Ironi Eksistensi Reformasi di Era Efisiensi

Dosen Ilmu Komunikasi, dan Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi (PK Gebrak) UNP
Ironi Eksistensi Reformasi di Era Efisiensi 06/06/2025 933 view Politik islami.co

Meski bulan Mei baru saja berlalu, namun suasana peringatan Hari Reformasi masih aktual dibicarakan, apalagi resonansinya begitu kuat dalam narasi sejarah Indonesia. Sebagaimana semua orang tahu, eksistensi reformasi kini menghadapi tantangan baru di era pemerintahan yang “mendewakan” efisiensi.

Sejak gelombang '98 yang menumbangkan rezim otoriter Orde Baru, janji-janji reformasi—demokrasi, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan tata kelola pemerintahan yang baik—terus digulirkan. Selama 27 tahun itu pulalah janji-janji itu dipertanyakan.

Lebih jelasnya, setelah lebih dua dekade berselang, pertanyaan tentang eksistensi dan substansi nilai-nilai reformasi menjadi semakin relevan, terutama ketika logika efisiensi mulai mendominasi diskursus kebijakan, kerap kali menyingkirkan atau bahkan mengorbankan prinsip-prinsip substansial reformasi itu sendiri.

Efisiensi Vs Substansi Reformasi

Dibawakan ke pemahaman paling mendasar, mestinya konsep dan paradigma efisiensi adalah di mana segala sesuatu diukur dengan metrik keluaran yang cepat, biaya yang minim, dan hasil yang terukur secara kuantitatif.

Ini adalah semangat yang baik dalam konteks manajemen dan bisnis terlebih tata kelola keuangan negara. Namun ketika diterapkan tanpa kritik pada domain reformasi, ia bisa menjadi pedang bermata dua. Dalam banyak kasus, regulasi efisiensi telah mendorong lahirnya kebijakan yang bersifat reaktif dan tambal sulam, seringkali tanpa menyentuh akar masalah struktural yang menjadi pangkal persoalan.

Ambil contoh reformasi birokrasi. Sejak awal, ia didengung-dengungkan sebagai kunci untuk menciptakan birokrasi yang ramping, profesional, dan melayani. Berbagai program diluncurkan, mulai dari e-government, penyederhanaan prosedur, hingga reformasi sistem penggajian.

Hasilnya? Beberapa indikator memang menunjukkan perbaikan. Waktu pelayanan lebih cepat, aduan masyarakat yang lebih mudah diakses, hingga beberapa unit kerja yang menunjukkan peningkatan kinerja. Namun, apakah ini mencerminkan reformasi substansial? Apakah ia berhasil mengikis budaya KKN yang endemik, memangkas mentalitas "raja kecil", atau membangun sistem meritokrasi?

Kenyataannya di lapangan, seringkali kebijakan efisiensi mengarah pada formalitas. Terciptanya aplikasi-aplikasi layanan online memang efisien secara prosedur, namun belum tentu efisien dalam menghilangkan praktik pungli yang bersembunyi di baliknya. Adanya sistem penilaian kinerja pegawai yang ketat mungkin efisien dalam memilah "kinerja buruk", namun belum tentu efektif dalam menumbuhkan inovasi dan inisiatif jika lingkungan kerja masih diselimuti feodalisme dan sengkarut sistem yang tidak efisien dalam birokrasi.

Padahal, esensi reformasi birokrasi adalah perubahan budaya dan mindset, bukan sekadar digitalisasi prosedur. Ketika efisiensi menjadi satu-satunya mantra, kita berisiko menciptakan birokrasi yang tampak modern dan efisien di permukaan, namun rapuh dan korup di dalam.

Ancaman terhadap Demokrasi

Dorongan efisiensi juga berpotensi mengancam pilar-pilar demokrasi dan hak asasi manusia yang justru menjadi jantung reformasi. Dalam konteks penegakan hukum, misalnya, seringkali kita melihat prioritas pada "penyelesaian kasus cepat" atau "penurunan angka kejahatan" sebagai indikator efisiensi.

Hal ini bisa berbahaya jika hukum yang adil tetap diabaikan, hak-hak tersangka dikebiri, atau upaya untuk memberantas kejahatan di hulu justru setengah hati. Praktik-praktik seperti bargaining kasus, penyelesaian di luar pengadilan yang tidak transparan, atau bahkan potensi kriminalisasi aktivis, bisa saja dibenarkan atas nama efisiensi penegakan hukum.

Lebih jauh, dalam ranah politik dan demokrasi, semangat efisiensi kerap diterjemahkan sebagai keinginan untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan, membatasi partisipasi publik yang dianggap "merepotkan", atau bahkan mengikis mekanisme check and balance yang justru menjadi fondasi demokrasi.

Mirisnya lagi, dalih "mempercepat pembangunan" atau "menarik investasi" seringkali digunakan untuk membenarkan pemangkasan prosedur perizinan yang bisa berdampak pada lingkungan, hak-hak masyarakat adat, atau transparansi proyek. Pada titik ini, efisiensi jangan sampai menjadi justifikasi untuk meminggirkan partisipasi publik dan mengabaikan dampak sosial-lingkungan dari kebijakan.

Kita juga menyaksikan bagaimana upaya efisiensi seringkali mengalami distorsi manakala digunakan untuk melemahkan lembaga-lembaga independen yang merupakan garda terdepan reformasi, seperti KPK, Ombudsman, atau Komnas HAM. Narasi "penyederhanaan struktur" atau "efisiensi anggaran" dapat menjadi pintu masuk bagi intervensi politik yang berujung pada pelemahan independensi. Padahal, justru lembaga-lembaga inilah yang bertugas mengawasi dan mengoreksi praktik-praktik yang tidak efisien dan koruptif dalam birokrasi.

Di ranah pendidikan, regulasi efisiensi anggaran di Kemendiktisaintek yang berdampak kepada pemotongan anggaran penelitian adalah isu yang tidak bisa dibiarkan. Terlebih, faktanya sudah terjadi di berbagai perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri. Ini tentu membuat kita semua semakin mengurut dada. Janganlah sampai kebijakan efisiensi mematahkan semangat peneliti yang sejatinya melakukan investasi bagi kemajuan bangsa melalui hasil riset dan inovasinya.

Kapitalisme Ekstraktif

Di balik narasi efisiensi, kerap kali terselubung pula kepentingan kapitalisme ekstraktif. Pembangunan infrastruktur yang masif, ekspansi industri ekstraktif, dan deregulasi ekonomi seringkali dibungkus dengan argumen efisiensi untuk "menarik investasi" dan "mendorong pertumbuhan ekonomi". Parahnya, dan sudah bukan rahasia umum, efisiensi semacam ini seringkali hanya dinikmati oleh segelintir kelompok, sementara dampaknya—penggusuran, kerusakan lingkungan, hilangnya mata pencarian masyarakat lokal—diabaikan.

Pembangunan yang terburu-buru demi efisiensi jangka pendek seringkali abai terhadap prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial. Proyek-proyek yang "cepat selesai" namun menyisakan konflik agraria, pencemaran lingkungan, atau utang yang menumpuk bagi generasi mendatang, adalah contoh bagaimana efisiensi yang sempit dapat merusak esensi pembangunan yang berkeadilan. Reformasi seharusnya mendorong model pembangunan yang inklusif, berkelanjutan, dan menghargai hak-hak dasar masyarakat, bukan sekadar memprioritaskan pertumbuhan ekonomi semata.

Urgensi Reformasi Substantif

Lantas, bagaimana menjawab pertanyaan eksistensi reformasi yang susbtantif di tengah gelombang efisiensi ini? Jawabannya bukan dengan menolak efisiensi sepenuhnya. Efisiensi, dalam arti yang positif, adalah tentang optimalisasi sumber daya dan proses untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Namun, ia harus ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu reformasi substantif yang berlandaskan pada nilai-nilai demokrasi, keadilan, akuntabilitas, dan hak asasi manusia.

Efisiensi tidak boleh hanya diukur dari kecepatan atau biaya, tetapi juga dari dampaknya terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat, penegakan keadilan, penguatan demokrasi, keberlanjutan lingkungan dan peningkatan inovasi serta hak kekayaan intelektual yang unggul. Efisiensi harus melayani tujuan reformasi, bukan menjadi tujuan itu sendiri.

Tak kalah penting, efisiensi jangan sampai menjadi alasan untuk membatasi partisipasi masyarakat. Justru, partisipasi yang luas dan bermakna akan menghasilkan kebijakan yang lebih robust dan diterima masyarakat. Teknologi dapat digunakan untuk memfasilitasi partisipasi, bukan menggantikannya.

Sementara itu, yang tak kalah krusial, masyarakat perlu terus diedukasi tentang esensi reformasi dan bahaya dari efisiensi yang sempit. Kesadaran publik yang kritis adalah benteng terakhir terhadap penyalahgunaan kekuasaan atas nama efisiensi.

Pada akhirnya, menyoal substansi reformasi di era efisiensi adalah pertanyaan tentang komitmen. Apakah kita akan membiarkan reformasi tereduksi menjadi sekadar serangkaian kebijakan formalitas yang efisien di permukaan, namun kosong dan rapuh secara esensi? Atau, apakah kita akan bersikeras bahwa efisiensi harus menjadi alat untuk mencapai reformasi substantif, yang benar-benar mewujudkan cita-cita demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia?

Jawabannya terletak pada keberanian kita untuk melihat melampaui angka-angka, merenungkan kembali tujuan sejati dari reformasi, dan untuk terus berjuang demi cita-cita yang lebih besar.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya