Gunakan Medsos Dengan Bijak, Cegah Prejudice Secara Daring

Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini merupakan sebuah ungkapan luhur yang mendarah daging dalam diri warga negara Indonesia. Ungkapan ini sungguh bercitarasa Indonesia, sehingga berbicara tentang Indonesia tidak pernah terlepas dari ungkapan ini atau pun selalu berakhir pada tiga kata tersebut.
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan yang mengantar negara Indonesia yang beragam pada sebuah persatuan nasional. Berkat semboyan ini, perbedaan yang terdapat dalam diri pemuda-pemuda dari daerah yang berbeda dalam sejarah perjuangan bangsa dapat dipersatukan.
Semboyan yang sama juga terus digemakan saat ini, yang mana melaluinya keberagaman di Indonesia baik dari segi kultur maupun kepentingan, dapat terpelihara. Singkatnya, semboyan ini mempersatukan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara.
Namun belakangan ini, kerap kali terjadi peristiwa yang mulai merongrong prinsip kebhinekaan. Dalam kehidupan masyarakat telah muncul daya upaya untuk memecah belah persatuan.
Upaya pemecah belahan ini terjadi terutama karena lahirnya golongan yang hendak menyeragamkan masyarakat Indonesia. Upaya penyeragaman ini dilakukan dengan menyatakan keinginan untuk mengganti Pancasila dengan dasar lain yang mendukung hal yang mereka cita-citakan ini. Mereka ini seringkali merupakan golongan kecil dari agama tertentu, kaum agamis yang hendak membentuk bangsa dengan satu agama.
Selain lahirnya golongan ini, media-media massa baik cetak maupun elektronik juga menerangkan situasi terkini negara kita, seperti munculnya gerakan radikalisme yang ingin menggoyahkan persatuan dan kesatuan masyarakat kita yang beragam. Viralnya tokoh tertentu yang mengadu domba masyarakat demi mendapatkan uang melalui aksi penipuan, tumbuhnya rasisme yang melahirkan berbagai gerakan massa di seluruh pelosok negeri dan berbagai hal ‘buruk’ lainnya termasuk saling serang dalam media-media sosial adalah beberapa contoh yang bisa mengkoyak-koyakan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Umumnya berbagai peristiwa ini terjadi karena adanya prasangka atau prejudice terhadap golongan yang berbeda. Pransangka yang keliru tentu melahirkan tindakan yang keliru juga dan jika tindakan yang keliru ini terus dilakukan akan melahirkan gerakan perlawanan dari kelompok yang menjadi korban yang berujung pada perpecahan dalam masyarakat: Bhineka Tunggal Ika hilang relevansinya.
Terkait adanya prasangka sebagai penyebab perpecahan dan polemik yang mengarah padanya, sebuah dialog lintas agama yang diikuti penulis, menyebutkan bahwa peran prejudice sebagai penyebab perpecahan semakin nyata. Dialog lintas iman yang diselenggarakan oleh organisasi Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) mengetengahkan bahwa prejudice yang keliru terhadap agama lain melahirkan pandangan dan tindakan yang keliru atasnya dan pada akhirnya melahirkan tindakan represif yang memaksa agama lain untuk mengikuti pandangan golongan tertentu serta mencuatnya upaya-upaya untuk membatasi aktivitas keagamaan agama lain.
Selain itu, dialog yang ada juga menyadarkan penulis mengenai fenomena prejudice yang mulai marak dilakukan remaja maupun anak-anak muda sebagai generasi bangsa. Prejudice yang dilakukan oleh golongan remaja dan pemuda seringkali mendapat wadah yang luas melalui penggunaan media-media sosial yang memberi keleluasaan untuk berpendapat.
Ini dibuktikan dengan pelbagai hal yang postingan di media sosial, misalnya ketika seseorang kecewa dengan orang tertentu yang kebetulan berasal dari golongan lain, dengan mudah ia menulis sesuatu di akun sosmed-nya dan mulai menggenaralisasi dengan kata-kata ‘ternyata orang dari golongan ini penipu’. Disini dikatakan prasangka karena seolah-olah satu orang mewakili seluruh kelompoknya.
Fenomena ini perlu ditanggapi dengan serius karena jika tidak, jadi apakah bangsa ini kedepannya? Sebab generasi muda yang menjadi harapan bangsa mulai menanamkan dalam dirinya benih-benih perpecahan. Bagi penulis benih-benih ini seperti 'bom waktu', yang akan meledak pada saatnya dan memporak-porandakan semuanya.
Senada dengan yang digemakan dalam dialog bersama komunitas YIPC, prejudice adalah sikap yang didasarkan pada generalisasi tidak berdasar dan biasanya tidak benar tentang kelompok tertentu. Prejudice biasanya diarahkan kepada mereka yang berasal dari kelompok yang berbeda baik berdasarkan suku, agama dan ras, hingga kepada mereka yang berbeda aliran politiknya (Bernard Raho, Sosiologi Sebuah Pengantar, Maumere: Ledalero, 2008, 94). Contoh prejudice misalnya menganggap orang dari budaya lain itu tidak sopan padahal itu merupakan pandangan kita yang tidak memiliki fondasi yang kuat dan kadang kala karena kita ingin memaksa orang untuk menjadi apa seharusnya bukan apa adanya.
Ada dua bentuk prejudice yang sering terjadi di tengah masyarakat kita, yakni stereotipe dan rasisme. Streotipe adalah keyakinan atau anggapan keliru tentang kelompok tertentu. Anggapan yang ada dalam streotipe kerap mengkategorikan orang dari kelompok lain. Sedangkan rasisme adalah prejudice yang sangat kuat dan bentuknya melahirkan berbagai penderitaan bagi yang dikenai tindakan. Rasisme berbahaya karena menganggap kelompok lain lebih rendah drajatnya sehingga boleh ditindas atau dinomorduakan.
Dalam konteks remaja dan anak muda, kedua bentuk prejudice ini rentan terjadi karena kalangan ini umumnya solider dengan kelompoknya dan enggan bergabung bersama kelompok lain. Selain itu, ketika kalangan ini masih berjuang mencari identitas dirinya, mereka kerap kali menggali dan menemukan diri dalam kelompoknya yang sama dan sepaham, hal ini memicu munculnya prasangka pada kelompok lain.
Sesuai dengan yang dikatakan penulis sebelumnya, prasangka di kalangan remaja dan pemuda mendapat tempat yang luas dalam sosial media. Mengapa sosial media? Hal ini karena sebagian besar remaja dan pemuda menghabiskan waktunya dengan berselancar di dunia maya. Mendukung gagasan ini berikut adalah salah satu hasil riset dan survei tentang penggunaan internet dan media sosial (dan media daring lainnya) yang dilakukan pada tahun 2014. Survei yang dipublikasikan Crowdtap, Ipsos MediaCT, dan The Wall Street Journal ini memperlihatkan sebuah riset dengan melibatkan 839 responden dari usia 16 tahun hingga 36 tahun. Riset menunjukkan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet dan media sosial jauh lebih banyak dibandingkan mengakses media tradisional (Rulli Nasrullah, Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi , hlm. 2).
Lamanya akses terhadap internet dan media sosial memungkinkan kaum muda untuk menulis apa yang ingin disampaikannya kepada publik, dari yang paling baik ke yang paling buruk, dari yang mempersatukan ke yang memecah belah. Kebebasan berpendapat dan keleluasaan berargumentasi memungkinkan mereka men-share sesuatu yang berbau prejudice dan memecah belah.
Mengetahui tendensi yang cukup besar bagi kalangan remaja dan pemuda untuk melakukan tindakan prejudice melalui media sosial, lantas apa yang dapat kita lakukan? Mengatasi prejudice di kalangan remaja dan anak muda yang dilakukan secara daring tidak mudah karena media-media ini memberikan keleluasaan kepada penggunannya.
Selain itu, kurangnya pengawasan dan pembatasan terhadap penggunaan internet dan sosial media membuka peluang bagi remaja dan anak muda untuk mengekspresikan diri dan kelompoknya, termasuk melalui upaya prejudice, secara bebas dan pada akhirnya melahirkan respon yang berbuntut pada tumbuhnya perpecahan. Melihat kesulitan-kesulitan yang ada lahir pertanyaan berikut yakni apakah prejudice melalui media online di kalangan remaja dan pemuda tidak dapat diatasi? Ada berbagai upaya yang dapat kita lakukan untuk terbebas dari ‘bom waktu’ ini.
Pertama, sosialisasi penggunaan media-media online khususnya sosial media. Pemerintah melalui instansi-instansinya memiliki andil yang besar terkait hal ini. Dengan sosialisasi cara bijak menggunakan internet dan sosmed, pemerintah setidaknya mampu mengarahkan remaja dan anak muda untuk menggunakan sarana yang ada untuk hal-hal yang positif dan berguna bagi kelangsungan persatuan bangsa.
Kedua, penanaman semangat keberagaman. Sekolah, juga orang tua hendaknya berupaya dan mendidik anak sejak dini agar menghargai orang lain, sehingga ketika remaja dan di usia muda, anak telah terbiasa dengan perbedaan dan dari sana lahirlah sikap toleransi. Dengan semangat toleran, prejudice yang ada dalam kalangan ini dapat diminimalkan bahkan dihilangkan.
Ketiga, dari kalangan remaja dan pemuda sendiri. Kedua Kaum ini diharapkan bijak dalam penggunaan media sosial dan bijak dalam memahami bangsa. Bijak memahami bangsa maksudnya menanamkan dalam diri bahwa realitas bangsa kita adalah plural, sehingga demi menjaga keutuhan bangsa, sikap yang perlu dibangun ialah sikap saling menghargai dan menghormati. Dengan sikap demikian, persatuan tetap terjaga.
Artikel Lainnya
-
139329/06/2020
-
141623/03/2020
-
561630/05/2020
-
Mengubah Ketakutan Anak Didik Pemasyarakatan dalam Melihat Masa Depan
106122/09/2021 -
221106/12/2019
-
Dinamika Budaya Tight pada Pendidikan Seksual di Indonesia
48607/04/2024