Kebutuhan untuk Selebrasi

Pembelajar
Kebutuhan untuk Selebrasi 01/01/2025 139 view Budaya BBC

Seraya menutup tahun baru masehi biasanya masyarakat kita punya kebiasaan untuk merayakannya dengan gegap gempita. Petasan dinyalakan dan pesta digelar. Ada yang mempermasalahkannya karena itu merupakan bentuk pemborosan dan hura-hura. Ada juga yang berdalih bahwa itu bukan budaya Timur.

Saya tidak akan menilai itu hal baik atau buruk. Boleh atau tidak, karena saya tidak punya ekspertis atau otoritas dalam hal itu. Tapi, sebagai sebagai warga masyarakat biasa, yang sering menjumpai hal tersebut, bolehlah kiranya saya berpendapat. Saya pikir selama hal itu tidak berlebihan dan dilakukan karena niat syukur- tidak jadi masalah.

Yang jadi masalah sebenarnya adalah konten kegiatannya bukan perayaannya. Malam tahun baru kalau diisi dengan mabuk, judi, dan sebagainya, tentu secara norma umum yang berlaku di masyarakat, meskipun kita bukan seorang agamawan, dengan bekal hati nurani, kita bisa menilai hal itu tidak baik. Tapi kalau diisi dengan syukuran, tak jadi soal. Bagaimana akan dipermasalahkan jika kita berkumpul dalam rangka syukur atas nikmat yang telah Tuhan berikan.

Mungkin yang menjadi keresahan dan kritik adalah perayaan tahun baru yang terjadi di kota. Dalam hal ini memang terjadi perbedaan yang sangat mencolok antara perayaan menyambut tahun baru di desa dengan kota.

Kebiasaan masyarakat kota terutama anak-anak mudanya dalam menyambut malam tahun baru adalah dengan party, dugem, dan hura-hura lainnya. Seakan hidup ingin dinikmatinya malam itu juga. Sementara masyarakat desa merayakannya dengan lebih sederhana, yakni dengan makan bersama dengan lingkungan sekitar. Dari hal itu saja bisa dipahami kenapa masyarakat kota lebih banyak membutuhkan katarsis stress daripada masyarakat desa. Masyarakat kota kurang bisa menikmati kebahagiaan lewat hal-hal kecil yang sederhana. Mereka terlalu fanatik pada materi.

Itu dari sisi masyarakatnya, dari sisi kondisi psikologis lain lagi. Tidak ada salahnya kita memberikan reward kepada diri sendiri atas apa yang telah kita kerjakan dan capai di tahun ini. Sekadar berbagi kebahagiaan dengan makan bersama keluarga tentu bukan hal yang dilarang. Malah itu menjadi momen untuk saling menguatkan ikatan keluarga dan persaudaraan. Kamu hanya hidup sekali dan untuk itulah, momen-momen yang mendekatkan seperti itu mampu memberi makna pada kehidupan itu sendiri.

Mangan ora mangan sing penting kumpul (makan atau tidak yang penting berkumpul menjadi satu). Jadi sebenarnya yang terpenting bukanlah acara makan-makannya tapi rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan. Kita punya tempat untuk membagi pengalaman suka dan duka, Itu yang jauh lebih penting.

Perayaan tersebut selain sebagai ungkapan rasa syukur juga bisa dipahami sebagai usaha manusia memberikan tanda. Memperingati perubahan suasana. Usaha untuk mengabadikan momen di dunia yang profan. Secara psikologis ini penting, untuk benar-benar menyadari keberadaan kita di dunia ini.

Yang lama akan digantikan dengan yang baru. Malam akan digantikan fajar. Yang akhir kini sudah mendekati garis akhir dan akan mulai kembali ke garis awal yang baru. Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi selama setahun ini pun bisa kita jadikan sebagai pembelajaran untuk tahun yang baru. Apakah di gerbang awal tahun ini menjanjikan harapan kita yang akan terwujud? Rasanya sedih sekali jika manusia tidak berpengharapan yang baik akan masa depannya. Tanpa mengesampingkan usaha untuk meraihnya, tetaplah punya harapan yang baik.

Kehidupan manusia memang tidak bisa terlepas dari momen-momen perayaan seperti ini. Ada berbagai macam bentuk perayaan. Perayaan perkawinan, perayaan kelahiran anak, perayaan kelulusan sekolah, perayaan membuka bisnis baru. Semuanya memiliki kandungan suasana bahagia yang berbeda-beda. Hal itu semua dilakukan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan yang telah menganugerahkan nikmat yang begitu besar. Maka dari itu kita juga ingin membagi kebahagiaan itu bersama dengan orang lain. Mungkin ada sebutan latinnya. Saya kurang tahu tapi yang jelas, manusia memang makhluk yang suka merayakan sesuatu. Keinginan untuk mengungkapkan perasaannya, baik secara dramatis maupun biasa-biasa saja.

Di luar momen-momen sosial kehidupan manusia, perayaan (selebrasi) kerap kita jumpai di dunia olah raga. Atlet yang berhasil menjuarai sebuah pertandingan, apalagi berhasil menyuguhkan permainan yang membuat decak kagum penonton, memang sudah sewajarnya melakukan selebrasi. Bahkan ada selebrasi yang menjadi ikon dari si atlet.

Tapi apa sebenarnya beda selebrasi saat akhir tahun dengan selebrasi atlet? Selebrasi pemain bola yang berhasil mencetak gol. Selebrasi pembalap yang berhasil menjadi juara. Apakah jenis selebrasinya sama?

Perayaan tahun baru adalah perayaan tentang syukur dan harapan. Sedangkan perayaan (selebrasi) atlet adalah perayaan rasa bangga atas pencapaiannya.

Di akhir tahun ini sudah seharusnya kita mengikhlaskan hal-hal yang berjalan tidak sesuai rencana. Karena yang lama akan digantikan yang baru. Yang akhir akan segera digantikan dengan yang awal. Awal adalah masa yang tepat untuk memulai sesuatu. Di tahun yang baru nanti, mari tingkatkan hal yang sudah baik, dan perbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Mari kita songsong tahun baru 2025 dengan optimis.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya