Partai Politik dan Krisis Kepercayaan Publik

Periset Bidang Studi Kebijakan Publik & HAM, Aktivis Amnesty International Indonesia
Partai Politik dan Krisis Kepercayaan Publik 09/09/2024 2150 view Politik Istockphoto.com

Beberapa waktu belakangan, saya sering kali mendengar percakapan tentang partai politik, dan sayangnya, hampir semuanya bernada pesimis. Ada yang berkata, "Ah, semua partai sama saja, hanya mencari kekuasaan!" atau "Mereka hanya ingat rakyat saat kampanye." Saya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pandangan seperti itu, karena memang fenomena ini bukan hal baru. Jika kita amati lebih dalam, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik memang semakin menurun.

Hal pertama yang mungkin patut dicermati adalah janji kampanye. Berapa banyak dari kita yang bisa mengingat janji-janji kampanye yang begitu muluk saat masa pemilu, tetapi kemudian menguap begitu saja setelah kursi kekuasaan berhasil diraih? Saya yakin kita semua pernah mendengarnya. Masyarakat dijanjikan kemakmuran, kesejahteraan, dan perbaikan nasib, tetapi dalam kenyataannya, hanya sedikit dari janji itu yang benar-benar diwujudkan.

Korupsi menjadi faktor besar lainnya yang turut menggerus kepercayaan publik. Bagaimana mungkin kita bisa mempercayai partai-partai yang anggotanya kerap terjerat kasus korupsi? Saya pikir, setiap kali kita membaca berita tentang penangkapan pejabat partai yang terlibat dalam korupsi, sedikit demi sedikit kepercayaan kita terkikis. Yang lebih ironis adalah ketika partai yang bersangkutan masih bisa dengan mudah menggalang dukungan pada pemilu berikutnya, seolah tidak pernah ada masalah serius yang terjadi.

Selain itu, politik uang juga menjadi sorotan. Uang digunakan sebagai alat untuk memenangkan hati rakyat dalam bentuk-bentuk seperti "serangan fajar" atau bantuan instan saat masa kampanye. Ini jelas mengindikasikan bahwa demokrasi kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Dengan pola seperti ini, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan kepercayaan yang tulus dari masyarakat? Kebanyakan orang mulai berpikir bahwa politik hanyalah soal uang dan kekuasaan, bukan lagi soal memperjuangkan kepentingan rakyat.

Fenomena lain yang menurut saya turut andil dalam krisis kepercayaan ini adalah kesenjangan antara elit partai dan kebutuhan masyarakat. Banyak elit partai yang terlihat jauh dari realitas kehidupan rakyat biasa. Mereka mungkin duduk di ruang-ruang mewah dengan segala kenyamanan, sementara di luar sana masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan dan kesulitan. Elit partai seolah-olah hidup dalam dunia mereka sendiri, jauh dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Ketika mereka berbicara tentang pembangunan, seringkali itu hanya sebatas konsep di atas kertas, tanpa benar-benar menyentuh inti persoalan yang dihadapi masyarakat sehari-hari.

Menurut survei yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia pada tahun 2023, tingkat kepuasan publik terhadap partai politik menempati urutan paling bawah dengan persentase 65,3 persen. Angka ini sungguh memprihatinkan, menggambarkan betapa rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi kita. Partai politik, yang seharusnya menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, justru semakin teralienasi dari masyarakat yang mereka wakili.

Dari situ, saya melihat bahwa perilaku partai yang lebih mementingkan kepentingan kekuasaan dibanding kepentingan rakyat semakin memperburuk situasi. Fokus partai politik seharusnya adalah bagaimana menjalankan aspirasi masyarakat, tetapi pada kenyataannya, banyak yang justru lebih sibuk dengan strategi bagaimana mempertahankan atau memperluas kekuasaan. Jika ini terus berlangsung, maka saya rasa kita akan semakin sulit untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Krisis kepercayaan terhadap partai politik ini tentu berdampak besar pada demokrasi kita. Ketika rakyat tidak lagi percaya pada partai politik, mereka cenderung apatis terhadap politik secara keseluruhan. Ini bisa berujung pada rendahnya partisipasi dalam pemilu, yang pada gilirannya, bisa mengancam legitimasi demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat, tetapi jika masyarakat kehilangan kepercayaan, bagaimana mereka bisa berpartisipasi dengan sepenuh hati?

Selain itu, krisis kepercayaan ini juga berdampak pada stabilitas pemerintahan. Pemerintah yang tidak didukung oleh kepercayaan publik akan selalu menghadapi tantangan dalam menjalankan kebijakannya. Mereka akan lebih sering berhadapan dengan protes, kritik, dan ketidakpuasan dari masyarakat. Stabilitas pemerintahan akan terganggu jika masyarakat terus merasa bahwa kepentingan mereka tidak didengar atau diperjuangkan oleh partai politik.

Mengembalikan kepercayaan masyarakat bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan komitmen nyata dari partai politik untuk melakukan reformasi internal. Reformasi ini bisa dimulai dengan mengedepankan transparansi dalam segala hal, mulai dari pendanaan partai hingga proses pengambilan keputusan. Partai politik juga perlu lebih sering turun ke lapangan, mendengar keluh kesah masyarakat, dan benar-benar memperjuangkan kepentingan mereka.

Seperti yang dikatakan oleh Larry Diamond, seorang pakar politik dari Stanford University, "Demokrasi membutuhkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi rakyat. Tanpa ketiga hal ini, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik." Saya rasa kutipan ini relevan dengan situasi partai politik kita saat ini. Tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas, kepercayaan publik akan terus tergerus.

Pada akhirnya, semua kembali kepada kita. Partai politik adalah representasi dari kita sebagai masyarakat. Ketika kita memilih untuk apatis atau tidak peduli, maka partai politik yang ada tidak akan merasa perlu berubah. Tetapi, jika kita terus mengawasi, mengkritik, dan menuntut perubahan, saya yakin partai-partai politik akan mulai memperhatikan dan berusaha lebih baik.

Jadi, di tengah krisis kepercayaan ini, saya melihat bahwa masih ada harapan, asalkan kita, sebagai rakyat, terus menuntut perbaikan dan tidak menyerah pada apatisme. Partai politik harus berubah, karena tanpa dukungan rakyat, mereka tidak akan pernah benar-benar bisa mewakili kepentingan kita.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya