Pilkada Penuh Lupa dan Gengsi

Pilkada Penuh Lupa dan Gengsi 28/09/2020 1506 view Opini Mingguan koleksi pribadi

Apa beda pil KB dan Pilkada?
Pil KB, kalau lupa (diminum), bisa jadi (baca: hamil).
Sedangkan Pilkada kalau jadi (baca: terpilih), bisa lupa (janji dan pemilih).

Pilkada pembuat lupa

Lelucon di atas bisa dikatakan sudah cukup lama bahkan termasuk klasik. Uniknya, karena lelucon tersebut sering diangkat menjelang momen Pilkada seperti ini, lelucon dengan premis lupa tersebut malah sulit dilupakan.

Ini menjadi sesuatu yang ironis. Karena momen Pilkada dalam lelucon tersebut dinyatakan sebagai momen pemicu penyakit lupa. Dan tampaknya memang betul demikian.

Kebaikan seseorang atau kelompok, sebanyak apapun itu, bisa dengan mudah dilupakan ketika dia berada pada kubu yang berbeda dalam Pilkada. Sebaliknya, permusuhan terhadap seseorang atau kelompok tertentu, seberat apapun kelihatannya, akan dilupakan begitu saja jika bergabung dalam kelompok pilihan yang sama.

Gejala ini membenarkan salah satu ungkapan politik yang menyebutkan 'Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan'.
Jadi mungkin penyakit lupa dalam masalah hubungan kawan-lawan ini masih bisa dimaklumi. Hal ini karena memang seperti itulah logika berpolitik yang dikenal secara umum.

Tapi ada satu 'lupa' yang membuat banyak orang merasa terusik dalam proses Pilkada saat ini. Lupa pada ancaman pandemi. Lupa pada hal yang membuat bangsa ini harus mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan baru. Lupa pada banyaknya orang yang harus berkorban secara ekonomi, sosial dan lainnya karena terpaksa mengikuti protokol kesehatan.

Ketika pendaftaran calon kepala daerah tanggal 4-6 September yang lalu, berbagai pelanggaran protokol kesehatan dilakukan oleh para calon, tim sukses dan pendukung mereka. Anjuran 'jaga jarak' dan 'di rumah saja' sebagai bagian kampanye penanggulangan covid 19 seakan digilas habis oleh arak-arakan pengantar para calon. Belum lagi protokol kesehatan lainnya seperti memakai masker dan mencuci tangan.

Tercatat oleh Bawaslu bahwa selama dua hari pendaftaran peserta Pilkada 2020, terjadi 243 dugaan pelanggaran yang dilakukan bakal calon kepala daerah. Dan parahnya, banyak di antara para calon tersebut yang merupakan tokoh elit yang getol mengkampanyekan protokol kesehatan sebelum proses Pilkada. Mulai dari tokoh parpol, anggota dewan, bahkan sampai petahana. Mereka seakan terkena amnesia massal.

Kondisi yang terjadi di tahap awal Pilkada tersebut menimbulkan keraguan pada banyak pihak. Jika di awal saja sudah terjadi sekian banyak pelanggaran, maka bagaimana dengan proses selanjutnya?

Sayangnya, Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dihadiri Mendagri, KPU, Bawaslu, DKPP, dan Komisi II DPR RI tanggal 21 September 2020 telah menyepakati bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Tampaknya mereka juga telah tertular hal yang sama yaitu penyakit lupa. Kerena itu mereka dengan mudah mengabaikan ratusan pelanggaran yang terjadi di awal proses pilkada ini.

Penyakit lupa itu pulalah yang agaknya membuat mereka berpikir bahwa dengan aturan yang lebih ketat masalah akan teratasi. Padahal jelas-jelas pelanggaran yang terjadi itu bukan karena tidak adanya aturan, tapi memang karena tidak ada kepedulian pada aturan. Dengan kata lain yang perlu diperbaiki bukan hanya aturan saja, tapi para pelanggar itu sendiri. Yang perlu dibenahi adalah akar masalah dari penyakit lupa para penggembira pilkada.

Pilkada yang penuh gengsi

Di antara masalah terbesar yang perlu diperhatikan dalam proses pilkada adalah gengsi. Karena gengsi dalam pilkada telah mengambil posisi yang keliru. Alih-alih menjadi ajang yang bergengsi, Pilkada malah menjadi ajang pertarungan gengsi.

Sebagai cerminan demokrasi, pilkada semestinya menjadi momen yang membanggakan dan disambut dengan sukacita. Tapi dengan dipaksakannya kelanjutan tahapan Pilkada, wajar kalau ada yang berpendapat bahwa proses ini berubah menjadi ajang pamer gengsi kelompok tertentu saja.

Melanjutkan Pilkada berarti memenangkan gengsi KPU yang tak mau dianggap gagal mengawal pelaksanaan Pilkada. Meski pada kenyataannya ketua KPU sendiri telah dinyatakan positif korona.

Melanjutkan Pilkada juga akan mempertahankan gengsi pemerintah dan DPR. Merekalah yang merasa mampu menghindari terbentuknya kluster pilkada hanya dengan membuat aturan yang lebih ketat.

Tentunya kelompok yang paling terbela gengsinya dengan berlanjutnya Pilkada adalah para calon, tim sukses dan pendukung mereka. Merekalah yang atas nama gengsi berlomba-lomba mengumpulkan kelompok massa di tengah himbauan jaga jarak dan hindari kerumunan. Gengsi ini pulalah yang tampaknya membuat takarir gambar sosialisasi calon di media sosial tetap memamerkan banyaknya jumlah orang yang hadir.

Gengsi dari pihak-pihak ini adalah bagian dari penyebab 'lupa' yang harus ditemukan solusinya jika ingin memaksakan melanjutkan proses Pilkada. Jika tidak, besar kemungkinan protokol yang diperketat sekalipun akan dengan mudah dilupakan.

Sebagai penutup, ada jawaban pengganti terhadap lelucon di awal tulisan ini. Sebuah jawaban yang mudah-mudahan bisa membuat lupa sejenak perihal gengsi.

Pil KB bisa membuat negatif (kehamilan)
Pilkada bisa membuat positif (covid 19)

Bahkan lelucon pun beradaptasi. Kenapa kita tidak?

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya