Kebangkitan Radikalisme di Indonesia dan Ancamannya terhadap Persatuan Bangsa

Indonesia adalah bangsa yang sejak awal berdiri dan telah meletakkan keberagaman sebagai fondasi utama kehidupan bangsa. Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya simbol, melainkan komitmen kolektif untuk hidup berdampingan di tengah perbedaan suku, agama, budaya, dan bahasa.
Namun kini, fondasi itu tengah menghadapi tantangan dan ujian yang berat. Radikalisme, yang selama ini mungkin dianggap sebagai ancaman pinggiran, perlahan tapi pasti menunjukkan wajah barunya dimana lebih dinamis, lebih konvidensial, namun jauh lebih berbahaya.
Kebangkitan radikalisme di Indonesia bukan lagi sekadar kemungkinan atau bayang bayang. Radikalisme telah nyata terlihat dalam banyak bentuk mulai dari ujaran kebencian di media sosial, pengkafiran kelompok kelompok tertentu, hingga aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Hal yang membuatnya menjadi lebih mengkhawatirkan adalah kemampuan radikalisme untuk menyusup ke ruang-ruang strategis: lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, bahkan institusi negara. Ini bukan lagi soal ekstremisme yang terisolasi. Ini adalah gerakan yang perlahan dengan menggerogoti sendi-sendi kebangsaan dari dalam.
Salah satu penyebab menguatnya radikalisme adalah krisis identitas, khususnya di kalangan generasi muda. Ketika pendidikan kebangsaan kehilangan daya tarik, dan narasi keberagaman tidak lagi mendapatkan tempat yang kuat di ruang publik, radikalisme menawarkan “identitas alternatif” yang terlihat tegas dan pasti. Di saat yang sama, minimnya literasi digital membuat banyak anak muda mudah terpengaruh oleh propaganda yang dibungkus dengan dalih keagamaan. Dalam satu klik, mereka bisa terpapar paham yang membenarkan kekerasan demi "kebenaran."
Tak kalah penting adalah faktor sosial dan ekonomi. Ketimpangan yang masih lebar antara kelompok kaya dan miskin, pusat dan daerah, membuat sebagian masyarakat merasa terpinggirkan. Dalam situasi semacam itu, radikalisme hadir bukan hanya sebagai ideologi, tapi juga sebagai pelarian. Radikalisme menawarkan rasa memiliki dan tujuan hidup, meski semua itu bersandar pada kebencian terhadap yang dianggap berbeda.
Lebih dari itu, penyalahgunaan tafsir keagamaan turut memperkeruh keadaan. Di tangan kelompok tertentu, ajaran agama yang pada dasarnya membawa kedamaian dan cinta kasih justru dijadikan pembenaran untuk menolak pluralisme dan demokrasi. Tafsir sempit dan tekstual digunakan untuk menghakimi, bahkan menghilangkan hak hidup orang lain. Sayangnya, narasi-narasi seperti ini sering kali justru lebih populer di media sosial dibandingkan wacana keagamaan yang moderat dan inklusif.
Dampak dari kebangkitan radikalisme terhadap persatuan bangsa sudah mulai terasa. Polarisasi sosial semakin tajam. Diskursus publik berubah menjadi ajang saling mencurigai dan menghakimi. Banyak orang kini merasa lebih dekat dengan kelompok yang satu ideologi daripada dengan sesama warga negara yang berbeda pandangan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menjadi bom waktu yang mengancam integrasi nasional. Jika tidak ditangani dengan serius, radikalisme bisa berkembang menjadi gerakan disintegrasi yang sulit dikendalikan.
Upaya negara dalam menangani persoalan ini sebenarnya sudah ada. Program deradikalisasi oleh BNPT, penguatan pendidikan Pancasila, serta kampanye literasi digital adalah beberapa langkah konkret yang telah dilakukan. Namun, efektivitas program-program ini sangat bergantung pada dukungan masyarakat luas. Tidak mungkin negara bekerja sendiri dalam menghadapi tantangan sebesar ini.
Karena itu, peran masyarakat sipil menjadi sangat krusial. Guru, tokoh agama, jurnalis, influencer media sosial, pejabat dan tentu saja orang tua di rumah semua memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan cinta tanah air. Media, sebagai aktor strategis dalam pembentukan opini publik, juga harus lebih berani mempromosikan keberagaman dan melawan narasi kebencian.
Kita tidak bisa terus bersikap pasif dan diam terhadap radikalisme, itu sama dengan kita memberikan ruang untuk radikalisme bertumbuh dan berkembang. Setiap warga negara harus terlibat dalam menjaga Indonesia tetap utuh bukan hanya dengan perlawanan keras, tapi juga dengan membangun ruang dialog, menyebarkan informasi yang benar, dan menumbuhkan rasa empati terhadap mereka yang berbeda.
Indonesia adalah rumah bersama. Jika kita membiarkan radikalisme menyebar tanpa perlawanan, kita sedang membiarkan rumah ini retak dan perlahan runtuh. Tapi jika kita bersatu, menyadari bahwa keberagaman adalah kekuatan, dan bersama-sama menjaga nilai-nilai kebangsaan, maka radikalisme tidak akan pernah menang.
Artikel Lainnya
-
72516/08/2024
-
49201/06/2024
-
89116/06/2024
-
192711/05/2020
-
Krisis Literasi: Penyebab, Dampak dan Solusi?
1261331/08/2020 -
Revitalisasi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
156628/02/2020