Dilarang Berdemonstrasi

Demonstrasi atau penyampaian pendapat di muka umum lazim terjadi di negara demokrasi. Lebih dari fungsi check and balances parlemen yang belakangan dianggap tidak maksimal, masyarakat dapat turun langsung mengkritisi kebijakan lewat kegiatan ini. Demokrasi berkeadilan menghendaki masyarakat berperan aktif mengawal pemerintahan. Artinya kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat mendukung iklim demokrasi yang baik. Bahkan kebebasan tersebut diatur pada Pasal 28E UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dan peraturan tentang hak asasi lainnya.
Namun, berbeda dengan kebijakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tertuang pada Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka. Pergub yang diteken pada 4 Januari itu sesuai kehendak Pemerintah DIY yang ingin membatasi ruang demonstrasi masyarakat dengan penetapan kawasan larangan berdemonstrasi. Pasal 5 pergub ini menetapkan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan di ruang terbuka, kecuali di lima kawasan yaitu di lingkungan Istana Negara Gedung Agung, Kraton Kesultanan Ngayogyakarta, Kraton Pakualaman, Kotagede dan Malioboro. Dengan pertimbangan bahwa lima kawasan tersebut termasuk dalam objek vital nasional berdasar pada Keputusan Menteri Pariwisata RI Nomor KM.70/UM.001/MP/2016 tentang penetapan obyek vital nasional di sektor pariwisata. Artinya Masyarakat boleh saja melakukan demonstrasi namun harus berjarak radius 500 meter dari lima kawasan objek vital nasional tersebut.
Peraturan gubernur ini justru menginjak-injak nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat. Kita ketahui bersama di kawasan Malioboro terdapat dua infrastruktur pemerintah yaitu kantor DPRD dan kantor Gubernur yang termasuk ruang publik. Kantor DPRD adalah rumah rakyat dimana suara rakyat dapat disalurkan dalam bentuk lisan atau tulisan. Begitupun kantor gubernur yang mengurusi hak hidup orang banyak dimana masyarakat tidak boleh dikekang untuk menyampaikan pendapat. Hak masyarakat untuk berekspresi dan menyalurkan aspirasi yang sesuai dengan prinsip demokrasi seharusnya difasilitasi negara
Belakangan terjadi penolakan dari puluhan LSM dan organisasi masyarakat yang bergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY). Aliansi menyebutkan bahwa Pemerintah DIY tidak hanya melarang demonstrasi namun memberikan legitimasi terhadap TNI untuk terlibat dalam pengamanan demonstrasi. Hal ini dapat dilihat pada pasal 10, 11 dan 12 Pergub dimana TNI masuk dalam salah satu elemen koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap kegiataan penyampaian pendapat di muka umum. Padahal amanat reformasi menghendaki tidak adanya pelibatan serdadu dalam urusan sipil. Pelibatan TNI justru menegaskan bahwa pemerintah DIY tidak mengerti tugas pokok dan fungsi TNI yang terbatas pada urusan pertahanan negara, di luar fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat oleh Polri.
Setelah adanya penolakan, Gubernur DIY menyangkal perihal Malioboro yang tidak dibolehkan menjadi tempat masyarakat melakukan demonstrasi. Bahkan surat somasi ARDY kepada gubernur dijawab dengan mempersilahkan pihak ARDY untuk menggugat di PTUN. Padahal Pergub bukan termasuk jenis keputusan (beschikking) yang dapat diajukan ke PTUN. Namun termasuk jenis Peraturan (regeling) yang hanya dapat digugat ke Mahkamah Agung. Artinya, sekedar pengetahuan elementer ilmu hukum saja Pemerintah DIY masih keliru.
Jika Pemerintah DIY tidak segera membatalkan Pergub ini, masyarakat dapat mengajukan gugatan uji materil ke Mahkamah Agung. Upaya hukum ini menjadi pilihan tepat karena Pergub No. 1 Tahun 2020 bertentangan Undang- Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dan UU No. 12 Tahun 2005 ratifikasi KIHSP dimana pembatasan hak sipil tidak boleh dilakukan di luar kondisi darurat.
Frederic Bastiat, seorang ahli ekonomi dan hukum Prancis, menyatakan bahwa hukum dapat menjadi sarana kekuasaan untuk melakukan perampasan hak, bahkan kebebasan, secara sah. Perampasan sah atau legal ini dapat terdorong karena motif materialistik atau ekonomi dan dapat bersumber pada mentalitas arogan dari kekuasaan negara. Pada Pergub ini, pemerintah DIY dengan gelap mata melakukan perampasan hak dengan dalih pengelolaan pariwisata dan kebudayaan (motif ekonomi). Tidak hanya itu, dugaan tertuju pada aksi demonstrasi penolakan omnibus law pada 2020 yang sangat mungkin menjadi asbab turunnya pergub ini. Pemerintah DIY seharusnya tidak bersikap arogan dalam mengeluarkan kebijakan yang dapat berujung pada perampasan hak warga negara untuk menyatakan pendapat.
Artikel Lainnya
-
264205/04/2020
-
36004/05/2024
-
154928/07/2020
-
Cita Reformasi Telah Usang, Perlukah Diperbarui?
30529/05/2024 -
Menguji Kembali Komitmen Negara terhadap HAM: Antara Retorika dan Realita
228819/08/2024 -
Virus dan Kekerasan: Refleksi atas Drama Series All Of Us Are Dead
68215/03/2022