Hari Kejaksaan dan Cermin Buram Penegakan Hukum Kita

Hamba Amatir || Masyarakat Sipil,
Hari Kejaksaan dan Cermin Buram Penegakan Hukum Kita 23/07/2025 118 view Hukum istockphoto.com

Hari Kejaksaan bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momen reflektif untuk menilai sejauh mana hukum benar benar bekerja bagi keadilan. Di tengah sorak pujian institusional dan publikasi keberhasilan, masih banyak luka sosial yang belum sembuh: penegakan hukum yang belum tegak lurus, dan keadilan yang terasa mahal bagi masyarakat kecil. Di banyak ruang sidang, hukum terlihat seperti bayangan yang lentur, berubah bentuk mengikuti kepentingan.

Realita ini sangat mencemaskan. Banyak pelaku kejahatan besar, terutama yang berkaitan dengan korupsi, perusakan lingkungan, atau pelanggaran HAM lolos dari jerat hukum. Entah karena kurangnya bukti, lemahnya penyidikan, atau permainan lobi di belakang layar. Sementara itu, mereka yang miskin, buta hukum, dan tak memiliki akses kekuasaan justru kerap dihukum berat atas kesalahan yang ringan. Ketimpangan ini membuat hukum tampak seperti alat kekuasaan, bukan pelindung keadilan.

Kejaksaan, sebagai salah satu aktor utama dalam sistem peradilan, memiliki tanggung jawab moral untuk mengoreksi ketimpangan tersebut. Tidak cukup hanya menegakkan hukum secara prosedural harus ada keberanian untuk menempatkan rasa keadilan sebagai kompas utama. Namun sejauh ini, kejaksaan masih terseret dalam pusaran persoalan klasik: politisasi, intervensi elit, dan integritas internal yang belum utuh.

Masyarakat butuh jaksa jaksa yang berani berdiri tegak melawan tekanan politik maupun ekonomi. Yang tidak tergoda pada suap, dan tidak takut menuntut mereka yang punya pengaruh. Karena hanya dengan integritas itulah, kejaksaan bisa menjadi garda terdepan dalam mengembalikan kepercayaan publik terhadap hukum.

Ironisnya, beberapa kasus besar yang sempat mencuat di media justru menghilang perlahan tanpa kejelasan. Proses hukum terasa seperti panggung drama: ditampilkan demi citra, tapi tidak pernah sampai pada penyelesaian yang memuaskan publik. Rasa keadilan pun luntur di tengah kompromi kompromi yang menyakitkan.

Kejaksaan perlu melakukan pembenahan internal secara serius. Rekrutmen berbasis integritas, peningkatan kompetensi, hingga transparansi dalam setiap proses penanganan perkara adalah langkah yang tak bisa ditunda. Tanpa itu, kejaksaan akan terus diragukan, bahkan dipandang sebagai bagian dari masalah, bukan solusi.

Tekanan zaman juga menuntut kejaksaan untuk adaptif. Kasus kasus cybercrime, pencucian uang lintas negara, hingga korupsi digital tak bisa ditangani dengan cara cara lama. Kejaksaan harus membangun kapasitas yang relevan dan modern. Ketertinggalan dalam hal ini akan membuat penegakan hukum kian rentan terhadap manipulasi.

Lebih dari sekadar aparat negara, jaksa adalah wajah negara itu sendiri di mata rakyat. Saat seorang jaksa menuntut dengan adil, menolak suap, dan berdiri melawan kekuasaan yang menyeleweng, maka hukum kembali mendapatkan wibawanya. Dan masyarakat pun mulai percaya bahwa keadilan masih mungkin diperjuangkan.

Di Hari Kejaksaan ini, mari kita tidak larut dalam euforia seremoni. Sebaliknya, jadikan ini waktu untuk bercermin. Jika hukum masih mudah dinegosiasikan, jika pelaku kejahatan besar tetap melenggang bebas, maka sejatinya kita sedang berada dalam keadaan darurat moral. Kejaksaan harus menjadi pelopor perubahan, bukan penonton pasif dalam buramnya cermin penegakan hukum kita.

Dalam beberapa kasus, terpidana korupsi kelas atas justru mendapat hukuman lebih ringan dibanding tuntutan jaksa. Misalnya, Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, divonis hanya 4 sampai 5 tahun penjara dengan denda dan tanpa uang pengganti, padahal Jaksa KPK menuntut sekitar 10 samapai 11 tahun penjara. Bahkan Hakim membebaskannya dari hukuman tambahan serta mencabut hak politiknya

Begitu juga kasus Idrus Marham, mantan Sekjen Partai Golkar, yang divonis 3 tahun penjara meski diperberat jadi 5 tahun di tingkat banding, jauh di bawah tuntutan awal Jaksa. Fenomena vonis ringan juga terlihat secara sistemik. ICW mencatat sepanjang 2019–2020 rata rata hukuman pidana bagi koruptor hanya berkisar 2 3 tahun penjara, dan mayoritas di bawah 4 tahun

Di DIY pada Tahun 2020, enam terdakwa kasus korupsi mendapat vonis ringan antara 1 tahun 6 bulan hingga 3 tahun untuk kerugian negara miliaran rupiah, jauh di bawah tuntutan jaksa

Bahkan lebih mirisnya lagi saat ini sebutlah misalnya Kasus korupsi tambang timah ilegal juga mencerminkan fenomena serupa: Harvey Moeis, sebagai aktor utama bertanggung jawab atas kerugian negara hingga Rp 300 triliun, hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara dan denda Rp 210 miliar. Vonis ini dinilai “terlampau ringan” dibanding skala kerugian yang sangat besar, dan menimbulkan protes publik atas lemahnya efek jera yang dihasilkan

Fenomena vonis ringan terhadap koruptor memunculkan pertanyaan serius: di mana posisi dan integritas jaksa dalam sistem penegakan hukum kita? Apakah jaksa sungguh sungguh mewakili kepentingan rakyat untuk menuntut hukuman maksimal kepada pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi? Ataukah tuntutan tuntutan itu sekadar formalitas, sementara arah akhir proses hukum sudah bisa ditebak?

Masyarakat berhak mempertanyakan ketika tuntutan jaksa rendah, atau ketika jaksa gagal menyusun dakwaan yang kuat hingga terdakwa dengan mudah lolos atau mendapat keringanan vonis, apakah ini karena ketidakmampuan, kelalaian, atau justru kesengajaan? Kepercayaan publik terhadap kejaksaan bukan dibangun lewat pidato seremonial, melainkan lewat kerja nyata yang berpihak kepada keadilan substantif.

Ketika seorang jaksa tak bersuara lantang terhadap mafia peradilan, ketika jaksa tak menggugat habis habisan pelaku korupsi kakap, saat itulah publik mulai ragu: Apakah jaksa adalah perpanjangan suara rakyat atau sekadar bagian dari kompromi kekuasaan? Dalam negara hukum yang sehat, jaksa adalah ujung tombak integritas bukan aktor pasif yang hanya mengikuti alur tanpa keberanian melawan arus busuk sistem.

Jadi Bagaimana tanggapan anda atas hal ini??

Semoga pada Hari Kejaksaan Tahun 2025 ini, Kejaksaan berbenah diri dan kembali mendapat kepercayaan yang utuh dari masyarakat. Tertanda Imam Tantowi, Hamba Amatir, Masyarakat Sipil Kelas III, Hatur Nuhun.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya