Bencana Alam: Ulah Manusia atau Hukuman Tuhan?

Mahasiswa
Bencana Alam: Ulah Manusia atau Hukuman Tuhan? 25/01/2021 2235 view Opini Mingguan kabar24.bisnis.com

Awal tahun 2021 mengajak kita untuk merenung. Pluralitas bencana alam banyak terjadi di awal tahun ini. Kita lihat saja beberapa hari belakangan ini, berbagai bencana alam terjadi. Bermula dari gempa bumi di Sulawesi Barat, Banjir Bandang di Kalimantan Selatan, longsor di Kabupaten Sumedang, dan masih ada bencana-bencana alam lainya yang akan menyusul.

Bencana-bencana alam tersebut tentunya membuat kita semakin risau, gelisah, dan panik. Betapa tidak, penyebaran pandemi Covid-19 belum berakhir, berbagai fenomena alam lainya pun datang bertubi-tubi.

Akibat dari fenomena-fenomena alam ini pun bukan main ganasnya. Selain mengakibatkan rusaknya lingkungan tempat tinggal manusia, fenomena alam juga berimplikasi pada hilangnya nyawa manusia. Banyak manusia yang terkapar akibat reruntuhan bangunan atau karena terseret arus banjir. Misalkan saja banjir bandang di Kalimantan Selatan yang menghantam 120.284 KK dengan korban yang meninggal dunia berjumlah 21 orang (KOMPAS.com, 2021). Ini adalah bukti dari ganasnya bencana alam, bahwa alam juga bisa membalas perbuatan jahat manusia.

Menariknya, fenomena-fenomena alam yang terjadi pun memicu munculnya berbagai spekulasi liar di ruang publik. Misalkan saja perihal banjir bandang yang terjadi di Kalimantan Selatan yang mengundang berbagai tafsiran. Ada yang menggeneralisasi bahwa bencana itu terjadi akibat pembalasan alam terhadap manusia. Ada pula yang berperspektif bahwa itu adalah implikasi dari sikap manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Bahkan ada yang memparalelkan bencana alam itu dengan ‘hukuman dari Tuhan.’

Pencermatan lebih jauh akan bencana alam yang terjadi kiranya juga mengindikasikan bahwa sebagai manusia, kita sejatinya harus merenung dan berbenah diri sembari bertanya; Mengapa semua ini terjadi? Apakah betul Tuhan menggunakan bencana alam untuk menghukum manusia? Setega dan sekejam itukah Tuhan?

Tulisan ini ingin menempatkan bahwa berbagai bencana alam yang terjadi hari-hari ini, khususnya banjir bandang di Kalimantan merupakan akibat ulah dari manusia sendiri. Karena itu, manusia harus introspeksi diri serentak juga harus menyadari bahwa selama ini, kita (manusia) memang sudah menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dengan lingkungan.

Bencana Alam dan Ulah Manusia

Menggali dari Ensiklik Paus Fransiskus yang berjudul Laudato Si (Puji Bagi-Mu), bahwa berbagai bencana alam atau yang oleh Fransiskus sebut sebagai ‘kemerosotan alam’ terjadi akibat mental manusia yang serakah dan pola kerja manusia yang destruktif atau kemerosotan ‘lingkungan manusia’ (Fransiskus, Laudato Si, 2015).

‘Kemerosotan alam’ dan ‘kemerosotan lingkungan manusia’ keduanya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perihal kemerosotan alam, Paus mengambil beberapa contoh seperti; polusi, perubahan iklim, masalah air, dan hilangnya masalah keragaman hayati. Sedangkan perihal kemerosotan lingkungan manusia, Paus mengambil contoh persoalan seperti penurunan kualitas hidup manusia, kemerosotan kehidupan sosial, serta ketimpangan global (Fransiskus, Laudato Si, 2015).

Bertolak dari ‘refleksi’ Paus Fransiskus, saya pun menduga bahwa berbagai fenomena alam yang terjadi hari-hari ini seperti banjir sangat erat kaitannya dengan sikap manusia. Dalam arti, bahwa fenomena banjir di Kalimantan adalah ulah manusia sendiri. Akhlak manusia yang suram jika berpapasan dengan lingkungan sekitarnya. Hati nurani manusia mati ketika berdampingan dengan alam. Sehingga yang terjadi hanyalah pemusnahan dan penghancuran terhadap alam.

Sebagai contoh, masih tersisa di ingatan kita peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Provinsi Riau yang terjadi tahun 2019. Selain itu, baru-baru ini kita juga dikagetkan dengan banjir bandang yang menghantam Kalimantan Selatan. Fenomena-fenomena alam ini terjadi bukanlah tanpa sebab. Manusia adalah dalang di balik semuanya. Berbagai fenomena alam ini terjadi akibat runtuhnya komitmen dan sikap manusia untuk menjaga alam ini.

Memang, tidak dapat dimungkiri kalau saja Indonesia menurut letak geografis, geologis, hidrologis, dan demografis termasuk dalam daerah yang rentan bencana. Namun dalam hal ini, tentu tidak mengindikasikan bahwa sepenuhnya berencana alam yang terjadi akibat ulah alam, bukan manusia. Atau anggapan yang mengatakan bahwa Indonesia memang negara yang rawan bencana. Jadi, bencana seperti banjir terjadi karena faktor alam kita yang seperti itu.

Bencana Alam dan Tuhan

Ketika bencana alam terjadi, orang seringkali menghubungkannya dengan Tuhan. Biasanya selalu muncul pertanyaan-pertanyaan besar; apa mau Tuhan dengan semua ini? Kenapa Tuhan yang Maha pengasih dan Penyayang membiarkan dan menciptakan bencana buruk semacam banjir yang menimbulkan berbagai kerusakan bahkan korban jiwa? Di mana keadilan Tuhan?

Bukan tidak mungkin bahwa pertanyaan-pertanyaan besar seperti itu sempat terlintas di benak masyarakat Kalimantan Selatan yang terkena dampak banjir. Dan menjadi suatu yang wajar kalau saja pertanyaan-pertanyaan semacam itu dilontarkan dalam situasi chaos. Pun pertanyaan-pertanyaan teologis seperti itu tidak mudah untuk dijawab atau diambil kesimpulan begitu saja. Tapi apakah betul bahwa semuanya itu adalah hukuman Tuhan atas ulah manusia?

Menurut hemat saya, bencana alam bukanlah kehendak Allah atau bagian dari rencana Allah untuk menghukum manusia. Tentu kita kenal dengan premis-premis seperti ini; Tuhan itu ada, Tuhan itu Maha Baik, Maha Kuasa, Maha Adil. Melihat premis-premis ini, tentu kita tidak bisa menyimpulkan bahwa Tuhan itu jahat atau buruk. Kesimpulan demikian pastilah inkonsistensi dengan premis-premis yang sebelumnya tadi. Kalau menghubungkan premis-premis tersebut dengan fenomena-fenomena alam yang terjadi hari-hari ini, apa boleh kita menyimpulkan bahwa Tuhan adalah Allah yang menghukum? Bukankah Allah dalam hal ini sangat kejam kalau begitu?

Jelaslah bahwa bencana alam yang sekarang terjadi, misalkan banjir bandang yang melanda Kalimantan Selatan tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan atau bukan pula campur tangan yang ilahi.

Memang sebagai orang yang beriman, kita tentunya sangat mengagumi dan mengakui bahwa Tuhan yang kita percaya adalah Tuhan Sang Pencipta. Karena Sang Pencipta, tentu ia punya otoritas penuh dalam mengendalikan dan mengatur ciptaan-Nya. Seperti yang tertulis dalam surat Yakobus 1:13 yang adalah salah satu kitab dalam Perjanjian Baru di Alkitab orang Kristen bahwa “Saat mengalami cobaan, jangan berkata, saya sedang dicobai Allah, karena Allah tidak bisa dicobai, dan Dia juga tidak mencobai siapapun dengan hal-hal jahat.”

Banjir Kalimantan Selatan dan Jalan Keluar

Berhadapan dengan Banjir bandang di Kalimantan Selatan yang hari-hari ramai diperbincangkan, saya menyimpulkan bahwa faktor utamanya sikap manusia sendiri. Kita harus mengakui dengan jujur bahwa sebagai manusia kita seringkali menampilkan sikap yang destruktif terhadap alam.

Beberapa contoh di antaranya adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan, yang seakan-akan alam ini hanya sebagai tempat pembuangan dengan ratusan juta ton limbah setiap tahunnya. Sikap tidak ramah lingkungan lainnya yaitu menciptakan penebangan hutan secara liar yang akibatnya adalah punahnya berbagai spesies tanaman dan hewan.

Oleh karena itu, transformasi sikap dan pola pikir kita tentang alam harus segera diubah. Kita tidak boleh lagi memandang alam sebagai objek kita. Kita harus lebih bertanggung jawab dan bersahabat terhadap alam. Dengan sikap seperti itu, pastilah kita terhindar dari bencana alam seperti banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. Seperti kata Paus Fransiskus dalam Laudato Si, bahwa sikap, kebiasaan, tindakan, pola pikir, dan egoisme dalam memandang alam harus segera diubah, sebab “... memandang alam sebagai objek laba dan keuntungan saja, memiliki konsekuensi serius bagi masyarakat” (Fransiskus, Laudato Si, 2015).

Dengan demikian, yang menjadi harapan kita bersama ke depannya adalah semoga tidak ada lagi bencana alam terjadi, seperti banjir bandang di Kalimantan Selatan. Dan kalau pun masih terjadi, ingatlah bahwa itu bukanlah ‘Hukuman Tuhan,’ tapi ‘ulah dari sikap kita.’

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya