Matinya Reformasi yang Tak Pernah Lahir

Matinya Reformasi yang Tak Pernah Lahir 17/03/2025 1139 view Politik kompas.com

Reformasi, kata yang dulu dielu-elukan sebagai simbol kebangkitan dari kediktatoran, kini tak lebih dari retorika kosong yang menggema di lorong-lorong istana. Jika ada yang berpikir bahwa tahun 1998 menandai kelahiran demokrasi sejati, maka mereka keliru. Reformasi yang digadang-gadang sebagai pemutus mata rantai otoritarianisme ternyata hanya ilusi yang digenggam erat oleh mereka yang enggan mengakui kenyataan. Kini, di tahun 2025, Indonesia kembali terjerembap dalam lingkaran yang sama—barangkali lebih buruk, lebih culas, dan lebih mengakar dari sebelumnya.

Sebuah bangsa bisa bertahan dari kemiskinan, bahkan dari bencana, tetapi tak akan pernah selamat dari korupsi yang menjalar hingga ke sumsum sistemnya. Dan inilah yang kini terjadi. Kolusi, korupsi, dan nepotisme bukan lagi sekadar penyakit—mereka telah menjelma menjadi sistem itu sendiri. Dari institusi tertinggi hingga pemerintahan daerah, hampir semua posisi strategis diisi oleh mereka yang memiliki satu kesamaan—bukan kompetensi, bukan dedikasi, tetapi kedekatan dengan penguasa.

Di tubuh BUMN, korupsi bukan lagi hitungan miliar atau triliun, melainkan kuadriliun. Angka yang bahkan sulit dibayangkan, tetapi nyata adanya. Kasus dugaan megakorupsi Pertamina yang melibatkan dana raksasa menunjukkan betapa kejahatan telah menjadi norma di negeri ini. Bagaimana mungkin uang sebesar itu lenyap tanpa konsekuensi yang berarti? Jawabannya sederhana: ketika hukum tunduk pada kekuasaan, keadilan hanyalah mitos yang disampaikan di buku-buku sejarah.

Tahun 2024 telah menjadi saksi bagaimana demokrasi semakin kehilangan ruhnya. Prabowo Subianto kini menduduki kursi Presiden, dan di sisinya berdiri Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang namanya terukir dalam sejarah bukan karena prestasi, melainkan karena nepotisme yang begitu telanjang. Jika ada satu peristiwa yang mengonfirmasi kematian demokrasi, maka itu adalah keputusan Mahkamah Konstitusi yang secara terang-terangan mengubah aturan hanya agar seorang anak presiden bisa maju dalam kontestasi politik.

Lebih tragis lagi, keputusan ini tidak lahir dari proses hukum yang independen, tetapi dari tangan seorang paman yang duduk di kursi kehakiman tertinggi. Publik tahu, publik marah, tetapi siapa yang bisa melawan ketika hukum bukan lagi menjadi alat keadilan, melainkan palu yang memukul siapa saja yang berani menggugatnya? Jika Orde Baru memiliki dwifungsi ABRI, maka era Prabowo menawarkan versi yang lebih berbahaya—multifungsi TNI. Militer kini bukan hanya alat pertahanan, tetapi juga instrumen politik, ekonomi, bahkan birokrasi. Jabatan-jabatan strategis yang seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki kapasitas kini justru jatuh ke tangan loyalis yang lebih lihai dalam menjilat daripada bekerja.

Kita menyaksikan bagaimana para penjilat kekuasaan mendapatkan kursi empuk di pemerintahan tanpa sedikit pun bekal keahlian. Loyalitas pada penguasa menjadi satu-satunya syarat untuk menduduki posisi strategis. Mereka yang seharusnya memimpin dengan kecerdasan dan integritas justru tersingkir, digantikan oleh orang-orang yang hanya bisa berkata "Siap, Pak!" tanpa mampu berpikir lebih jauh.

Seorang pemimpin sejati lahir dari kritik, tetapi Prabowo adalah pengecualian. Ia bukan hanya anti-kritik, tetapi juga alergi terhadap demonstrasi. Jika di masa lalu jalanan menjadi panggung bagi rakyat untuk bersuara, kini semua itu hanya tinggal kenangan. Setiap aksi yang menentang pemerintah akan dibungkam, setiap suara yang lantang akan dipatahkan.

Kita kembali ke masa di mana ketakutan menjadi mata uang yang dipakai untuk membeli kepatuhan. Media dikendalikan, akademisi dibungkam, dan rakyat dipaksa menerima kenyataan bahwa mereka tak lagi punya hak untuk menentang. Jika dulu kita berkata bahwa reformasi telah membuka jalan bagi demokrasi, maka kini kita harus menerima bahwa jalan itu telah tertutup—jika bukan hancur sepenuhnya.

Reformasi mati, tetapi kebenaran yang lebih pahit adalah ia sebenarnya tak pernah benar-benar lahir. Sejak awal, yang kita sebut demokrasi hanyalah sandiwara, sebuah pertunjukan yang dimainkan oleh mereka yang menggenggam kuasa. Kini, tirai telah dibuka, dan kita melihat wajah asli dari sistem yang selama ini kita yakini sebagai harapan.

Indonesia, negeri yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini terperosok dalam kubangan korupsi dan kediktatoran yang berkedok demokrasi. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa menyelamatkan negeri ini, tetapi apakah kita masih memiliki keberanian untuk melawan. Sebab jika tidak, kita bukan hanya menjadi saksi dari kematian demokrasi, tetapi juga kuburannya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya