Menyeimbangkan Antara Kemampuan Mendengar dan Public Speaking

Anak muda biasa yang suka belajar
Menyeimbangkan Antara Kemampuan Mendengar dan Public Speaking 16/03/2022 835 view Lainnya Pexels.com

Berbicara merupakan salah satu hal paling fundamental dalam kehidupan manusia. Sejak kecil kita sudah diajari―atau mungkin bisa dikatakan mempelajari―cara berbicara.

Waktu kecil dulu (secara tidak sadar) mungkin kita telah mengetahui bahwa salah satu fungsi bicara adalah mengungkapkan apa yang kita inginkan. Kita melihat bahwa orang-orang di sekitar kita akan mafhum dengan keinginan kita bila kita menunjukkannya dalam susunan kata-kata. Semakin dewasa kita akhirnya benar-benar menyadari bahwa fungsi bicara ternyata sangat luas. Mulai dari bertanya, mengomentari, rasan-rasan, nyinyir, misuh, hingga mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah.

Waktu saya sedang menginjak jenjang Madarasah Aliyah, saya sering mendengar soal public speaking. Saat itu banyak orang bicara soal urgensi kemampuan public speaking. Bahkan, pernah ada yang menyatakan bahwa orang yang kemampuan public speaking-nya bagus akan sukses di masa depan. Pernyataan-pernyataan semacam inilah yang mendorong teman-teman saya waktu itu untuk berlomba belajar kemampuan public speaking. Tidak sedikit saat itu yang mencoba (bahkan suka) berbicara di depan publik. Tujuannya beragam, ada yang bilang buat melatih rasa percaya diri, ada yang memang suka diperhatiin publik, ada juga yang ingin cari perhatian ke orang yang disukai.

Gaung soal pentingnya public speaking ternyata juga banyak bertebaran di media sosial. Kita mungkin sering menemukan pelatihan public speaking. Tentu saja! Pelatihan tersebut sangat potensial; bukan hanya untuk memberikan kursus pada peserta, tapi juga untuk meraup pendapatan. Musababnya adalah pelatihan public speaking punya target pasar yang besar. Kita bisa dengan mudah menemukan orang-orang yang ingin belajar public speaking supaya tidak terbata-bata saat bicara di depan umum.

Sependek yang saya lihat, glorifikasi public speaking ini menciptakan jenis karakter baru manusia. Saya perhatikan ada beberapa orang yang jadi sangat suka bicara di depan umum. Mereka kurang suka kalo audien-nya cuma satu orang. Mungkin ada titik kepuasan yang tidak bisa mereka raih jika bicara di depan satu orang saja. Dalam penilaian saya, orang-orang seperti ini biasanya punya sifat suka mendominasi di tiap situasi―terutama saat diskusi. Masalah akut pada kaum yang suka bicara di depan umum begini adalah kemampuan mendengar yang rendah, bahkan cenderung tidak kelihatan.

Sebenarnya kemampuan mendengar ini juga merupakan masalah bagi sebagian besar kita. Disadari atau tidak, nyatanya masih sangat sedikit dari kita yang berkenan (belajar) mendengar. Coba hitung! Berapa kali kita menunggu orang lain bicara sampai tuntas?. Berapa kali kita tidak menyela lawan bicara?. Rasanya kita lebih banyak bicara daripada menunggu orang lain selesai bicara. Tapi masalahnya, tidak sedikit dari kita yang tidak menyadari attitude setan tersebut. Sebagian malah menganggap bahwa memotong pembicaraan orang lain adalah hal yang benar. Sebab, itu merupakan implementasi kebebasan berpendapat. “Hei! Emangnya cuma situ yang punya hak bicara?”.

Masalah kemampuan mendengar ini tidak hanya terjadi dalam obrolan biasa, tapi kadang juga terjadi pada obrolan yang lebih intens (misalnya, curhat). Beberapa kali saya menemukan orang yang keheranan dan bertanya-tanya, “Kenapa sih kok temen/ayang tidak mau cerita ke aku? Padahal, aku udah terbuka dan cerita apa aja ke dia. Tapi kenapa dia tidak melakukan yang sebaliknya ke aku?. Emang dia menganggap aku apa sih!?”. Wo... wo... wo... Bisa-bisanya bilang gitu. Coba dong introspeksi diri dulu! Mungkin dulu temen/ayang kamu udah berniat curhat. Eh! Kamunya yang tidak mau dengerin. Kamu malah menyela saat dia belum selesai bicara. Ngapain coba curhat sama orang kayak gitu?. Tidak ada yang mau, buang-buang waktu. Ujungnya yang didapat bukan hati lega, tapi keinginan untuk misuh sekeras-kerasnya.

Ayat al-Qur’an yang pertama turun adalah surat al-‘Alaq ayat 1 sampai 5. Kata pembuka dari wahyu ini adalah iqra’ (bacalah!). Kita tentu sudah tahu bahwa maksud ‘perintah membaca’ dalam ayat tersebut adalah perintah supaya manusia menuntut ilmu. Namun, bila dipahami lebih dalam, kita akan menyadari bawa perintah membaca tersebut tidak disertai dengan Malaikat Jibril yang membawa lembaran. Artinya apa? Perintah membaca tersebut sebenarnya bukan semata membaca teks, tapi juga membaca konteks. Peristiwa saat wahyu pertama tersebut diturunkan juga mengindikasikan bahwa apa yang terkandung dalam konteks selalu lebih luas dari teks.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara kita membaca (memahami) konteks?. Saya rasa, salah satu cara sederhana yang bisa digunakan adalah mendengarkan. Aktivitas mendengar akan mendorong kita untuk merenung terlebih dahulu sebelum berkata. Tapi kalo kita justru tutup telinga, sama sekali tidak mau mendengar, ya.....yang keluar dari lisan kita cuma terkaan tanpa dasar pengetahuan. Sebenarnya, saat kita lebih banyak bicara daripada mendengar itu menjadi sebuah paradoks. Lha gimana enggak? Kita punya jumlah indra pendengar yang lebih banyak daripada indra bicara. Mestinya hal tersebut membuat kita lebih mudah untuk mendengar daripada memotong pembicaraan orang.

Pentingnya kemampuan mendengar ini pernah disinggung oleh Dr. Indrawan Nugroho saat jadi tamu di podcast-nya pak Helmy Yahya. Pak Indra mengungkapkan bahwa kesediaan untuk mendengar dapat membuat bisnis kita berkembang. Alasannya sederhana, kalau kita tidak mau mendengar, terus dari mana kita bisa tahu apa yang diinginkan customer?. Jika bisnis yang kita jalankan tidak bisa memenuhi kebutuhan customer, maka bisnis kita telah kehilangan pasarnya. Pak Indra kemudian mengatakan bahwa semestinya ada public listening sebagai penyeimbang public speaking. Namun, sayangnya hal tersebut belum banyak diminati orang. Meski demikian, bukan berarti kita nggak perlu belajar mendengar. Bagaimana pun kita tetap harus belajar mendengar, menunggu orang lain bicara sampai selesai. Tujuannya adalah supaya kita tetap jadi manusia, bukan member pasukan Dajjal.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya