Pendidikan yang Baik adalah Kunci dari Kemajuan Bangsa
Sebuah laporan yang terbit baru-baru ini memberi tahu kita tentang angka kelulusan pendidikan tinggi yang naik tapi ironisnya angka pengangguran juga ikut naik. Dengan kata lain banyak lulusan kita yang tidak terserap di dunia kerja. Atau sedikit sekali yang mampu untuk berwirausaha. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, membangun bisnis sendiri adalah suatu yang jarang ditemui. Kecuali untuk beberapa orang saja.
Kewirausahaan lebih banyak diinisiasi oleh misalnya keturunan China yang terkenal sejak dari leluhurnya pintar untuk berdagang. Bagi sebagian besar masyarakat kita, bekerja ya dengan menjadi karyawan, ikut orang lain.
Padahal dengan berwirausaha, kita juga ikut membantu menciptakan lapangan pekerjaan. Adapun yang memang perlu dirubah adalah mindset pekerja menjadi mindset pengusaha. Tidak harus dalam skala besar, bisnis kecil-kecilan juga sudah bisa disebut pengusaha. Bukankah yang besar itu mulanya dimulai dari yang kecil?
Mari galakkan mental wirausaha supaya kita bisa lebih mandiri. Kiranya seperti itulah tanggung jawab yang terpikul di pundak orang-orang yang berpendidikan. Bukan tanpa sebab harapan itu muncul. Sebab orang yang berpendidikan lebih banyak terekspose dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan punya lensa yang lebih baik untuk memahami keadaan dunia. Dengan naiknya angka kelulusan pendidikan tinggi diharapkan akan mampu menjadi motor penggerak perubahan dalam masyarakat. Tapi kenyataannya golongan tersebut bukan menjadi golongan yang produktif malah menjadi beban dalam kehidupan bermasyarakat.
Pertanyannya kemudian adalah bagaimana kualitas pendidikan kita mampu menciptakan manusia-manusia yang berkompetensi?
Dari latar belakang di atas tampaknya ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Apakah ilmu yang dipelajari di kampus tidak “marketable”. Atau sekurang-kurangnya tidak mempunyai relevansi dengan keadaan zaman sekarang? Atau mungkin dari SDM nya sendiri yang kurang mengeksplorasi ilmu yang sudah diberikan. Entahlah, mencari solusi dari sistem pendidikan di Indonesia seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami. Ada berbagai macam jenis dan tingkat kerumitan masalah yang berlapis-lapis, yang mungkin berbeda-beda di tiap daerah. Kita ambil contoh beberapa. Mulai dari infrastruktur yang tidak menunjang, minimnya pengajar yang kompeten, uang kuliah yang semakin mahal, metode perkuliahan yang asal-asalan dan pola penerapan kurikulumnya yang berganti-ganti. Ganti Menteri, ganti kebijakan. Ibaratnya kita mau membangun rumah, kita sudah mencurahkan seluruh usaha dan tenaga dalam proses membangun, eh tahu-tahu tidak diteruskan, malah kita membangun rumah baru yang belum tentu akan jadi juga nanti pada akhirnya. Begitulah kita sebenarnya berputar-putar pada tempat yang sama.
Dari sisi yang lain terkait pengangguran yang tinggi, perusahaan sebenarnya masih banyak membuka lapangan pekerjaan tapi hanya sedikit pelamar yang memenuhi kriteria. Di zaman yang semakin berkembang, apalagi dengan maraknya kecerdasan buatan dan kecanggihan teknologi membuat kriteria calon pekerja juga tidak semudah seperti beberapa tahun sebelumnya. Bukan hanya punya keterampilan teknis tapi juga kemampuan manajerial. Bukan hanya kemampuan hard skill tapi juga soft skill. Kemampuan berpikir analitis, problem solver, dan berpikir kreatif mutlak diperlukan.
Apakah para lulusan kita sudah mempersiapkan diri dengan persyaratan tersebut? Jangan hanya minta gaji tinggi tapi tidak ditunjang dengan keterampilan yang diperlukan. Pendidikan kita ini memang terlalu terpaku pada hasil tidak peduli seperti apa prosesnya. Makanya banyak tindakan menghalalkan segala cara demi tujuannya tercapai. Misalnya satu contoh lagi: fenomena kuliah hanya untuk membeli ijazah tanpa pernah menguasai ilmunya.
Saya tidak menjelek-jelekkan sistem pendidikan kita, tapi itulah kenyataannya. Untuk itulah diperlukan langkah perbaikan. Bagaimana sebaiknya kita membuat peta jalan kebijakan bagi kemajuan pendidikan kita? Tentu yang lebih berwenang adalah menteri beserta stafnya. Tapi sebagai rakyat biasa iIjinkanlah kiranya saya menyumbangkan sedikit saran. Mungkin, dalam menyusun kebijakan harus diperhitungkan mana variabel primer dan mana yang sekunder. Untuk yang pertama, sebagai formula dasar. Hal ini wajib selalu ada dalam setiap kondisi. Sebagai landasan atau bahan pokok dalam menyusun kurikulum. Jika ganti Menteri, maka poin pertama ini tidak bisa dengan mudah untuk direvisi. Malah menteri yang baru harus bisa meneruskan peta jalan yang sudah dibuat sebelumnya. Adapun yang variabel sekunder, silahkan saja disesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Seharusnya demikianlah metode dalam merancang kebijakan, memperhatikan jangkauan dan haluannya; aturan yang beroerientasi kekinian dan sekaligus jangka panjang.
Apa pembuatan kebijakan yang dulu-dulu sudah begitu? Entahlah, tapi memang akan selalu ada gap antara apa yang direncanakan dengan aplikasi di lapangannya. Tapi dengan check and balance yang baik seharusnya kesenjangan itu tidaklah terlalu besar.
Dan juga untuk penyusunan kurikulumnya harus bisa terintegrasi dengan jenjang yang lebih tinggi. Maksud saya sistem pengajarannya disesuaikan dengan kebutuhan pelajar. Misalnya: dalam jenjang pendidikan TK dan SD, hal-hal apa saja yang sebaiknya diajarkan. Jangan terlalu diforsir dengan berbagai macam pelajaran. Menginjak SMP dan SMA ”menu” apa yang sebaiknya dihidangkan dan indikator kompetensi apa yang dinilai. Nah, sampai di tingkat pendidikan tinggi seharusnya mahasiswanya punya kemampuan merangkum ilmu-ilmu yang sudah dipelajari. Sembari mencari tambahan ilmu. Bahkan di tingkat ini kita harus punya metode baru dalam memahami ilmu-ilmu yang sudah didapat. Semacam dekonstruksi pengetahuan, sehingga lahir pengetahuan-pengetahuan baru.
Tidak ada asap jika tidak ada api. Permasalah pendidikan kita adalah karena hal-hal di atas tidak dijalankan dengan benar. Jika pendidikan dasarnya bermasalah, pendidikan menengah juga akan berdampak, demikian selanjutnya sampai ke perguruan tinggi. Begitu pentingnya mengevaluasi hal-hal dari yang paling dasar.
Baru-baru ini di media sosial, kita dibuat kaget sekaligus miris melihat siswa-siswi SMP yang ditanya pengetahuan umum tentang Indonesia dan tidak bisa menjawab. Sama sekali tidak mencerminkan attitude sebagai seorang pelajar. Tentu hal itu adalah sampel dari seluruh populasi yang ada. Tapi dari hal itu saja setidaknya kita bisa membaca hasil keseluruhannya. Dengan pertanyaan seperti itu saja tidak bisa menjawab, apalagi kalau untuk pertanyaan yang lebih mikir. Padahal itu merupakan pengetahuan dasar yang wajib dikuasai. Di sinilah pentingnya kita selain terus mengembangkan diri dengan sesuatu yang baru, juga jangan melupakan pengetahuan lama yang penting. Jangan meninggalkan prinsip dasar sebagai pondasi. Hal ini juga sesuai dengan pola kerja otak manusia dalam mengolah informasi. Diungkapkan oleh ahli syaraf Jerman, bahwa otak manusia selain membutuhkan hal-hal yang baru juga membutuhkan sesuatu yang rutin (pengulangan). Jadi, tidak selalu kegiatan mengulang itu sia-sia dan tidak produktif.
Ada seorang pegiat pendidikan yang berkomentar, Pendidikan di Indonesia ini terlalu mementingkan aspek kapitalisme kurang menekankan aspek kebudayaan. Dari tujuan pendidikannya saja sudah salah. Pendidikan yang hanya berorientasi pada aspek ekonomi hanya akan mencetak manusia yang mungkin pintar tapi tidak punya karakter yang baik. Sedangkan apabila berorientasikan kepada kebudayaan (mungkin sesuai yang dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantara). Manusia-manusianya akan lebih waras dalam menjalani hidupnya. Bagaimana ia berdialektika dengan pikirannya, rasa empati terhadap penderitaan orang lain, semangat gotong-royong untuk kehidupan yang lebih baik. Pilihan-pilihan hidupnya: pekerjaan, mencari pasangan hidup, dan pergaulan dalam masyarakat.
Golongan lulusan pendidikan tinggi diamanati tanggung jawab untuk melakukan perubahan sosial dalam masyarakat sebagai agent of change. Maka dari itu diperlukan sistem pendidikan yang baik yang mampu menghasilkan orang-orang yang kompeten. Benahi dulu sistem pendidikannya maka bangsa itu akan maju. Ingat bagaimana Jepang setelah kalah di Perang Dunia II, Kaisar Jepang saat itu mengumpulkan guru-guru yang masih tersisa untuk membangun kembali Jepang dari awal. Dan berkat langkah tersebut, lihatlah bagaimana Jepang sekarang, ia menjadi negara maju di Benua Asia dengan kecanggihan teknologinya. Dus, pendidikan yang baik adalah kunci bagi kemajuan suatu bangsa.
Artikel Lainnya
-
131811/10/2019
-
97602/07/2020
-
126618/09/2021
-
Peran Ulama NU dalam Mengusir Penjajah
362725/04/2021 -
Masyarakat Digital dan Implikasi Sosiologisnya
55518/12/2023 -
Ketika Corona Memperingatkan Manusia atas Kerusakan Alam
151304/04/2020