Mempertimbangkan Lockdown

Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Mempertimbangkan Lockdown 23/03/2020 1335 view Opini Mingguan Kronologi.id

Secara nasional, kecepatan penyebaran virus corona menimbulkan kecemasan publik. Beberapa pihak dari pelbagai latar belakang ilmu berusaha membuat analisis dan kajian kritis tentang kemunculan awal, kemudahan percepatan penyebaran virus corona, dan dampaknya terhadap beragam aspek kehidupan masyarakat. Semua usaha akademis dengan studi kepustakaan maupun penelitian lapangan menjadi kontribusi penting bagi pemerintah Indonesia untuk menentukan kebijakan sebagai respon terhadap pandemi virus korona.

Juru bicara pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto menjelaskan bahwa hingga Jumat (20/3), terdapat penambahan 60 kasus positif corona sehingga totalnya menjadi 369 kasus positif corona. Selain itu, ada penambahan satu kasus sembuh sehingga total menjadi 17 pasien yang sembuh, sedangkan untuk kasus meninggal ada penambahan 7 orang sehingga total orang yang meninggal karena serangan virus corona menjadi 32 orang (Merdeka.com, Jumat, 20 Maret 2020).

Percepatan penyebaran virus corona sehingga berdampak pada peningkatan jumlah kasus positif corona membuat banyak pihak optimis agar Jokowi sesegera mungkin memberlakukan kebijakan lockdown. Tagar #Indonesia_LockdownPlease menjadi trending di media sosial. Lockdown adalah sebuah kebijakan yang diambil oleh negara untuk mengunci akses bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas keluar dan masuk di dalam suatu wilayah tertentu.

Virus corona dan desakan untuk mengambil kebijakan lockdown menjadi basis penilaian segelintir orang terhadap kinerja pemerintahan Jokowi pada periode kedua ini. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kelak ketika masa jabatan Jokowi sebagai presiden berakhir, masyarakat akan mengenang beliau sebagai “penyelamat” di tengah serangan virus corona yang mematikan ataukah sebaliknya beliau akan dikenang sebagai presiden yang gagal menyelesaikan kasus ini sehingga menyisakan pekerjaan rumah yang berat bagi penggantinya kelak? Kenyataan seperti ini menjadi ujian bagi Jokowi dan Jokowi mesti berusaha sekeras mungkin untuk melewati dan dinyatakan lulus dalam ujian ini.

Hingga saat ini, ada dua bentuk penilaian yang diberikan kepada Jokowi terkait responnya terhadap penyebaran virus corona. Pertama, sebagian pihak menilai Jokowi sebagai sosok pemimpin yang lamban dalam mengambil dan menetapkan kebijakan untuk merespon kasus corona. Penilaian seperti ini memantapkan pesimisme mereka bahwa Jokowi tidak mampu menyelesaikan kasus ini dan di media sosial, secara ekstrim sebagian pihak mengusulkan agar Jokowi mundur saja dari jabatannya.

Kedua, tidak sedikit juga pihak yang menilai bahwa kelambanan Jokowi dalam menetapkan kebijakan-kebijakan tertentu tidak berarti bahwa Jokowi tinggal diam dan hanya berpangku tangan menyaksikan penderitaan yang dialami oleh masyarakatnya. Mereka berpendapat bahwa Jokowi sebenarnya sedang berpikir holistik, representatif, dan matang-matang sebelum menetapkan kebijakan untuk merespon kasus pandemi virus corona. Virus corona yang membahayakan kompleksitas aspek kehidupan manusia tidak bisa direspon dengan jalan ketergesa-gesaan dalam menetapkan kebijakan, tetapi melalui kerja berpikir, berdiskusi, dan berdebat dengan banyak pakar yang memiliki latar belakang profesionalitas masing-masing. Cara seperti ini menjadi sesuatu yang penting agar penetapan kebijakan-kebijakan tertentu tidak akan memunculkan persoalan-persoalan turunan yang jauh lebih ruwet lagi.

Desakan untuk memberlakukan kebijakan lockdown perlu dikaji dan dianalisis dengan menggunakan pisau akademis latar belakang ilmu seperti sosial, ekonomi, politik, dan medis-kesehatan. Hemat saya, mempertimbangkan secara jeli penetapan kebijakan lockdown sangat penting dan mendesak agar benar-benar mengatasi masalah, bukannya menimbulkan masalah-masalah turunan yang lebih rumit.

Pertama, dari perspektif kajian ekonomi, penetapan kebijakan lockdown secara cepat akan menghambat kegiatan-kegiatan ekonomi makro dan mikro sehingga akan menyebabkan Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bukan tidak mungkin sejarah kelam krisis moneter tahun 1997-1998 akan terulang lagi. Ketika krisis ekonomi terjadi, Indonesia kemudian menggantungkan nasib pada IMF dan Bank Dunia sebagai dua lembaga peminjam uang untuk kembali membangun perekenomian Indonesia. Bukan hal yang mustahil, jika dalam rangka mendapatkan dana pinjaman, Indonesia menjadi negara boneka yang sesuka hati dikendalikan oleh IMF dan Bank Dunia seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Demi pelunasan utang luar negeri yang semakin menumpuk jumlahnya, kecemasan yang muncul adalah jika sejumlah aset-aset handal milik Indonesia diserahkan dan dikelola oleh perusahaan-perusahaan multinasional dalam kerja sama dengan IMF dan Bank Dunia dengan satu logika yang sama yaitu neoliberalisme.

