Jawanisasi Presiden
Dari sekian 7 presiden yang kita punya hanya satu orang yang berasal dari kalangan non-Jawa yaitu B.J Habibie yang berasal dari Parepare, Sulawesi Selatan sisanya sebanyak 6 lainnya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sebagai negara majemuk yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 1.340 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke menjadikannya sebagai negara yang secara luar biasa mampu menyatukan potensi keberagaman itu dalam bingkai NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara. Kalau kita melihat sesungguhnya tidak banyak negara yang berhasil melakukan hal itu.
Indonesia sendiri resmi memiliki presiden yaitu sehari setelah proklamasi ketika PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengangkatnya menjadi presiden pertama Indonesia yang dipegangnya sampai tahun 1967 .
Memasuki era pemilihan langsung presiden yaitu sejak masa SBY sampai sekarang tren ini sepertinya bakal tetap sama mungkin sampai ratusan tahun nanti. Lalu kira-kira mengapa sulit untuk mengharapkan presiden Indonesia dari suku-suku lain seumpama Batak, Sunda, Minang atau Papua?
Jawaban yang paling masuk akal mungkin karena populasi suku Jawa baik itu Jawa Timur dan Jawa Tengah mencapai 41% dari populasi atau mencapai 95 juta jiwa. Melihat hasil pilpres 2004, 2009, 2014 dan 2019 hal yang sama terus berulang yaitu pemilih cenderung berorientasi memilih tokoh calon presiden secara tradisional yaitu kedekatan sosial budaya, suku, agama dan asal usul bukan dari visi-misi ataupun program.
Melihat tren yang belum berubah wajarlah jika tokoh-tokoh hebat bangsa ini yang terlanjur lahir dari etnis dan suku non-Jawa sebut saja Jend (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Ahok, Surya Paloh dan lain-lain akan sulit untuk memenangkan kontestasi tersebut. Padahal secara kemampuan, pengalaman dan track record tokoh-tokoh ini sudah terbukti pengabdiannya bagi bangsa dan negara. Hal tersebut bisa dilihat dari sumbangsih mereka ketika menjabat, penghargaan dan bintang jasa serta riwayat jabatan yang mumpuni.
Hasil survey Charta Politica Indonesia dengan metode sampling pengacakan sistematis yang dirilis bulan Maret 2021 menunjukan bursa calon presiden 2024 dari 12 nama hanya 5 nama yang berasal dari non-Jawa yaitu Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil dan Erick Tohir sisanya berasal dari Suku Jawa. Menariknya dari 5 nama tersebut hanya Sandiaga Uno yang lahir di luar Pulau Jawa yakni di Pekanbaru, Riau. Menurut saya sangat terlihat Pulau Jawa dan Suku Jawa menjadi pusat polarisasi kekuatan politik. Jika seseorang hendak mendapat perhatian politik paling tidak harus menjadi seorang Jawa atau lahir di pulau Jawa sehingga cukup memahami budaya politik Indonesia yang sangat Jawa sentris.
Nama Prabowo Subianto secara harafiah memang sangat Jawa sekali bahkan dalam kesempatan debat presiden dia pernah menyebut dirinya adalah orang Banyumas-Minahasa. Jadi dalam hal ini Prabowo Subianto sangat diuntungkan karena mendapat simpati sangat besar dari orang Jawa sekaligus non-Jawa. Tidaklah mengagetkan kalau pada pilpres 2019 lalu Prabowo Subianto mendapat suara fantastis lebih dari 68 juta suara atau terpaut hampir 17 juta suara lebih dari Presiden Jokowi.
Jawanisasi menurut saya sudah ada sejak zaman Presiden Sukarno dengan program transmigrasinya yang kemudian dilanjutkan secara masif oleh Orde Baru. Transmigrasi sebagai warisan Kolonialisme Belanda juga secara langsung atau tidak langsung berdampak kepada pemerataan orang Jawa sampai ke pulau-pulau di seluruh Indonesia. Belum lagi warisan orde lama dan orde baru yang mewariskan pola kepemimpinan yang sangat berbau jawa. Contoh sederhana panggilan mas atau mba bagi laki-laki dan perempuan menyebar secara nasional, semboyan nasional, warna bendera dan ideologi negara juga sangat merujuk kepada Majapahit yang adalah kerajaan besar di Pulau Jawa. Tidak dapat disangkal secara jelas bahwa Indonesia dekat sekali dengan kultur Jawa.
Jadi tampaknya kita harus bersabar menantikan kiprah generasi Z dan Alfa yang akan memilih pada pemilu 2024 mendatang. Tampaknya pergeseran pola pemilih tradisional menjadi pemilih rasional dan kalau ini bisa terjadi melalui pendidikan politik yang baik maka diharapkan bukan soal suku atau agama tetapi adanya calon-calon presiden yang selama ini tidak diperhitungkan akan muncul dan menjadi bahan pertimbangan pemilih.
Jusuf Kalla pernah mengatakan butuh 100 tahun untuk orang luar Jawa menjadi presiden di Indonesia. Tetapi yang menarik adalah apakah ada implikasi bagi penduduk non-Jawa akan hal tersebut? Saya percaya presiden terpilih sudah menyadari hal tersebut, itulah sebabnya ketika mereka menyusun kabinet kita melihat komposisi yang cukup merata dari segi asal menteri secara suku. Sebagai contoh pada kabinet sekarang kita melihat ada keterwakilan Suku Nias yang di wakili oleh menteri Yasona Laoli, Bahlil Lahadalia Menteri Invsetasi asal Papua, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Jalil asal Aceh, Menkominfo Johny G Plate asal NTT. Tampaknya cara membagi-bagi kursi menteri secara proporsional secara kedaerahan menjadi cara yang cukup efektif memuaskan masyarakat di daerah-daerah. Hal ini bisa kita lihat dari zaman presiden soekarno sampai saat ini yaitu keterwakilan menteri asal provinsi-provinsi coba dibuat berimbang yakni tidak semua berasal dari Jawa.
Meski demikian ke depan semakin banyak pilihan calon-calon presiden maka diharapkan semakin ada harapan masyarakat melihat calon-calon presiden alternatif yang berasal dari semua kalangan dari seluruh Indonesia.
Artikel Lainnya
-
25214/04/2025
-
222616/05/2020
-
277109/09/2024
-
Pewartaan Iman Melalui WhatsApp
136727/08/2022 -
Cyberbullying Merusak Mental Generasi Muda
210814/10/2021 -
Kepemimpinan dan Misi Seorang Paus Fransiskus
25609/09/2024
