Gagap Komunikasi Pemimpin Vs Tanggap Virtual Publik
Bencana pandemi Covid-19 sungguh luar biasa efeknya. Pemerintah pun terlihat pontang panting berupaya agar terlihat bekerja maksimal menanganinya. Namun sayang, beberapa langkah positif ternodai oleh tragedi komunikasi lingkaran istana yang terkesan gagap dan tidak saling bersinergi.
Silang pendapat sempat terjadi antara Menkumham Yasonna Laoly dan pihak KSP mengenai rencana pembebasan napi korupsi. Selanjutnya antara Jubir presiden Fadjroel Rachman dan Mensesneg Pratikno mengenai mudik lebaran hingga ralat pernyataan presiden terkait isu Darurat Sipil dan paket relaksasi kredit bagi terdampak Covid-19.
Insiden di atas langsung disambut gerakan cepat (gercep) publik dengan cibiran dan kecaman. Alih-alih mengakui dan melakukan permintaan maaf, pemerintah kembali melakukan blunder komunikasi. Kembali Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman pelakunya. Ia meminta semua pihak berhenti melancarkan kritik negatif terhadap langkah yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi virus corona (Covid-19). Fadroel mengatakan itu dalam acara diskusi bertajuk Polemik: COVID-19 Ujian Kebersamaan Kita di Jakarta, Sabtu (21/3).
Pernyataan di atas tak ayal kembali menuai polemik publik. Pemerintah dianggap anti kritik, padahal kritik merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Kritik publik dapat menjadi penyeimbang atau kontrol bagi kebijakan pemerintah. Buktinya ketika Presiden Jokowi menggulirkan wacana penerapan Darurat Sipil dan menuai kritik, akhirnya diganti dengan Darurat Kesehatan Masyarakat. Kritik negatif mesti dijabarkan kriteria yang dimaksud. Akan lebih pas jika dinyatakan sebagai kritik yang destruktif dan kontra produktif.
Kekuatan Virtual
Bentuk Gercep yang patut diperhitungkan pemerintah adalah melalui media virtual. Menurut riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020", hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet.
Riset yang dirilis pada akhir Januari 2020 itu menyebutkan, jumlah penguna internet di Indonesia sudah mencapai 175,4 juta orang, sementara total jumlah penduduk Indonesia sekitar 272,1 juta. Dibanding tahun 2019 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat sekitar 17 persen atau 25 juta pengguna.
Fenomena di atas membuktikan bahwa era komunikasi dan informasi telah menciutkan dunia menjadi global village. Ukuran geografis menjadi tidak bermakna dengan kehadiran medsos. Lalu lintas komunikasi menjadi tidak terbatas secara ruang dan waktu.
Ke depan kekuatan medsos berpotensi menjadi kenyataan jika digarap secara serius. Kuncinya bagaimana teknologi dan globalisasi yang mengarah ke virtualisasi ini dapat kita tunggangi, bukan sebaliknya. (Dahana, 2012).
Medsos juga memiliki potensi disalahgunakan untuk hal-hal negatif. Internet seperti kertas, bisa dipergunakan untuk apapun (George, 2014). Hal ini menuntut partisipasi netizen guna mengawasi dan ikut memperbaiki kualitas komunikasi di medsos.
Revitalisasi Komunikasi
Situasi sulit ini penting segera ditanggapi serius dan cepat oleh Jokowi. Salah satunya dengan memperbaiki komunikasi publik. Komunikasi menjadi kunci netralisasi konstelasi politik yang sedang bermasalah. Efektif tidaknya seorang pemimpin akan dipengaruhi oleh kemampuannya melakukan komunikasi antara lain berupa komunikasi interpersonal (Iqbal, 2014).
Menurut The Situasional Theory of Leadership (Teori Situasional), pemimpin sejati adalah yang mampu menjadikan keadaan-keadaan darurat sebagai kesempatan baik untuk mengatasi keadaan kritis tersebut. Kemampuan ini tergantung salah satunya dengan kecakapan berkomunikasi. Safruddin (2007) memberikan tips menuju efektifitas komunikasi pemimpin. Diantaranya adalah berpikir sebelum bicara, mengendalikan emosi, mengenali isu, sesuai visi-misi, komitmen, menjawab pertanyaan dengan jelas, jadi pendengar baik, dan menghindari surprise.
Pemerintahan Jokowi penting mengoptimalkan media virtual dalam melakukan komunikasi politik. Semua bentuk media virtual, seperti media sosial, media elektronik, dan media cetak penting pula dioptimalkan. Semakin banyak media dimanfaatkan, maka akan semakin banyak informasi, saran, masukan, dan kritik dari publik yang diserap.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah respon cepat. Komunikasi virtual mesti dilangsungkan dua arah secara dinamis. Tindak lanjut atas saran dan kritik mesti cepat dipublikasikan demi kepuasan publik.
Jokowi tanpa perlu malu juga penting meniru gaya komunikasi politik SBY. Yudhoyono mampu membangun komunikasi politik dengan DPR, partai politik, dan tokoh-tokoh nasional secara cantik, sabar, tekun, dan merendah (Natsir, 2015). Gaya ini sukses membangun hubungan yang kondusif antar lembaga negara. Meskipun tetap ada pihak yang menolak, kebijakan pemerintahan Yudhoyono tetap bisa dijalankan.
Kepemimpinan Jokowi kini diuji dalam mengelola isu dan mengefektifkan komunikasi publik. Pernyataan istana penting segera ditata. Kasus silang pendapat dari lingkaran Istana memberikan hikmah agar Jokowi segera menata pola dan sistem komunikasi kepemimpinanya terkhusus dalam menghadapi darurat pandemi Covid-19 ini.
Gaya dan mekanisme komunikasi istana juga penting diperbaiki. Banyaknya organ struktural istana memberikan dilema kewenangan dalam komunikasi publik. Penanggungjawab publikasi apakah Mensesneg, seskab, Kepala Staf Kepresidenan, Jubir, atau yang lain.
Kasus komunikasi benar-benar harus menjadi perhatian presiden. Jika tidak ada tindak lanjut, maka bukan tidak mungkin akan tercipta efek bola salju dan menjadi bumerang politik bagi Jokowi. Situasi kritis dan darurat seperti sekarang membutuhkan pemimpin tanggap bukan gagap, apalagi sekadar berkomunikasi.
Artikel Lainnya
-
283106/06/2020
-
20213/12/2023
-
227410/09/2019
-
Merawat Karakter Pancasilais di Tengah Pandemi
93718/06/2020 -
Data Dirimu itu Penting, Kamu Harus Menjaganya dengan Baik
81930/05/2021 -
Dari Jubileum sampai Benturan Peradaban
76731/08/2021