Makna Semiotik Ike-suti dan Suni-auni dalam Masyarakat Meto di TTS

Alumni IFTK Ledalero
Makna Semiotik Ike-suti dan Suni-auni dalam Masyarakat Meto di TTS 22/11/2022 700 view Budaya idntimes.com

Secara etimologis frasa masyarakat meto memiliki asal kata dari bahasa Dawan atoni meto yang terdiri dari dua kata, yakni atoni berarti manusia dan meto berarti tanah kering. Frasa ini berkembang secara umum menjadi Atoni Pah Meto berarti orang-orang dari tanah kering atau orang-orang yang hidup di tanah kering.

Masyarakat meto memegang paradigma feto-mone. Kata feto (penekanan pada huruf o) memiliki arti perempuan dari garis keturunan ibu, sedangkan mone (penekanan pada huruf e) memiliki arti laki-laki dilihat dari garis keturunan ayah. Paradigma tersebut berfungsi sebagai patokan dalam mengatur tata kehidupan bersama sekaligus menegaskan kembali peran sosial dari masing-masing garis keturunan.

Pada umumnya, mata pencaharian masyarakat meto ialah pertanian dan peternakan. Namun, masyarakat meto juga menjadikan aktivitas menenun sebagai mata pencaharian utama. Biasanya, aktivitas menenun dilakukan oleh kaum perempuan sedangkan aktivitas pertanian dan peternakan dilakukan oleh kaum laki-laki.

Pembagian peran tersebut tampak dalam instrumen budaya masyarakat meto. Instrumen budaya yang dimaksudkan ialah peranti kerja yang dinamakan ike-suti dan suni-auni. Dengan instrumen tersebut perempuan dan laki-laki meto memperoleh pemaknaan yang mendalam.

Ike-suti adalah sepasang benda yang berfungsi sebagai alat pembuat benang secara tradisional. Ike merupakan sebuah tongkat berukuran 15 cm dan berdiameter 0,5 cm. Di bagian ujung atas terdapat kaitan, sedangkan di bagian ujung bawah dibuat runcing sepanjang 4 cm agar dapat berputar seperti gasing. Suti merupakan sebuah tempurung yang berfungsi sebagai wadah agar ike dapat berputar selama proses pembuatan benang.

Suni-auni adalah sepasang benda yang digunakan oleh laki-laki meto untuk berburu, bertani, dan berternak. Suni memiliki bentuk seperti pedang atau parang (benas), sedangkan auni memiliki bentuk seperti tombak atau linggis (pali).

Kepemilikan Ike-suti dan suni-auni merupakan kebanggaan bagi masyarakat meto. Setiap perempuan dan laki-laki meto akan merasa bangga bila masyarakat menyebutnya sebagai pemilik ike-suti yang bercahaya dan suni-auni yang tajam (ike-suti nak aik dan suni-auni nak aik). Kedua piranti tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Eben Nuban Timo (2005) merupakan tanda kepercayaan masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki meto untuk mengambil bagian dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.

Mengambil bagian dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan mengandaikan setiap garis keturunan (feto-mone) telah menyadari peran dan tanggung jawab sosialnya sebagai perempuan dan laki-laki meto. Kesadaran terhadap peran dan tanggung jawab inilah yang menjadi titik tolak partisipasi perempuan dan laki-laki meto dalam lingkungan sosialnya.

Pembagian peran dalam masyarakat meto tidak didasari oleh situasi kodrati tetapi didasari oleh proses belajar secara kontekstual dalam budaya meto. Pembagian peran ini tampak dalam upacara napolitan li ana atau upacara memperkenalkan anak bayi yang berusia 40 hari kepada masyarakat. Upacara ini memiliki konotasi bahwa ibu dan bayi telah melewati masa kritis selama 40 hari.

Dalam upacara ini akan terjadi percakapan antara keluarga bayi dan tokoh masyarakat yang diundang untuk berkumpul.

Tanya: “He imen ma hi meki sa ka?” (kamu sudah datang dan barang-barang apa saja yang kamu bawa serta?).

Jawab: Hai meki ike ma suti (kami membawa serta Ike dan suti, kalau bayi berjenis kelamin perempuan. Namun, jika bayi berjenis kelamin laki-laki jawaban yang diberikan ialah “Hai meki suni ma auni” (kami membawa serta pedang dan tombak).

Dengan upacara tersebut peran sosial perempuan dan laki-laki meto secara fungsional memperoleh afirmasi yang kuat.

Ike ma suti dalam masyarakat meto memiliki konotasi bahwa tugas pokok seorang perempuan ialah memintal benang dan menenun. Tugas ini dilakukan di rumah. Namun, merumahkan perempuan bukan berarti membatasi peran perempuan di sektor publik, melainkan menjadikan perempuan sebagai ratu dalam rumah tangga.

Sebagai ratu dalam rumah tangga perempuan meto tidak ditabukan untuk bekerja di sektor publik. Di sektor publik perempuan meto menjadi penolong bagi laki-laki, sebab tugas pokok perempuan meto berada di dalam rumah. Dengan kata lain, kaum perempuan meto memiliki kekuasaan dalam sektor privat dari pada kaum laki-laki.

Berbeda dengan peran perempuan meto yang dikonotasikan dalam frasa Ike ma suti, peran laki-laki meto dikonotasikan dalam frasa suni ma auni. Suni ma auni memiliki konotasi bahwa laki-laki meto memiliki tanggung jawab terhadap tugas-tugas dalam sektor publik, seperti berburu, beternak, dan bertani atau melakukan aktivitas di luar rumah demi kesejahteraan keluarganya.

Walaupun bekerja dalam sektor publik, laki-laki meto juga memiliki peran dalam sektor privat, seperti mendidik anak, membelah kayu api, dan menyediakan air untuk masak. Namun, peran tersebut bukan sebagai tuan atas perempuan dalam rumah tangga melainkan sebagai penolong bagi perempuan.

Pembagian peran sosial dalam masyarakat meto dinilai sangat penting. Dengan pembagian peran secara fungsional tersebut kaum perempuan dapat memberikan kontribusinya secara bebas untuk keberlangsungan hidup masyarakat meto, sedangkan kaum laki-laki lebih menyadari bahwa dalam rumah tangga perannya bukan sebagai tuan terhadap perempuan melainkan sebagai penolong bagi perempuan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya