Ghosting dan Kekejaman Emosional
Kemajuan teknologi di jaman modern ini tidak dapat disangkal. Ada begitu banyak perkembangan di berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, dan tingkat kehidupan lainnya.
Salah satu kemajuan yang paling mencolok di masa pandemi Covid-19 ini adalah meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia. Seperti dilansir kompas.com (23/12/2021) pengguna internet mencapai 202,6 juta jiwa dari total penduduk Indonesia saat ini sebanyak 274,9 juta jiwa. Sedangkan pengguna aktif media sosial mencapai 170 juta.
Artinya, jumlah pengguna media sosial di Indonesia setara dengan 61,8 persen dari total populasi hingga Januari 2021. Data ini naik 6,3 persen dari tahun lalu atau sebanyak sepuluh juta jiwa. Kenaikan yang signifikan ini terjadi terutama selama masa pandemi dan pembatasan sosial yang diberlakukan selama pandemi.
Dari jumlah yang besar tersebut, setiap orang memiliki banyak kesempatan untuk bisa membangun hubungan dengan siapa saja di media sosial. Hubungan antar keluarga, kerabat, kenalan, atau bahkan orang yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Pada satu sisi, kehadiran media sosial amat membantu banyak orang dalam kegiatan hidup atau pekerjaan sehari-hari. Namun pada sisi lain ada juga dampak-dampak negatif yang muncul dari kegiatan di media sosial. Salah satu masalah yang sedang booming akhir-akhir ini adalah ghosting.
Secara umum, istilah ghosting dapat diartikan dengan tindakan seseorang yang tiba-tiba menghilang dari kehidupan orang lain yang saling menjalin hubungan tanpa melakukan kontak atau penjelasan sebelumnya. Istilah ghosting mendadak ramai dan paling banyak ditelusuri di laman Google karena memang sedang eksis atau karena orang baru mulai sadar bahwa peristiwa dan pengalaman ditinggal pergi begitu saja dikenal sebagai tindakan ghosting (Kompas, 10/12/2020).
Ada beberapa situasi dimana tindakan ghosting paling banyak ditemui di media sosial. Seperti ghosting dalam hubungan asmara, pertemanan, dan di tempat kerja. Selain bentuk hubungan, alasan orang melakukan ghosting juga berbeda-beda sesuai dengan jenis hubungan ghosting tersebut.
Biasanya seorang kekasih melakukan ghosting karena tidak lagi merasa cocok dengan hubungan yang sedang dijalani atau karena ingin mencari kepuasan yang baru. Sehingga untuk mengurangi konflik dengan pasangan maka tindakan ghosting dirasa menjadi pilihan yang paling aman.
Kasus ghosting antar teman biasanya lebih karena suatu alasan yang sulit dijelaskan, entah karena alasan yang memalukan sehingga orang tidak berani menghubungi temannya atau bisa jadi ghosting karena sibuk dengan pekerjaan sehingga menyita banyak waktu dan tidak sempat menjalin kembali suatu hubungan yang mungkin sudah lama dibangun.
Untuk ghosting di lingkungan pekerjaan, biasanya karena adanya rasa iri atau tidak puas dengan rekan yang mendapat promosi atau pun naik jabatan, perbedaan gaji atau mendapat perlakuan istimewa dari atasan dan alasan lainnya. Rasa tidak puas membuat seseorang menghentikan hubungan atau komunikasi secara sepihak tanpa penjelasan kepada pihak yang di-ghosting.
Selain alasan-alasan di atas, ada beberapa hal lain yang melatarbelakangi seseorang dalam melakukan ghosting. Seperti kepribadian orang yang sulit membangun hubungan atau menjalin hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, sehingga lebih memilih ghosting dalam menyudahi suatu hubungan, atau mungkin sudah menjadi strategi seseorang dalam memutus hubungan.
Selain itu, ada juga yang melakukan ghosting karena takut mendapat reaksi buruk jika melakukan perpisahan hubungan dengan cara yang lebih baik. Ghosting juga menjadi salah satu cara untuk menghilang dari hubungan yang rumit, untuk mencari kesejahteraan diri sendiri yang sering tidak memperhatikan orang lain.
Namun pada dasarnya tindakan ghosting tidak dapat dibenarkan. Sebab dengan cara demikian, korban akan begitu tersakiti, merasa direndahkan, yang bisa berujung depresi dan membenci diri sendiri.
Psikolog UGM, Idei Khurnia Swasti, menyebut ghosting adalah perilaku menghindar yang dapat menimbulkan berbagai dampak seperti membuat korban merasa bingung, sakit hati, dan paranoid dikhianati ataupun menyalahkan diri sendiri. Terutama terhadap orang yang memiliki latar belakang rasa percaya diri yang rapuh.
Mereka akan mudah merasa rendah diri dan tidak berguna. Kebanyakan korban tidak tahu harus berbuat apa karena hasil hubungan yang ambigu atau bahkan sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Sedangkan, otak manusia selalu berusaha dan berpikir bagaimana cara menanggapi suatu hubungan sosial dengan orang lain.
Keadaan ini begitu menyiksa, sebab saat hendak bertindak, bayang-bayang ghosting akan menghalanginya. Efek tindakan ghosting bisa menjadi luka dan trauma bagi korban untuk kembali membangun suatu hubungan yang baru. Hal ini menjadi cukup sulit diatasi karena sudah menyentuh daya emosi seseorang.
Dalam menjalani hubungan, terutama melalui jejaring media sosial, setiap orang perlu untuk memperhatikan etika berkomunikasi. Tindakan ghosting tidak dapat dibenarkan karena bisa merugikan orang lain dengan membuatnya tidak nyaman.
Ada beberapa cara untuk terhindar ataupun dalam menghadapi tindakan ghosting. Diantaranya adalah orang perlu mengatur batasan terlebih dahulu sebelum menjalin suatu hubungan, apakah itu hubungan kasual atau lebih. Sehingga tidak terlalu berharap dan tidak terlalu sakit bila mengalami ghosting.
Kemudian berkomitmen dalam menghadapi konsekuensi dari hubungan yang sudah terjalin. Dengan begitu orang dapat lebih mampu bertahan bila mengalami ghosting karena hubungan itu merupakan hasil keputusan bebas. Kejujuran sangat perlu dan membantu dalam suatu hubungan agar tidak terjadi salah paham yang merugikan.
Korban ghosting harus berhenti menyalahkan diri, apalagi lari kepada penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang hanya merugikan dan menambah beban. Sebab, belum tentu peristiwa ghosting terjadi melulu karena kesalahannya. Bisa jadi karena kepribadian pelaku ghosting itu sendiri.
Cara lain adalah dengan menghabiskan banyak waktu dengan orang-orang tercinta, seperti keluarga atau sahabat. Memiliki hubungan yang sehat akan membangkitkan kembali semangat korban ghosting.
Bantuan dari orang lain terutama psikolog akan membantu mengurangi perasaan sedih dan negatif dalam diri korban. Juga dapat memperoleh cara-cara lain yang akan membantu untuk berubah menjadi orang yang lebih kuat.
Ghosting menjadi langkah terakhir dari silent treatment yakni sebuah cara perusakan mental dalam bentuk kekejaman emosional. Orang akan merasa tidak berdaya dan tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh informasi lebih banyak tentang hubungan yang sedang terjadi.
Tindakan ghosting secara sadar atau tidak sadar sangat merugikan korban dari dalam dirinya. Keadaan terendahkan membuat korban merasa ragu dalam menjalani suatu hubungan yang baru. Oleh karena itu, sudah menjadi nilai dasar dalam penggunaan media sosial agar lebih ramah dan saling menghormati harkat dan martabat orang lain. Karena ghosting adalah tindakan tidak memanusiakan manusia sebagaimana mestinya.
Artikel Lainnya
-
9707/08/2024
-
140404/09/2020
-
180422/10/2021
-
Memahami Nasab Keilmuan Ala Pesantren
315115/07/2020 -
Quo Vadis Kemerdekaan Indonesia?
122617/08/2021 -
Karna dan Hal-Hal yang Tak Pernah Selesai
202115/05/2022