Revitalisasi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Revitalisasi Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara 28/02/2020 1265 view Pendidikan Flickr.com

Mempelajari spirit hidup pihak-pihak tertentu yang dikenal publik sebagai yang berjasa bagi perjalanan bangsa Indonesia tidak semata-mata bertujuan untuk mempromosikan semacam pengkultusan terhadap mereka. Yang dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air bukanlah kultus maupun individu-individu tertentu, melainkan kehadiran tokoh-tokoh pejuang yang berperan sebagai model.

Nama Ki Hadjar Dewantara tidak asing lagi di telinga rakyat Indonesia. Ki Hadjar Dewantara memiliki nama asli Soewardi Surjaningrat. Dewantara dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia di bidang pendidikan, baik sebagai pemikir maupun sebagai praktisi dalam dunia pendidikan.

Sebagai seorang pemikir, Dewantara telah menuangkan berbagai ide konstruktif bagi progresivitas dunia pendidikan Indonesia pada zamannya dan menawarkan konsep, visi dan semboyan pendidikan yang cocok untuk rakyat Indonesia sepanjang zaman.

Sebagai seorang praktisi pendidikan, Dewantara telah berjasa dalam mendirikan perguruan Taman Siswa pada 13 Juli 1922 di Yogyakarta. Perguruan Taman Siswa adalah sebuah bentuk sekolah tandingan (counter school) terhadap sekolah yang didirikan oleh para penjajah Belanda yang mendidik generasi muda Indonesia kala itu dengan metode regering, tucht dan orde (perintah, hukuman dan ketertiban) (Bartolomeus Samho, 2013:82).

Ciri khas perguruan taman siswa adalah memperlakukan anak (peserta didik) sebagai subjek pendidikan dan mengolah potensi-potensi mereka (intelektualitas, emosionalitas, sosialitas, mentalitas dan spiritualitas) secara terintegratif. Karena jasanya sebagai pemikir dan praktisi pendidikan, maka tidaklah heran jika Dewantara digelari Perintis Pendidikan Nasional Indonesia.

Untuk mengenang jasa Dewantara, tanggal 2 Mei yang merupakan tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Memperingati hardiknas semestinya menggugah kesadaran segenap rakyat Indonesia, teristimewa stakeholders dalam dunia pendidikan untuk membenah metode pendidikan di Indonesia seturut inspirasi pendidikan yang pernah ditawarkan dan diwariskan oleh Dewantara.

Pendidikan Indonesia harus mampu menunjukkan peran dan kontribusi positifnya bagi progresivitas bangsa. Sudah saatnya pendidikan di Indonesia tidak saja melahirkan para lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga harus mampu menciptakan output yang bermoral, berjiwa kebangsaan dan demokratis demi dinamika Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik dan membanggakan. Itulah seberkas harapan Dewantara.

Pendidikan menurut Dewantara adalah sarana untuk memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia (Bartolomeus Samho, 2013:74). Dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia, pendidikan dan pengajaran harus dilakukan secara terpadu.

Pengajaran adalah suatu bentuk pendidikan dengan cara mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa. Pengajaran membuat siswa bergerak dari situasi tidak tahu menuju tahu. Pengaruh pengajaran pada umumnya adalah memerdekakan manusia atas hidup lahiriahnya, sehingga seseorang menjadi tahu, pintar, cerdas, cakap dan terampil.

Pendidikan yang ideal menurut Dewantara tidak hanya berhenti pada taraf pemerdekaan aspek lahiriah saja. Aspek batiniah pun perlu dimerdekakan. Untuk itu, Dewantara menawarkan konsep pendidikan budi pekerti.

Budi adalah perpaduan antara akal dan perasaan untuk menimbang yang baik dan yang buruk. Budi pekerti adalah sikap, tingkah laku, perangai, atau watak manusia. Ketika budi dan pekerti seseorang bersatu, maka bersatu jugalah gerak, pikiran, perasaan dan kehendak yang lalu menimbulkan tenaga padanya untuk bertindak selaras dengan nilai-nilai dan menimbulkan relasi yang harmonis antara dirinya dan lingkungan sosialnya.

Orang yang pandai tetapi tidak berbudi pekerti tidak ada gunanya dan bahkan berbahaya karena tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Upaya yang dapat ditempuh untuk mewujudkan pendidikan budi pekerti adalah melalui anjuran, nasihat, saran, teladan hidup dan motivasi kepada para peserta didik untuk melakukan pelbagai perilaku yang baik dan bermanfaat dalam kebersamaan dengan yang lain.

Kecerdasan budi pekerti berkat pendidikan mengantar seseorang pada kemerdekaan hidup batin, yang sifatnya ada tiga macam yaitu berdiri sendiri, tidak tergantung sepenuhnya pada orang lain dan mengatur diri sendiri atau menguasai diri (Bartolomeus Samho, 2013:76).

Lebih lanjut, visi pendidikan Dewantara adalah terciptanya peserta didik yang berintelek, bermoral, berbudi pekerti, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Didirikannya perguruan Taman Siswa oleh Dewantara bertujuan untuk merealisasikan visi pendidikannya tersebut. Lantas, pertanyaan provokatif yang muncul adalah apakah pendidikan kita zaman ini telah berhasil melanjutkan dan merealisasikan visi pendidikan Dewantara?

Di tengah diskursus tentang pentingnya pendidikan sebagai basis revolusi mental muncul sebuah ekstrim baru. Pendidikan yang diakui kemampuannya dalam menentukan dinamika dan progresivitas kehidupan menampakkan gejala destruktif dalam realitas. Banyak orang mulai menaruh pesimisme terhadap pendidikan sebagai sarana humanisasi.

Pesimisme tersebut semakin bertumbuh subur tatkala dikonfrontasikan dengan mentalitas pelajar zaman sekarang yang disinyalir sebagai produk dari pendidikan yang telah kehilangan orientasi. Sebut saja, virus mental instan, balapan liar, tawuran antarpelajar, penggunaan narkoba dan obat-obat terlarang, praktik seks bebas, vandalisme, kekerasan verbal maupun fisik terhadap peserta didik, dan sederetan litani kejahatan lainnya yang justru dilakonkan oleh kaum terpelajar.

Berhadapan dengan realitas mental zaman sekarang, kita bisa berasumsi bahwa ternyata ada yang salah dengan praktik pendidikan kita selama ini. Rupa-rupanya praktik pendidikan kita hanya mampu menghasilkan lulusan yang kaya pengetahuan, tetapi miskin dalam kepemilikan mental yang baik.

Hal ini senada dengan tesis yang disampaikan oleh seorang filosof Inggris Bertrand Rusell yang mengatakan bahwa “daya intelegensi manusia sudah berkembang sangat jauh ketimbang bakat-bakat moral mereka.” Dalam hal intelektual atau intelegensi, pelajar sudah menjadi dewasa dan bahkan sangat dewasa, tetapi dalam hal moral dan kepemilikan mental baik masih kekanak-kanakan.

Ini disebabkan karena praktik pendidikan yang lebih memfokuskan diri pada pengembangan kemampuan intelektual pelajar. Pendidikan direduksi maknanya hanya sebatas aktivitas transfer ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik. Praksis pendidikan di Indonesia sudah melorot menjadi indoktrinasi dan sosialisasi kognitif semata.

Untuk menyikapi persoalan tersebut harus ditemukan metode pendidikan yang tepat untuk dipraktikkan. Gagasan berikut ini mengacu pada pengertian bahwa metode pendidikan yang dipraktikkan seharusnya bertujuan menghilangkan atau paling kurang meminimalisir sedapat mungkin mentalitas buruk peserta didik yang dapat membahayakan diri sendiri dan sesama.

Dengan demikian, keberhasilan sebuah metode pendidikan tidak hanya diukur dari kualitas intelektual pelajar tetapi lebih dari itu bagaimana metode pendidikan tersebut membantu pelajar untuk menampilkan hal-hal yang konstruktif dalam kebersamaan dengan yang lain. Ini tantangan!

Semboyan pendidikan yang diwariskan oleh Dewantara dapat menjadi salah satu alternatif untuk menerapkan metode pendidikan yang membantu peserta didik untuk tidak hanya memiliki kualitas intelektual yang mumpuni, tetapi juga kualitas aspek emosional, spiritual, sosial, dan moral yang handal dalam kehidupan bersama.

Ada tiga semboyan pendidikan yang diperkenalkan oleh Dewantara yang mendesak untuk direvitalisasi dalam konteks pendidikan saat ini: Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang pendidik harus selalu berada di depan. Pendidik adalah pemimpin yang memberikan teladan baik melalui pikiran, perkataan maupun perbuatannya sehingga layak diteladani oleh para peserta didiknya. Sebuah peribahasa Latin berbunyi “verba movent, exempla trahunt” (kata-kata dapat menggerakkan orang, tetapi teladan lebih menarik hati).

Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para peserta didiknya dan terus-menerus memotivasi peserta didiknya untuk mengembangkan potensi-potensi dalam diri secara terintegratif. Semboyan ini mengajak para pendidik untuk melakukan “blusukan” ke ranah para peserta didik, mengalami apa yang dirasakan oleh mereka, dan memotivasi mereka untuk terus berjuang ke arah yang lebih baik.

Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang pendidik selalu mendukung para peserta didiknya untuk berkarya ke arah yang baik bagi hidup masyarakat. Pendidik mengikuti para peserta didiknya dari belakang, memperhatikan secara seksama kelebihan dan kekurangan dalam diri mereka dan memberi teguran ketika mereka melakukan tindakan-tindakan indisipliner yang bisa membahayakan dirinya sendiri dan sesama di sekitarnya.

Konsep dan semboyan pendidikan yang pernah diperkenalkan oleh Dewantara akan tetap relevan dalam rangka menghasilkan output pendidikan yang mampu membawa perubahan dalam hidup bersama bukan hanya melalui penggunaan kemampuan intelektual, melainkan juga penghayatan kecerdasan-kecerdasan lainnya seperti emosional, moral, sosial, dan spiritual.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya