Instruksi Lock down Vs Iklim Kepatuhan Kita

Dalam sebuah fragmen chatingan via Whatsapp dengan seorang sahabat yang menetap di Jogjakarta, saya dilibatkan dalam sebuah perbincangan emosional yang cukup riskan. Sahabat saya itu menceritakan kronologi dan kondisi yang berubah drastis pra dan pasca virus Corona atau Covid 19 menghantui negara kita.
Inti cerita yang dibeberkan umumnya bertendensi pada persoalan kecemasan dan psikologisme ketakutan. Sahabat saya itu mengisahkan bahwa saat ini kita berhadapan dengan kenyataan seputar perubahan pola dan ritme hidup di mana banyak orang yang berdiam diri di rumah atau indekos, proses perkuliahan pun berlangsung secara online, akses untuk berasosiasi dibatasi juga untuk sementara waktu dan bahkan rumah makan yang terasa kosong pun masih sempat juga dimasukan dalam rangkaian cerita kami.
Bagi mereka yang berdiam diri di pusat keramaian (baca: zona Covid 19), satu kondisi yang pasti terjadi adalah sepi dan matinya pergerakan manusia di ruang publik. Kota-kota terasa sangat sepi, pasar sepi pengunjung, begitu juga dengan tempat destinasi wisata dan berbagai tempat asosiasi lainnya. Semua menjadi dingin dan kaku seolah tak ada kontak dan komunikasi sosial di sana.
Nyatanya di balik persoalan seputar pandemi Covid 19 ini bercokol reaksi publik yang meresahkan berupa ketakutan yang mencekam, merasa dikejar-kejar.hingga berujung pada kelesuhan ekonomi global dalam skala luas dan masif. Dengan melihat persoalan seperti ini Covid 19 dapat dilihat sebagai hantu ketakutan versi baru yang menggoyangkan kemapanan publik. Reaksi-reaksi yang nyata terjadi niscaya diilhami sebagai sesuatu yang wajar terjadi sebab dari sekian banyak pandemi, hanya Covid 19 yang berhasil merongrong dan meruntuhkan semua aspek kehidupan manusia.
Berhadapan dengan epidemi Covid 19, semua negara yang merasa terancam akhir-akhir ini menggembar-gemborkan sebuah gagasan lockdown yakni sebuah ikhtiar untuk membatasi ruang gerak publik dan massa. Semua orang diinstruksikan untuk berdiam diri di rumah atau indekos. Itu berarti segala kegiatan yang sifatnya mengarah kepada kontak publik secara langsung dan meluas diberhentikan untuk sementara waktu. Misalnya untuk konteks provinsi NTT, Gubernur mengeluarkan instruksi nomor: 443/100/PK/2020 tentang Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Resiko Penularan Infeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID 19) Pada Satuan Pendidikan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Bukan hanya itu, instruksi yang sama juga terjadi pada beberapa institusi keagamaan yakni dengan mengontrol dan meniadakan ibadah untuk sementara waktu. Semua kondisi yang dilakukan tersebut mengarah pada solusi preventif untuk mengontrol lebih awal wabah Corona ini.
Pembatasan ruang gerak publik dengan pemberlakuan lockdown untuk sejumlah wilayah dan negara paling tidak menuntun kita untuk mendalami diskursus dan polemik yang tengah melanda publik.
Untuk konteks Indonesia kita akan berhadapan dengan dua kondisi dilematis ketika menentukan pilihan untuk melakukan lock down total. Pertama, pemberlakuan lockdown akan mempersulit perputaran roda ekonomi masyarakat. Indef dalam kajian terbarunya mendorong urgensi karantina wilayah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Kepala Center of Macroeconomics and Finance Indef M Risal Taufikurahman menekankan, meski akan memukul perekonomian daerah, perlindungan terhadap manusia lebih penting (Bdk. Kompas, 28 Maret 2020 hlm. 11)
Kedua, kendati mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi dan logistik pemberlakuan lock down justru akan meminimalisasi gerak laju pandemi Covid 19 ini. Itu berarti segala bentuk kenyataan berupa kekurangan dan keresahan yang dihadapi oleh semua masyarakat adalah sebuah pukulan dilematis yang mestinya ditanggung secara bersama-sama.
Sejauh ini, kebijakan berupa keputusan pemerintah yang hendak memberlakukan karantina atau local lock down untuk sejumlah wilayah patut diterima sebagai sebuah bentuk proteksi preventif terhadap kondisi kebangsaan kita. Selain bisa memutuskan rantai penularan penyakit itu, karantina wilayah ini juga memudahkan negara menghitung kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit, seperti sumber daya manusia, alat pelindung diri, dan fasilitas lain (Bdk. Kompas 28 Maret 2020 hlm. 11)
Kedua persoalan pokok di atas menjadi realitas subtil yang sama-sama beresiko terhadap kondisi kita saat ini. Ibarat kita memakan buah simalakama, kita harus berani menentukan satu pilihan tanpa bermaksud juga mengabaikan pilihan mendesak lainnya. Sebagai bentuk tanggapan terhadap instruksi lock down yang sudah diinstruksikan oleh otoritas pemerintah mestinya kita paham bahwa di balik momen yang riskan ini kita harus sanggup bergejolak dengan persoalan seputar keselamatan diri sendiri dan terutama keselamatan bagi banyak orang.
Selain itu, instruksi karantina atau lock down seyogyanya menjadi usaha untuk memupuk solidaritas publik, mendorong kedewasan diri untuk patuh terhadap pihak yang berwenang. Memang kondisi demikian, tidak semudah seperti yang kita bayangkan bahwa di tengah mewabahnya Covid 19 ini kita berhadapan dengan banyak kekurangan serentak juga kita dituntut untuk patuh terhadap instruksi yang ditetapkan oleh otoritas negara.
Bencana Corona yang sedang kita alami saat ini hemat saya justru melatih kita untuk memahami banyak hal. Pertama, petaka Virus Corona membawa kita kepada peradaban yang serba digital di mana semua bentuk relasi dibuat secara social distancing ataupun juga phisycal distancing.
Kita dituntun untuk membangun sirkuit relasi secara digital dan kenyataan ini hemat saya sudah seringkali terjadi. Tentu ini bukan sebuah kesengajaan melainkan sebuah keniscayaan yang harus kita lalui. Bahwasannya ada orientasi untuk memperkuat solidaritas dan kesosialan kita namun untuk sementara waktu semua gaya relasi tersebut diredam dan dikontrol.
Kedua, pandemi ini sudah berhasil membongkar watak kita selaku bangsa yang plural. Poin utama yang hendak disinggung pada bagian ini berkutat pada tanggung jawab kita untuk memaknai solidaritas dan tanggung jawab terhadap realitas sosial yang dihadapi. Beberapa waktu terakhir kita rentan berhadapan dengan kapitalisme masker dan sejumlah persoalan berupa keluhan dan kritikan yang diarahkan untuk sejumlah otoritas negara di laman media sosial.
Ketiga, Virus Corona adalah sebuah pandemi penantang terhadap ketahanan kita untuk bertahan dalam situasi kekurangan. Dengan kondisi karantina ini kita berhadapan dengan persoalan seputar kecemasan akan kekurangan logistik dan kebutuhan sembako lainnya. Akan tetapi, dalam kondisi demikian kita disadari bahwa pola hidup hemat dan kontrol diri menjadi suatu kenyataan yang tak boleh dihindari.
Persoalan seputar merebaknya Covid 19 akan menjadi persoalan yang sulit ditangani apabila kita mempunyai responsibilitas yang lemah dan tidak memiliki kepatuhan berdiam dan menjaga diri di rumah. Tagar di rumah saja yang sering dikampanyekan selama ini hendaknya tidak dijadikan sebagai emblem (simbol) kaku saja akan tetapi dijadikan sebagai rujukan bagi kita untuk menata cara hidup dengan sanggup patuh dan mengontrol diri.
Mari menjaga diri sendiri dan orang lain dengan patuh untuk sementara waktu di hadapan merebaknya penyebaran Covid 19 ini. Berdiam dan bertahan adalah vaksin untuk mengatasi penyebaran virus Corona. Sekian.
Artikel Lainnya
-
135212/12/2020
-
18522/09/2025
-
85910/05/2021
-
Relawan Desa Lawan Covid-19 dan Seruan Ekonomi Masyarakat
101020/05/2020 -
Etos Semangat Kerja; Belajar Dari Lebah
161410/03/2022 -
Mengurai Mitos Gerakan Mahasiswa Angkatan ‘66: Agent of Change?
134910/04/2022