Mengembalikan Political Freedom, Mencegah Totalitarianisme

Bagi Hannah Arendt, pada praktiknya, politik harus diartikulasi sebagai kebebasan (Arendt, 1990). Tanpa kebebasan tidak mungkin ada politik dan politik yang tanpa kebebasan sama sekali bukan politik. Maka, rasion d’etre dari politik adalah benar-benar kebebasan.
Oleh karenanya, dalam kebebasan a la Arendt, politik diajukan sebagai refleksi untuk merekonstruksi konseptualisasi politik secara ketat. Subjek yang-politis tidak boleh terjebak dalam esensialisme sempit, namun harus menjadi basis dalam proyek emansipasi politik.
Syarat fundamentalnya adalah mempertahankan kebebasan positif dan kebebasan negatif yang bagi Isaiah Berlin, dalam Four Essays on Liberty; pertama, semakin rasional, maka semakin bebas (freedom to). Kedua, situasi tanpa tekanan, paksaan, atau kekangan dari luar diri kita (freedom from) (Berlin,2004). Maka dibuthkan self-determination yang, meminjam istilah Zizek, mentransformasi aktor politik sebagai subjek kritis yang-politis.
Namun, realitas sosiologis politik Indonesia memperlihatkan fakta sebaliknya. Bahwa aktor politik memiliki kecenderungan tanpa struktur pengetahuan (kondisi epistemik) dan anti-rasionalitas sebagai prasyarat yang-politis dengan sekadar meletakkan perjuangan politik elektoral pada basis modal ekonomi semata; money politics.
Selain itu, eksternal faktor menjadi primer dalam menentukan kemenangan politisi dalam setiap pertandingan politik. Bahwa pengaruh dan atau tekanan market (oligarki politik dan bisnis) terhadap setiap konstelasi politik para kontestan diandalkan pada model patron-klien. Oleh karena itu, yang-politis bagi Arendt menjadi tidak permisif terhadap kebebasan politik. Dengan kata lain, kebebasan politik tidak akan termanifestasikan dalam sistem kewarganegaraan dan ruang publik kita.
Menurut Eddi Sius, pada artikel Politik sebagai Relasi Kebebesan yang dimuat dalam buku Kembalinya Politik, konsep ruang publik Hannah Arendt, ia bagi menjadi dua, yaitu; ruang penampakan dan dunia bersama.
Dalam dunia bersama, Eddi mengklasifikasikannya dalam lima kategori. Bagi saya, kategori keempat dan kelima memiliki keterangan implisit yang beririsan dengan politik Indonesia demi dihasilkannya politik yang emansipatoris; ruang publik sebagai dunia bersama di mana manusia saling berbagi, saling memahami, saling mendengarkan dan didengarkan.
Ruang publik adalah ruang antara (inter-est), yang mempertautkan pelbagai kepentingan (interest) manusia-manusia yang mengitarinya. Dan ruang publik yang mengekspresikan (expression) diri dalam tindakan (action) dan mengkomunikasikan (communication) gagasan dan kepentingannya dalam ucapan (speech) (Riyadi, 2008).
Ruang publik harus dimaknai sebagai ruang bersama yang inklusif, partisipatif, egaliter dan demokratif, dan itu sejalan dengan konsepsi Hannah Arendt menyoal keterangan ruang publik. Ia menjadi inklusif demi diakomodirnya seluruh jenis kepentingan dari warganegara. Menjadi partisipatif untuk merumuskan dan memutuskan sesuatu yang berkorelasi dengan kepentingan publik. Egaliter dalam kesamaan hak dihadapan hukum dan negara. Serta demokratis dalam mengelola perbedaan identitas, baik gender, agama, ras, dan atau ekonomi.
Oleh karena itu, ia mesti diekspresikan dan dikomunikasikan secara dialogis untuk menghasilkan tindakan konkrit (free will), baik melalui perbuatan atau ucapan (argumentasi). Ini adalah apa yang kemudian Arendt sebut sebagai pluralitas.
Idealitas ruang publik yang menjadi arena kebebasan politik warganegara menjadi derogatif akibat penyempitan demokratisasi yang disebabkan oleh demagogi para demagog politik. Ruang publik diisi oleh politik identitas, pragmatisme politik, rasisme ras dan etnis minoritas, kekerasan berbasis gender dan agama, serta totalitarianisme kekuasaan yang terus menerus memonopoli kebenaran; hanya pemerintah yang Pancasila, yang lain fundamentalis dan salah. Sentimentalitas semacam itu justru mendistorsi kehangatan berwarganeagra. Sialnya, itu satu-satunya kosakata politik aktual Indonesia hari-hari ini. Oleh karena itu, ruang publik mengalami alienasi.
Distingsi ofensif antar warganegara yang mengalami kristalisasi paska pemilu, tidak bisa diselesaikan dengan rekonsiliasi. Penghormatan terhadap kebebasan berpendapat dan mengkritik, dibatalkan oleh kriminalisasi. Konflik sosial masih berlanjut di titik-titik api perampasan ruang hidup dan penggusuran, dan tidak bisa dituntaskan melalui program kampanye negara kesejahteraan. Kebencian demi kebencian diantar kewargaan yang berbeda menumpuk. Akhirnya, ruang publik hanya diisi oleh ekslusifitas permanen, bukan pluralitas yang inklusif.
Masyarkat akhirnya ikut dalam arus yang sama, yaitu, menganggap politik sebagai praktek pragmatis yang sebelumnya dicontohkan pula oleh tindak pragmatik para aktor politik. Seolah-olah politik hanya sekadar kompetisi kekuasaan oleh modal ekonomi, dan bukan oleh modal sosial dan modal pengetahuan. Itu sebabnya, absolutisme politik yang mengontrol aktivitas kewarganegaraan dan ruang publik menjadi satu-satunya alasan terjadinya kekerasan dan korupsi.
Masyarakat mendefinisikan politik hanya sekadar transaksi kepentingan jangka pendek elite dengan elite, bukan transaksi jangka panjang demi terselenggaranya keadilan. Menyelenggarakan politik berarti melaksanakan perintah publik, menjalankan mandat konstitusi, bukan alat investasi kekayaan elite. Kejernihan visi politik dihalangi pragmatisme. Kualitas sumber daya kandidat dibatalkan modal politik. Politik bukan lagi tentang pengabdian, melainkan profesi baru yang diperebutkan.
Metode canvasing politik door-to-door merupakan lokasi primer money politics, bukan lokasi pertandingan program politik. Kecerdasan konseptual dituntun kebodohan. Kita merayakan politik yang penuh kepalsuan. Ruang terbuka demokrasi dipersempit hegemoni politik kekuasaan. Oleh karena itu, warga negara menjadi tereliminasi untuk mengakses ruang politik.
Seperti Arendt, Jurgen Herbemas, seorang filsuf asal Jerman, membedah dekadensi politik itu melalui teori kritis deliberatif; aktivasi ruang publik. Bagi Hebermas, ruang publik memiliki fungsi penting dalam berdemokrasi yang, misalnya, warga negara aktif dalam diskurus praktis politik (Habermas, 1989), mengabsolutkan kedaulatan rakyat dari dominasi kekuasaan politik. Formasi kritis aspirasi dan opini publik diamankan rule of law demi ketertiban dan evaluasi kebijakan publik.
Bila peran tersebut dimaksimalkan, maka ruang publik akan bertransformasi menjadi arena diskursus politis warga negara. Dengan kata lain, demokrasi tumbuh dalam rasionalitas yang ideal. Akhirnya, kita mengembalikan poitik pada wilayah kebebasan politik dan mencegah tumbuh kembangnya totalitarianisme.
Politik sebagai relasi ruang bersama melahirkan implikasi yang mengerikan dalam tradisi politik Indonesia karena, misalnya, memberikan hak itu kepada Leviathan, rezim totaliter dan despotisme aktor politik, Hal itu tidak akan terjadi kalau politik dilihat sebagai relasi kebebsan, karena kebebsan tidak pernah diberikan kepada siapapun dan tidak akan pernah bisa dilepaskan (Riyadi, 2008).
Daftar Pustaka
Arendt, Hannah. 1990. On Revolution. Harmondsworth, Penguin Books.
Berlin, Isaiah. 2004. Empat Esai Kebebasan, Jakarta, LP3ES.
Eddi Sius Riyadi, DKK. 2008. Kembalinya Politik. Jakarta, Marjin Kiri.
Habermas, Jurgen. 1989. Ruang publik sebuah kajian tentang kategori masyarakat borjuis. Jakarta, Kreasi Wacana.
Artikel Lainnya
-
49030/12/2022
-
335507/11/2020
-
229929/03/2020
-
Catatan Redaksi: Ketika Para Elite Berdangdut Koplo
157822/11/2020 -
213116/07/2020
-
Tafsir Sosial atas Kenyataan Identitas para Aktivis
117519/10/2020