Kedua, dari perspektif sosial-kemasyarakatan, penetapan kebijakan lockdown akan lebih menyengsarakan mayoritas masyarakat miskin di negeri ini yang hanya menggantungkan nasib pada pekerjaan-pekerjaan yang lebih mengandalkan mobilisasi fisik secara langsung atau para pekerja informal, misalnya para pedagang kaki lima, para tukang ojek online, para sopir Grab, dan lain-lain. Mereka tidak sama dengan minoritas masyarakat yang kaya raya yang tanpa mobilisasi fisik pun masih dapat memperoleh uang karena jaringan bisnis yang luas. Anjuran untuk “bekerja dari rumah” sangat sulit diterima oleh para pedagang kaki lima, tukang ojek online, dan para sopir Grab karena mereka tidak akan memperoleh penghasilan dan tentunya akan memunculkan persoalan turunan lain seperti masalah kelaparan. Apakah negara membuka mata terhadap nasib para pekerja informal? Apa yang harus dibuat oleh negara sehingga para pekerja informal tetap dapat menyambung hidup ketika kebijakan lockdown diberlakukan?

Ketiga, dari perspektif medis, ketimbang menerapkan kebijakan lockdown, masyarakat bisa menerapkan mekanisme pertahanan diri agar tubuh tetap dalam kondisi sehat dengan mengikuti protokol medis yang jelas dan juga tenaga medis melaksanakan layanan kesehatan secara massif untuk masyarakat. Layanan kesehatan yang dimaksud adalah tes corona secara besar-besaran, isolasi orang yang terinfeksi di tempat-tempat khusus yang sudah disediakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan pembagian obat untuk diproduksi secara massal dalam rangka menekan angka kematian akibat virus corona seperti obat Avigan yang sudah didatangkan sebanyak 5.000 butir dan tengah dipesan 2 juta butir dan Chloroquine yang disiapkan sebanyak 3 juta butir (berdasarkan keterangan pers Presiden RI terkait tes cepat Covid-19 yang ditayang melalui akun youtube Sekretariat Presiden).

Sudah banyak langkah yang ditempuh oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk merespon penyebaran virus corona. Langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah tentunya tidak hanya bertujuan untuk menekan penyebaran virus corona sehingga tidak menyerang masyarakat dalam jumlah yang semakin banyak, tetapi juga memperhitungkan kehidupan ekonomi nasional dan daerah agar tidak merosot drastis.

Ketertiban untuk mengambil kebijakan-kebijakan sangat ditekankan oleh pemerintah pusat. Kebijakan yang diambil oleh daerah mesti selaras dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Semua kebijakan harus keluar dari satu pintu yang sama yaitu pemerintah pusat sehingga bencana virus corona tidak dipolitisasi untuk sekadar meningkatkan pencitraan di hadapan masyarakat.

Virus corona dapat menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Orang kaya dan orang miskin sama-sama bisa menjadi korban serangan virus corona. Dampak virus corona sudah dirasakan secara konkret oleh pemerintah dan masyarakat sipil. Namun, mesti ada kesadaran kolektif bahwa kelompok masyarakat yang berprofesi di sektor informal merasakan dampak yang lebih berat. Selain menempuh langkah-langka untuk mencegah penyebaran virus corona, pemerintah dan masyarakat perlu membuka mata terhadap nasib kelompok masyarakat yang bekerja di sektor-sektor informal agar mereka bisa menyambung hidup.

Di hadapan para pekerja di sektor informal, masyarakat disadarkan akan dua hal penting yaitu kesehatan adalah mahkota kehidupan dan pemberian donasi sebagai bentuk solidaritas terhadap kelompok masyarakat rentan terdampak corona yang sulit menyambung hidup pada situasi genting akibat virus corona. Gerakan donasi #salingjaga hadapi corona yang digagas oleh Alissa Wahid dan Haidar Bagir serta didukung oleh Gusdurian dan Gerakan Cinta Islam dapat dijadikan contoh keberpihakan terhadap kelompok rentan terdampak corona (The Columnist, Sabtu, 21 Maret 2020).

Sekali lagi, perlu digarisbawahi bahwa penetapan kebijakan sebagai respon terhadap pandemi virus corona tidak perlu tergesa-gesa karena musibah ini tidak hanya berkutat pada soal kesehatan, tetapi politik, sosial, dan ekonomi. Kenyataan seperti ini membuat pemerintah perlu berpikir holistik dan representatif sebelum menetapkan kebijakan. Kebijakan lockdown dengan aneka problem turunan yang akan diakibatkannya membuat pemerintah dan masyarakat perlu mempertimbangkan penetapannya. Kalaupun terpaksa ditetapkan, pemerintah perlu melengkapinya dengan kebijakan-kebijakan lain agar membendung terjadinya problem-problem turunan yang lebih menyengsarakan masyarakat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya