Mengapa Lambang Negara Dijual Belikan Secara Bebas?

Activist
Mengapa Lambang Negara Dijual Belikan Secara Bebas? 16/08/2024 725 view Hukum republika.co.id

Bagaimana bisa tidak adanya larangan dalam memperjualbelikan lambang negara, yang tentunya tak lain adalah bendera pusaka Indonesia; Merah Putih. Mungkin saja, ketika kalian mendengar ini, yang tak lain dalam benak kalian munculnya begini, ”Iya kan, buat bantu UKM, kan kasihan, lagian yang jual juga kan belinya pakai uang”. Itulah beberapa jawaban yang telah saya kumpulkan dari hasil observasi mulai dari Sawojajar hingga Dau, kota Malang.

Kalian pernah berpikir gak, kenapa bendera merah putih harus didagangkan oleh masyarakat sipil guna untuk melanjutkan piring makan berikutnya. Lagian saya sangat kesal, melihat bendera di sepanjang jalan berjejeran, kemudian datang orang-orang mampir dan memberikan sejumlah uang dan pulang membawa bendera yang pusaka itu. Padahal, jika kita benar-benar merasakan bakti nasionalisme kita sendiri kepada tanah air Indonesia, tentunya kita merasa marah dengan perdagangan lambang negara. Bayangkan saja, ketika mendengar berita bahwa ada orang kaya secara dadakan karena meraup keuntungan secara besar-besaran dari hasil jual lambang negara; Bendera Merah Putih, gimana perasaan kalian?

Jika kita melirik kembali pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1958 Tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia dalam konteks menimbang poin (a) sudah menjelaskan bahwa bendera kebangsaan Sang Merah Putih adalah lambang kedaulatan dan tanda kehormatan Republik Indonesia ( baca PPRI/No/40/1958). Masa iya, boleh diperdagangkan lambang kesucian dan keberanian negara?

Sebagai renungan, saya ingin mengajak kita semua membaca kembali Surat Edaran Menteri Sekretaris Negara tahun 2023, Nomor B-523/M/S/TU.00.04/06/2023 tertanggal 13 Juni 2023 tentang “pemasangan” bendera merah putih. Untuk mengutip kata pemasangan saya sih lebih sepakat dengan Boaz Karepea yang pernah meminta kepada pemerintah kabupaten Mimika untuk membagikan bendera secara gratis kepada seluruh masyarakat bukan untuk diperjualbelikan.

Bendera adalah lambang “harga diri sebuah bangsa”. Jika kita menghalalkan penjualan bendera, maka harga diri kita sebagai warga negara bisa dijual belikan. Seperti yang terpajang di jalur trotoar dan jalur checkout-online. Ingatkah kita kepada Soekarno yang pernah berteriak melontarkan gemuruh nasionalisme-nya, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Tentunya ini bukan bentuk provokasi ekstrim, tapi sebuah pukulan untuk menyadarkan pemerintah kita agar membagikan bendera pusaka merah putih secara gratis ketimbang membiarkan lambang negara itu bisa diperjualbelikan. Maka, kata “penjualan” bisa digantikan dengan “pembagian”. Penjualan bendera akan semakin terkikis dengan adanya rancangan tindak lanjut atas dasar kesadaran pemerintah.

Tentunya ini bukanlah hasutan untuk mematikan rejeki para pedagang bendera, ini hanyalah pukulan untuk menyadarkan kita semua, sebagai bangsa yang besar dan taat kepada ideologi negara dengan asas-asas nasionalisme. Dalam liputan Times Indonesia Sumsel, tentang pengorbanan penjual bendera di Palembang yang harus kucing-kucingan dengan Satpol PP. Seorang perempuan bernama Asmawati yang dulunya sempat ditangkap mengaku harus menghindar dari kepungan Pamong Praja karena berjualan pada tempat yang tidak tepat (11/8/2024). Adapun liputan Detik News tentang penjualan bendera merah putih secara paksa yang dilakukan oleh 3 pria di Sukabumi (5/8/2021), lalu mereka ditangkap dan diamankan oleh pihak kepolisian. Sungguh sangat disayangkan kalau sudah begini, kan jadinya apes.

Andaikan saja bendera itu dibagikan secara gratis tentu urusan Satpol PP hanyalah untuk menangkap pedagang liar dan menjaga kenyamanan serta kedamaian kota saja, bukan untuk menangkap pedagang bendera. Saking susahnya mendapatkan pekerjaan, menjual harga diri negara pun dilegalkan. Lantas yang harus kita salahkan siapa ya?

Saya malah membayangkan, jika ada pedagang bendera yang mendadak kaya raya dalam satu bulan, karena penjualannya pasti musiman, itu gimana ya perasaan “pekerja” lainnya? Tentunya jika hal ini terus dilegalkan maka semua orang akan berbondong-bondong menjadi pedagang musiman; penjual bendera merah putih. Apakah para pedagang bendera yang mendadak kaya ini akan diundang ke podcast-nya Deddy Corbuzier seperti Ghozali Everyday yang mendadak kaya karena menjual foto selfienya? Tentunya ini hal yang nggak lucu, karena seluruh dunia akan menertawakan bangsa ini.

Tentunya melalui keresahan ini, pemerintah kita tidak boleh menutup matanya. Saya berharap adanya konsep untuk merancang kembali kekacauan yang sudah berakar ini. Jika boleh bertanya, apakah negara tidak mampu memberikan anggaran untuk memesan bendera sebanyak 283.750.005 serasi dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini? Saya yakin itu sangatlah mungkin untuk mengharamkan “Penjualan Bendera” dan diganti dengan “Pembagian Bendera”. Tentunya ini bukan ide gila. Jika saya membuat perbandingan, masa bendera partai saja dibagikan secara gratis dan terstruktur kepada seluruh rakyat Indonesia, lambang negara kok nggak bisa melakukannya? Untuk menghindari perbandingan konyol seperti ini, tentunya pemerintah harus segera mengambil tindakan untuk membagikan bendera secara gratis dan memberikan arahan kepada seluruh pimpinan daerah untuk melarang penjualan bendera di wilayah mereka masing-masing.

Sekali lagi saya terangkan, bahwa jangan sampai media nasional bahkan internasional memberitakan Orang Kaya Baru (OKB) karena meraup keuntungan dari hasil menjual lambang negara. Cukuplah bendera partai dan bendera sepakbola yang boleh menghiasi pasar dan jalanan, bendera negara tidak diperbolehkan, karena harga diri kita sebagai bangsa yang besar ada dalam kedua lambang itu, putih sebagai kesucian dan merah sebagai keberanian, yang pada intinya adalah sebagai kunci kesuksesan para pahlawan mengusir penjajah di bumi pertiwi kita ini. Walaupun katanya, pemerintah memberikan bendera negara hanya kepada mereka yang tidak mampu, diharapkan adanya pembatalan terkait hal itu, dikarenakan yang merasa mampu akan membeli menggunakan uang sendiri dan para pedagang bendera akan terus berkeliaran.

Jika kita membaca kembali pasal 24 UU Nomor 24 Tahun 2009 yang mengatur mengenai larangan-larangan terhadap bendera merah putih, yang bunyinya; (1) setiap orang tidak boleh merobek, merobek, menginjak, membakar, menodai, menghina, dan merendahkan bendera merah putih karena merupakan Bendera Negara. (2) Setiap orang dilarang menggunakan Bendera Negara untuk iklan komersial atau reklame. (3) Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut dan kusam. (4) Setiap orang dilarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara. (5) Setiap orang dilarang memaknai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.

Namun, saya tertarik pada poin ke empat yang melarang setiap orang untuk “mencetak” dan “menyulam” lambang negara, toh buktinya banyak sekali cetakan bendera dengan beragam jenis dan penyulaman kembali sesuai niat dan kesenian mereka yang membuatnya. Apakah kita tidak melihat bahwa bendera merah putih telah disulam menjadi beragam untuk menghiasi jalanan dengan sebutan umbul-umbul. Padahal sudah diterangkan juga pada PPRI Nomor 40 Tahun 1958 Tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia pada Bab 1 Umum (pasal 1) yang berbunyi “Bendera kebangsaan Sang Merah Putih, selanjutnya disebut Bendera Kebangsaan, berbentuk segi-empat panjang, yang lebarnya dua pertiga daripada panjangnya; bagian atas berwarna merah, dan bagian bawah berwarna putih sedang kedua bagian itu sama lebarnya.” Nyatanya, masih banyak penyulaman dan pencetakan bendera untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia.

Yah, harapannya cuman satu. Pemerintah harus segera melihat pengikisan rasa nasionalismenya serta kurangnya kesadaran setiap warga negara!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya