Krisis Literasi: Penyebab, Dampak dan Solusi?

Berdasarkan survei Programme for International Assesment (PISA) pada tahun 2009, dalam bidang literasi, Indonesia menempati peringkat ke 57 dengan skor 402 dari 65 negara.
Tiga tahun berikutnya, peringkat Indonesia merosot menjadi 60 dan skornya pun turut merosot ke angka 396. Bertambahnya 7 partisipan PISA pada tahun 2015, sama sekali tak mempengaruhi peringkat Indonesia. Kala itu peringkat Indonesia turun satu angka menjadi 61. Bahkan saat partispan PISA mencapai angka 80, peringkat Indonesia jutru kian terjun bebas hingga ke angka 74.
Sementara itu, berdasarkan data yang dirilis oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 silam dengan tajuk World’s Most Literarte Nations, menyatakan bahwa Indonesia menduduki urutan ke 60 dari 61 negara dalam hal kemampuan literasi.
Dari data-data yang dilaporkan oleh kedua Lembaga International tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa kemampuan literatasi di Indonesia masih sangat minim. Indonesia mengidap “Darurat Literasi”.
Lantas, mengapa hal itu bisa terjadi? Apa saja dampak-dampak yang kemudian ditimbulkannya? Dan strategi-strategi apa yang dapat ditempuh untuk menanggulanginya? Pertanyaan-pertanyaan ini ah yang akan dijawab dengan tuntas dalam tulisan ini.
Akar Penyebab Krisis Literasi
Ada dua penyebab fundamental yang tak boleh luput dari tinjauan pemerintah: Pertama, kasus buta huruf. Di Indonesia telah tercatat sekitar 3,4 juta jiwa mengalami buta huruf. Papua merupakan daerah yang paling tinggi persentasenya. Sebenarnya ini cukup ironi mengingat Indonesia pernah menggelontorkan dana yang menggiurkan dalam Otsus (Otonomi Khusus) Papua Jilid 1, yang semestinya digunakan untuk membenahi masalah-masalah pendidikan.
Kedua, sistem pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia, umumnya, tak ada yang mengarahkan siswa untuk menyukai, atau setindaknya memberikan waktu, membaca dan menulis. Siswa hanya dijejali bermacam-macam mata pelajaran dan dituntut untuk melahap habis semua itu. Dengan adanya kebijakan Full-day School, rutinitas ini kian terasa melelahkan. Siswa tak pernah diajari bagaimana memahami dinamika persoalan yang terjadi dalam lingkup sosialnya. Ditambah lagi dengan sistem peringkat yang membuahkan persaaingan. Ini tak hanya menyebabkan siswa teralienasi dan akal kritisnya tergerus, melainkan juga menisbiskan esensi pendidikan yang berupa kekeluargaan dan gotong royong.
Memang Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nadiem Makarim melakukan gebrakan dengan mencetuskan kebijakan Asesment Kompetensi dan Survei Karakter yang salah satu isinya menumbuh-kembangkan literasi siswa. Namun, kebijakan yang dikabarkan dalam segi konteks senafas dengan metode PISA ini akan diimplementasikan tahun depan. Pada tahun 2016 silam, sebenarnya pernah dicetuskan program Gerakan Literasi Sekolah. Namun, metode yang semrawut mendorong program ini berjalan tidak efektif.
Beban persoalan yang sudah berat itu ditambah dengan persoalan industri perbukuan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44 Tahun 2020 tertulis bahwa para aktor industri perbukuan, khususnya penerbit, hanya mendapat insentif pajak. Terlebih lagi, negara hanya menanggung PPH 21 pegawai penerbitan dan percetakan. Maka, jangan heran jika saat pandemi ini industri perbukuan berada diambang kebangkrutan.
Namun, melihat kondisi literasi di Indonesia yang sungguh mencemaskan, pemerintah justru kerap melakukan razia buku-buku kiri di sejumlah toko di Indonesia. Sebenarnya, beberapa kali malah ditemukan buku-buku yang sama sekali tak mengandung unsur ideologi kiri. Salah satunya ialah Islam Sontoloyo karya Soekarno. Buku ini semacam panah yang dilesatkan pada kejumudan yang menyelimuti alam pikir orang muslim waktu itu. Tindakan tersebut tak hanya nir-manfaat, melainkan juga menimbulkan ketakutan dan pada taraf tertentu merupakan bentuk Desukornisasi.
Padahal tindakan tersebut sudah dilarang dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010 yang mencabut Undang-Undang Nomor 4/ PNPS/ 1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya menggangu ketertiban umum.
Dalam konteks historis Indonesia, razia buku-buku kiri dilangsungkan secara besar-besaran di zaman Orde Baru. Tindakan ini tak hanya mencerminkan ketakutan rezim pada komunimse, melainkan juga ketakutan jika kekuasaannya tercongkel. Sepertinya ini juga berlaku dalam pemerintahan sekarang. Namun, sebagaimana kata Milan Kundera, seorang Novelis besar dunia: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah”. Sehingga, jika pemerintah melangsungkan tindakan konyol itu, maka pemerintah ingin menghancurkan bangsanya sendiri.
Dampak dari Krisis Literasi
Di era globalisasi, arus informasi begitu deras dan dengan mudahnya diakses. Namun, kita mesti dapat memilah mana informasi yang valid dan sekedar Hoax.
Hoax merupakan informasi bohong yang dapat memicu kemarahan, perseteruan dan kebencian. Sayangnya, banyak orang Indonesia yang mengkonsumsi informasi Hoax. Salah satu faktornya ialah minimnya literasi. Orang yang tak punya kebiasaan membaca cenderung tak bisa berpikir logis dan kritis. Segala informasi yang datang berhamburan akan segera dilahap tanpa dicerna terlebih dahulu.
Dampak lain yang tak kalah krusialnya ialah sulitnya Indonesia untuk maju. Negara maju seperti, Singapura, Jepang, China dan Amerika Serikat, merupakan negara yang berada diurutan teratas dalam soal membaca. Di sana, orang banyak meluangkan waktu untuk membaca dan menghabiskan banyak buku dalam setahun. Tak heran toko-toko buku di sana begitu laris manis. Pada titik ini, memang benar apa yang dikatakan oleh Michael Foucault dalam bukunya Knowglede and Power, bahwa pengetahuan berjalan kelindan dengan kekuasaan. Artinya, pengetahuan seseorang menentukan besar tidaknya kekuasaan yang dapat dimonopolinya.
Dalam konteks sekolah, minimnya literasi melahirkan siswa yang apatis dan tak kritis dalam memandang suatu masalah. Ini merupakan persoalan yang urgen mengingat masa depan Indonesia berada di tangan mereka.
Solusi Jitu Atas Krisis Literasi
Jika berkaca pada penyebab krisis literasi yang sudah saya singgung di atas, maka yang harus dilakukan pemerintah ialah: Pertama, memberantas buta huruf sebagaimana pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno. Untuk itu, pemerintah mesti memberikan fasilitas dan mengirim guru-guru di daerah-daerah buta huruf.
Kedua, pemerintah perlu membenahi sistem pendidikannya. Pada posisi ini, pemerintah harus mengarahkan siswa untuk memiliki minat baca dan menulis. Jika terlaksana, pemerintah harus mengembangkan minat itu lebih lanjut.
Ketiga, pemerintah harus memperbaiki regulasi guna memakmurkan penerbit.
Keempat, Pemerintah harus segera menghentikan segala bentuk pemberangusan buku. Karena, dengan buku peradaban akan tumbuh, sedangkan dengan tiadanya buku peradaban akan hancur.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas guru. Patut diingat solusi ini tak bisa berjalan beriringan dengan UU Cika atau Omnibus Law. Pasalnya Undang-Undang “Sapu Jagat” itu justu mencabut hak-hak guru dan menghilangkan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru.
Kita sendiri semestinya juga berperan untuk meningkatkan literasi dengan membuka perpustakaan (sekalipun dalam taraf kecil) di desa-desa dan menghelat seminar tentang pentingnya lliterasi.
Artikel Lainnya
-
103231/08/2020
-
66721/10/2023
-
105315/10/2022
-
29705/08/2025
-
Membedah Implementasi Undang-Undang HAM di Indonesia: Sejauh Mana Efektivitasnya?
119906/10/2024 -
Seks dan Kekuasaan: Derita Perempuan Di Tengah Pandemi
216116/05/2020