dengan bukti yang valid, agar keadilan tersebut dapat dilegitimasi. Oleh karena itu menjadi sangat penting bahwa narasi-narasi saja tidak cukup untuk meyakinkan publik dan hakim namun lebih dari itu perlu ada pembuktian yang cukup sehingga publik yakin bahwa ada kecurangan yang TSM dalam pilpres 2024.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya