Harapan dan Komodifikasi dalam Pendidikan

Tulisan ini lahir dari obrolan ringan di sebuah warung sayur di pinggir desa Yogyakarta. Di antara daun bayam dan tempe, terdengar kecemasan para ibu tentang pendidikan anak-anak mereka yang bahkan masih balita. Obrolan tentang “booking sekolah” sejak usia 3 tahun, atau biaya puluhan juta untuk SD favorit, menguak realitas: sekolah tak lagi sekadar ruang belajar, tapi medan pertarungan kelas sosial.
Ketika saya menyarankan sekolah negeri, salah satu ibu menjawab tegas, “Mas, SD itu pondasi hidup. Harus yang terbaik.” Kalimat sederhana itu menyimpan dunia yang kompleks: pendidikan telah menjadi simbol status, harapan, bahkan kecemasan.
Di balik kekhawatiran itu, saya teringat gagasan Driyarkara: pendidikan sejati adalah membantu manusia menjadi dirinya secara utuh—bukan alat seleksi, bukan pula mesin produksi ijazah. Namun, realitas hari ini justru memutarbalikkan esensi itu. Sekolah menjadi alat pertaruhan masa depan, tempat ketakutan dan harapan dikalkulasi dalam tabel biaya dan reputasi.
Sekolah dan Wajah Kompetisi
Kita menyaksikan degradasi makna pendidikan. Sekolah tidak lagi dipercaya sebagai ruang pembentukan manusia merdeka, tetapi sebagai jalur cepat menuju kelas sosial tertentu. Kompetisi menggantikan kemanusiaan. Kecemasan bukan semata soal ambisi, melainkan ketidakpercayaan: orang tua tidak yakin sistem pendidikan mampu memberi kualitas yang merata.
Ketimpangan ini sistemik: distribusi guru berkualitas tidak merata, infrastruktur pendidikan timpang, dan kurikulum terlalu seragam untuk konteks yang sangat beragam. Maka, tak heran jika sekolah “unggulan” menjadi satu-satunya jalan yang dianggap layak. Orang tua bukan mengejar prestise, melainkan jaminan—agar anak tidak jatuh dalam sistem yang rapuh.
Ironisnya, banyak orang tua merasa tidak punya pilihan. Panik bukan karena ambisi semata, melainkan karena takut anaknya tertinggal, tak kuat bersaing, dan masa depannya lebih sulit dari hari ini. Ini sangat terasa di kelas menengah—kelompok yang hidupnya menggantungkan mobilitas sosial pada pendidikan.
Sebaliknya, orang tua kelas menengah ke bawah cenderung lebih realistis. “Sing penting sekolah,” kata mereka. Bukan karena tak peduli, tetapi karena hidup mengajari mereka untuk menakar segalanya: biaya, jarak, waktu. Pendidikan tetap penting, tapi tidak dalam kemasan elitis.
Komodifikasi Pendidikan
Kita harus akui bahwa pendidikan hari ini telah dikomodifikasi. Paulo Freire dalam Pedagogy of Commitment menegaskan: pendidikan tidak pernah netral. Ia berpihak—pada pembebasan atau penindasan. Di tengah logika kapitalisme, sekolah tak lagi semata tempat bertumbuh, melainkan pasar simbolik yang menjual masa depan.
Peter McLaren mencatat dalam Critical Education in the New Information Age, bahwa sistem pendidikan terseret dalam pusaran kapitalisme informasi. Orang tua membeli masa depan, bukan sekadar ruang belajar. Sekolah favorit adalah tiket naik kelas, bukan sekadar soal kualitas akademik, sedangkan Henry Giroux melihat bahwa pendidikan kini menjadi barang dagangan. Segala tujuan lain—kesetaraan, pemanusiaan, pembebasan—ditanggalkan demi nilai jual. Sekolah mahal dipromosikan layaknya produk premium: brosur mewah, program bilingual, prestasi STEM, dan jaringan alumni eksklusif.
Herbert Marcuse bahkan menyebut manusia modern sebagai manusia satu dimensi, yang segala nilainya direduksi menjadi nilai tukar. Maka, anak-anak pun disiapkan agar layak jual di pasar kerja: bukan agar menjadi manusia utuh, tapi agar kompetitif.
Sekolah sebagai Seleksi Kelas Sosial
Ketika hanya orang tua kaya yang bisa mengakses sekolah unggulan, maka pendidikan bukan lagi hak, tetapi privilege. Yang terjadi adalah seleksi sosial: anak dari keluarga kaya diberi lebih banyak peluang, sementara anak dari keluarga miskin berjuang di jalur sempit dan terjal.
Di sinilah kita menyaksikan wajah baru dari oligarki akses: hanya mereka yang punya modal—ekonomi, sosial, kultural—yang bisa membeli peluang. Pendidikan tak lagi membebaskan, melainkan menyaring. Ia tak lagi jadi ruang harapan, tetapi arena kompetisi, tempat yang kuat bertahan dan yang lemah tertinggal.
Mengembalikan Pendidikan pada Manusia
Perenungan ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: berpihak kepada siapa sistem pendidikan kita? Apakah ia membebaskan atau justru menyingkirkan? Pendidikan sejati tidak sekadar mengantar anak menuju pekerjaan, tetapi membentuk manusia utuh yang bebas, kreatif, dan sadar akan dunianya.
Apa yang dulu diimpikan oleh Driyarkara dan Freire tampaknya telah digeser oleh logika pasar. Keadilan pendidikan dikaburkan dengan istilah seperti “jalur prestasi” atau “sekolah unggulan”, padahal di baliknya tersembunyi ketimpangan akses.
Kita butuh keberanian untuk merumuskan ulang arah pendidikan kita. Bukan sekadar mengejar kualitas teknis, tapi juga keadilan sosial. Bukan semata reformasi kurikulum, tapi juga rekonstruksi nilai. Sekolah seharusnya jadi ruang belajar yang adil dan membebaskan, bukan sekadar pabrik sertifikat atau arena seleksi kelas.
Penutup: Pendidikan dan Harapan yang Adil
Dari warung sayur itu, saya belajar bahwa pendidikan bukan hanya urusan negara atau pakar. Ia adalah urusan harian rakyat. Di warung kecil, di ruang tamu sempit, di hati orang tua yang tak bisa tidur karena memikirkan biaya sekolah anaknya—di situlah pendidikan sebenarnya berlangsung.
Dan mungkin, seperti obrolan ibu-ibu tadi, kita perlu lebih banyak ruang untuk mendengar suara mereka: rakyat kecil yang selama ini diam, namun menyimpan kearifan hidup dan keteguhan harapan. Karena dari merekalah pendidikan dimulai: dari mendengar, memahami, dan bermimpi akan keadilan.
Artikel Lainnya
-
58527/04/2024
-
196719/12/2021
-
285325/01/2021
-
141715/02/2021
-
Ageisme: Wujud Pengangkangan terhadap Nalar Publik
87010/06/2022 -
Pendidikan yang Baik adalah Kunci dari Kemajuan Bangsa
20706/11/2024