Dari Dapur Sekolah Menuju Kemandirian Bangsa

Marine Inspector di Jakarta
Dari Dapur Sekolah Menuju Kemandirian Bangsa 31/10/2025 24 view Politik Retizen

“Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu.” — Ki Hajar Dewantara

Beberapa waktu lalu, Hidayatullah.com memuat berita berjudul “DPR Dukung Gagasan Menteri Abdul Mu’ti: Program Makan Bergizi Dikelola Lewat Dapur Sekolah” (27 Oktober 2025). Sekilas, gagasan ini tampak segar dan solutif: pemerintah ingin agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikelola langsung di sekolah melalui “dapur sekolah” atau school kitchen.

Namun bagi saya, berita ini menghadirkan semacam dejavu. Sebab pada bukan Mei 2025, saya telah menulis dan mengirimkan naskah ke Redaksi Retizen Republika yang memuat konsep serupa — bukan hanya dalam istilah, tapi dalam struktur ide dan logika pelaksanaannya. Tulisan itu kemudian baru terbit beberapa bulan setelahnya dengan judul: “Reformasi Kebijakan Mitra Dapur MBG: Saatnya Memaksimalkan Potensi Sekolah dan UMKM Lokal.”

Dalam tulisan itu, saya mengusulkan reformasi besar pada sistem pelaksanaan MBG: bahwa dapur seharusnya berada di lingkungan sekolah, dikelola oleh pihak sekolah sendiri, dengan bahan baku dari UMKM lokal, dan siswa pun dapat terlibat dalam prosesnya sebagai bagian dari pendidikan karakter, tanggung jawab, dan kemandirian hidup. Artinya, konsep “dapur sekolah” bukan sekadar unit penyaji makanan, melainkan ruang pendidikan dan pemberdayaan ekonomi lokal.

Ketika kini pemerintah mengusung istilah serupa, saya merasa perlu mengajukan perbandingan secara konseptual — bukan untuk menggugat, tetapi untuk menegaskan arah dan makna ide itu sendiri.

Konsep yang saya tulis di Retizen berangkat dari gagasan bottom-up — ide yang tumbuh dari bawah, dari rakyat, dari sekolah sebagai entitas pendidikan yang hidup. Dapur sekolah bukan program, melainkan sarana hidup pendidikan: tempat anak belajar nilai kebersamaan, tanggung jawab, dan kerja nyata.

Sementara dalam versi Kementerian, sebagaimana diberitakan Hidayatullah.com, dapur sekolah tampak ditempatkan dalam kerangka administratif: bagian dari sistem pelaksanaan makan bergizi gratis yang dikoordinasikan secara birokratis. Fokusnya adalah efisiensi dan pemerataan distribusi gizi.

Ada perbedaannya halus tetapi mendasar. Versi pemerintah berangkat dari logika program negara — agar pelaksanaan MBG tertata dan terukur. Versi saya berangkat dari logika pendidikan kemandirian — agar sekolah dan masyarakat belajar mandiri, bukan sekadar menjalankan instruksi.

Bila dapur sekolah hanya menjadi perpanjangan tangan birokrasi, maka ia kehilangan ruh pendidikan yang seharusnya hidup di sana. Sebaliknya, jika dapur sekolah dikelola oleh guru, siswa, dan orang tua dengan bahan dari UMKM sekitar, maka ia menjadi ekosistem pembelajaran sosial yang nyata.

Bayangkan sebuah sekolah di desa yang menanam sayuran di pekarangan, membeli telur dari peternak lokal, dan mengolahnya di dapur sekolah yang dikelola bersama. Di sana, anak-anak tidak hanya makan makanan bergizi, tapi juga belajar tentang kerja, tanggung jawab, ekonomi, dan gotong royong. Inilah perbedaan paling mendasar antara dapur program dan dapur pendidikan.

Saya menulis gagasan ini bukan untuk mengklaim kebaruan, tetapi untuk menunjukkan bahwa ide-ide besar sering kali lahir di ruang kecil — dari para pendidik, warga, dan pengamat yang tidak memiliki akses langsung ke kebijakan publik.

Ketika ide rakyat itu kemudian muncul kembali dalam bentuk kebijakan pemerintah, yang dibutuhkan bukan pengakuan pribadi, tetapi kejujuran intelektual: bahwa bangsa ini perlu mendengar suara warganya lebih awal, bukan baru setelah ide itu dikemas ulang menjadi program resmi.

Kemandirian bangsa tidak lahir dari banyaknya kebijakan, melainkan dari kemampuan masyarakat berpikir dan bertindak mandiri. Dapur sekolah adalah simbol kecil dari gagasan besar: bahwa pendidikan dan ekonomi lokal dapat tumbuh beriringan.

Kalau pemerintah benar-benar ingin menjadikan dapur sekolah sebagai program nasional, semestinya ia belajar dari semangat yang sudah hidup lebih dulu di masyarakat — bukan hanya meniru istilahnya, tetapi menghidupkan jiwanya: jiwa pendidikan yang memerdekakan.

Saya tidak menuduh siapa pun. Tapi saya ingin menegaskan bahwa rakyat juga mampu melahirkan ide tanpa harus duduk di kursi birokrasi. Konsep Dapur Sekolah Mandiri bukan sekadar tentang makanan, melainkan tentang cara berpikir baru dalam pendidikan nasional.

Jika hari ini pemerintah mulai berbicara tentang “dapur sekolah”, semoga bukan sekadar meniru istilah, tetapi juga menghidupkan semangat kemandirian, pendidikan karakter, dan pemberdayaan lokal sebagaimana yang sejak awal saya tulis pada bulan Mei 2025.

Sebab sebuah bangsa tidak akan maju hanya dengan menyalin program,tetapi dengan kejujuran untuk menghargai sumber pemikirannya. - umarsorigin

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya