Homo Ludens: Refleksi Folosofi Kerusuhan Arema vs Persebaya
Bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila, tanggal 2 Oktober 2022, dunia sepak bola Indonesia berduka atas meninggalnya 127 orang yang terjadi karena kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang. Kerusuhan itu terjadi setelah diadakan pertandingan Liga 1 BRI antara Arema FC vs Persebaya, pada Sabtu (1/10/2022) di kandang Arema yakni Stadion Kanjuruhan Malang.
Pada babak pertama pertarungan seru antara dua klub ternama di Jawa Timur ini berakhir imbang 2-2. Namun pada babak kedua, tim tuan rumah harus mengalami kekalahan dari Persebaya dengan skor 2-3. Dilansir dari berbagai sumber, Kapolda Jatim Pol Nico Afinta mengungkapkan bahwa kerusuhan yang turut menewaskan dua anggota Polri itu diduga terjadi karena kekesalan suporter Arema FC yang kalah dengan Persebaya. Suporter kecewa karena Arema FC kalah di kandang sendiri.
Pelampiasan kekecewaan itu akhirnya menimbulkan kerusuhan yang menyebabkan tewasnya 127 orang dan kini sekitar 180 orang yang masih dalam perawatan di rumah sakit baik itu rumah sakit yang ada di Kabupaten Malang, maupun Kota Malang. Selain itu kerusuhan ini pun mengakibatnya banyak kerusakan fasilitas stadion, termasuk di antaranya 13 mobil mengalami kerusakan. Diduga kerusuhan ini banyak merenggut nyawa karena saat kejadian, banyak orang berlari menuju pintu keluar. Hal ini menyebabkan penumpukan dan saling berdesak-desakan. Pada saat itulah terjadi sesak nafas sehingga kekurangan oksigen yang berujung pada kematian.
Setelah kejadian tersebut, banyak mendapat sorotan dari masyarakat, khususnya para pecinta bola. Berita tentang kejadian ini tidak hanya headline di media masa lokal dan nasional, tetapi juga disoroti oleh media internasional. Banyak pihak yang menyayangkan kejadian ini. Bahkan banyak pula yang mengutuk para pelaku kerusuhan yang dianggap tidak beradap. Ada pula usulan atau solusi agar kejadian ini tidak terulang lagi, di antaranya adalah mendesak PSSI untuk menghukum seberat-beratnya tim suporter sepa bola yang membuat kerusuhan. Selain itu, diharapkan agar PSSI tetap menyelenggarakan pertandingan sepak bola yang aman dan terkendali. Sementara itu, para suporter pun diharapkan tetap menjunjung tinggi sportivitas atau memiliki nilai etis sekalipun disekat oleh adanya tim-tim kesayangan masing-masing.
Homo Ludens: Makluk Bermain
Seorang profesor, teoritisi budaya dan sejarahwan Belanda yang bernama Johan Huizinga, pada tahun 1938 menulis sebuah buku dengan judul “Homo Ludens: a Study of Play Element in Culture”. Dari buku tersebut ia menggunakan istilah Homo Ludens untuk menyebut manusia sebagai “makhluk bermain” atau makhluk yang suka bermain dan menciptakan permainan. Homo Ludens ini kemudian populer hingga saat ini.
Dalam perspektif refleksi filosofis, kemampuan bermain manusia bersumber dari Pencipta atau peng-Ada. Di sini manusia mengada sebagai co-creator, pencipta bersama Pencipta. Allah mencipta manusia dan memberi kemampuan mencipta pada manusia. Bedanya, Allah mencipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo), sedangkan manusia mencipta dari yang sudah ada.
Kemampuan bermain adalah kekhasan manusia. Dalam bermain, manusia mengekspresikan keberadaannya. Dalam bermain manusia mengada. Ia menghadirkan totalitas diri yang terangkum dalam kegembiraan dan kebebasan pada saat bermain. Larut dalam permainan, manusia mengalami semacam ekstase yang mengangkatnya ke titik menakjubkan.
Permainan sepak bola yang merupakan salah satu cabang olah raga yang digemari oleh banyak orang adalah sebuah contoh jenis permainan yang mana kecitraan homo ludens merealisasikan wujudnya. Di sana citra itu nampak secara riil dalam komunikasi bahasa tubuh yang terolah oleh bakat, kata hati dan naluri yang mengalir dalam rentang momen-momen menakjubkan yang tiada henti melahirkan kejutan, keasyikan, tetapi kadang juga kekecewaan.
Dalam permainan, selalu terkandung unsur kebersamaan dengan orang lain, baik itu dalam biasa (latihan), maupun dalam kompetisi atau turnamen. Semuanya tidak terlepas dari unsur kebersamaan. Kebersamaan tersebut bukan hanya antar pemain, tetapi juga mereka yang ada di luar arena pertandingan, yakni para suporter. Di tengah lapangan, sikap idividual kita diolah, emosi kita ditata, konsentrasi kita diasah. Di luar lapangan (para suporter), sikap seperti ini pun perlu diolah dengan baik. Sering kali kerusuhan terjadi bukan karena pertengkaran antara para pemain, tetapi karena para suporter. Mari kita berbenah diri.
Artikel Lainnya
-
179529/03/2020
-
83516/03/2022
-
95722/11/2022
-
Bukan Saja Local Lockdown, Kita Butuh Solidaritas Nasional!
153930/03/2020 -
Politik Identitas Di Antara Mentalitas Nasi Bungkus
153309/03/2022 -
Mengembalikan Norma-Norma dan Agama Tradisional Nenek Moyang
49420/04/2024
