Nestapa, CInta dan Eksistensi Manusia
Aku mencintaimu meskipun…, aku mencintaimu walaupun…, sebuah kalimat yang begitu indah yang menggambarkan ketulusan dan merupakan awal dari permulaan munculnya eksistensi manusia baru di dunia. Setiap manusia memiliki waktu dan prosesnya masing-masing. Kita tidak bisa menyamakan dan memaksakan satu variabel yang sama kepada subjek yang berbeda. Sama halnya juga dengan cinta, cinta itu entah darimana asalnya muncul tiba-tiba dan dengan sendirinya ada.
Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk mencintai orang yang kita tentukan. Semua bukan tentang akal, hati, dan lain sebagainya, tetapi semua tentang cinta. Semua tentangnya tidak bisa kita tafsirkan, karena memang begitulah adanya dia ada sebagai sebuah misteri yang hadir di tengah dunia. Itulah mengapa Buya Hamka berkata bahwa terkadang ada orang yang begitu tulus kepada kita dan kita begitu sangat mencintainya hanya hadir untuk menjadi bagian dari pengalaman hidup kita tanpa bisa kita miliki seutuhnya.
Namun agaknya cinta sudah mulai menghilang dan perlahan meninggalkan kita. Hal ini terjadi karena kemajuan zaman yang begitu masifnya sehingga manusia mulai membuang semua perasaan yang ia miliki demi sebuah pencapaian yang berisi kekosongan. Manusia-manusia yang telah meninggalkan atau ditinggalkan oleh cinta itu pun perlahan-lahan mulai dilahap oleh kekosongan hati dan kehampaan hidup. Sehingga ia atau kita jatuh ke dalam keabsurdan hidup yang pada akhirnya membawa kita pada nestapa.
Kita telah jatuh terlalu dalam ke dalam nestapa kehidupan. Keadaan ini membuat kita selalu berada bahkan merasa terjebak di dalam kondisi kesepian dan merasa tidak dicintai. Hal ini pun memicu berbagai macam pertanyaan tentang apa makna kehidupan bagi kita? Apa artinya manusia tanpa cinta? Dan siapakah manusia dan apa tujuan dari eksistensi manusia di dunia?
Semua pertanyaan tentang dasein atau eksistensi manusia yang muncul tersebut bisa ada karena hilangnya cinta. Kita terjebak di dalam jurang nestapa dan keabsurdan hidup karena pilihan kita sendiri. Kita semua membuang semua ketulusan serta kesederhanaan yang ada hanya demi mengejar yang sempurna, karena berharap di dalam yang sempurna itu terdapat sang cinta. Akan tetapi yang kita dapat malah sebaliknya. Sesuatu atau seseorang yang kita buang ternyata dialah sang cinta. Walaupun demikian kita tetap saja membuangnya. Setelah kita membuangnya kita akhirnya menyadari bahwa kita telah melakukan sebuah kesalahan, tetapi ketika menyadarinya semuanya sudah terlambat. Waktu tidak bisa diputar kembali dan yang terjadi telah terjadi. Kita pun pada akhirnya terjebak sekali lagi di dalam ruang nestapa yang tidak memiliki dasar.
Begitu suramnya kehidupan manusia di zaman sekarang. Meski ingin menolak dan tidak percaya namun itulah faktanya. Kehidupan dipenuhi nestapa, kemanusiaan hanya tinggal idealisme belaka, dan bahkan Tuhan yang semua manusia harapkan agaknya juga sudah mereka bunuh dan tinggalkan begitu saja.
Sekali lagi hal itu terjadi karena kita telah meninggalkan (ditinggalkan ) cinta. Kita terlalu jauh meletakan batas kebahagiaan kita, sehingga ketika tidak dapat mencapainya kita pun menjadi orang gila yang menyalahkan Tuhan bahkan membunuh Tuhan sebagai alasan dari tidak tercapainya kebahagian itu. Risalah ini mungkin terlalu abstrak dan mengawang-ngawang bagi sebagian orang namun jika boleh saya akan menyebutkan beberapa fakta tentang berbagai penjelasan dari pemikiran saya tersebut. Perang dimana-mana, korupsi merajalela, yang menderita semakin menderita dan yang kaya semakin kaya. Mungkin terdengar klise namun itulah kenyataannya.
Ben Shapiro pernah berkata fakta tidak pernah peduli dengan perasaanmu. Kita telah menjadi gila di dunia yang telah kehilangan cinta. Ada yang gila akan harta, ada yang gila karena tahta, ada yang gila karena agama dan masih banyak lagi kegilaan yang ada. Sementara sebagian dari kita menjadi gila, ada beberapa dari kita yang semakin menderita, nestapa dan bahkan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Namun siapa yang peduli, bukankah Tuhan sudah mati dan bukankah semua yang ada memang diciptakan untuk sirna. Bukankah moral atau etika hanya alat bagi penguasa untuk memperebutkan kekuasaannya.
Sekali lagi siapa yang peduli dengan apa yang terjadi. Semua yang terjadi ternyata bisa separah ini karena kita sebagai manusia sudah meninggalkan atau bahkan membunuh cinta.
Artikel Lainnya
-
16230/05/2025
-
118123/06/2021
-
167218/04/2020
-
Transendensi Spiritual di Era Digital: Apakah Algoritma Mampu Menyentuh Ranah Ketuhanan?
104720/10/2024 -
173531/05/2020
-
Andai Tujuh Stafsus Milenial Jokowi Orang Miskin
211225/11/2019
