Merindu Riuhnya Ruang Kelas

Widyaiswara BKKBN NTT
Merindu Riuhnya Ruang Kelas 30/05/2020 5799 view Pendidikan images.app.goo.gl


Saya : Sampai sekarang, apa yang kamu rasakan ketika belajar dari rumah?

Adik : Saya lumayan senang kakak. Hanya sekarang saya mulai merasa jenuh’... kalau di Sekolah,
Saya rasa lebih asyik, dan lebih ramai, dari pada di rumah’.

Saya : Oh begitu, kah? Terus bagaimana?

Adik : Saya juga bingung kakak,,Saya hanya bisa ikut situasi yang ada sekarang.

Percakapan singkat antara saya dan adik sepupu (yang masih SMP) tadi sedikit menggelitik pikiran saya sehingga mulai berpikir sejenak, apa maksudnya? Pernahkah kita merasa seperti yang adik saya alami? Seberapa intensnya kita belajar ‘bersama’ mereka di rumah? Saya semakin bingung, karena terlalu banyak pertanyaan yang muncul dari situasi yang ada di tengah pandemi ini. Mau bagaimana lagi, mewabahnya virus mematikan ini, sudah merasuki pelbagai sendi kehidupan, tak terkecuali bidang pendidikan.

Sedikit pengalaman pribadi, Saya sering bercerita dengan adik-adik siswa (SD & SMP) yang saya temui di Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT mengenai kegiatan belajar di rumah. Jawaban mereka sangat variatif. Sebagian, ada yang senang, karena masa ‘libur’ ini membuat mereka bisa lebih banyak waktu untuk ‘bermain’ dengan orang rumah atau tetangga. Namun ada juga yang karena sudah terlalu lama di rumah, mereka rindu suasana sekolah (aroma ruangan kelas) dengan sedikit debu melekat di bangku/kursi dan meja, yang selalu dibersihkan bersama setiap hari. Memang benar adanya; suasana sekolah, selalu memberi kesan dan kenangan tersendiri yang unik dan menggemaskan. Suasana kelas yang riuh-gaduh akibat salah satu kawan yang berbuat salah; atau situasi menegangkan saat menanti dengan harap cemas kedatangan guru yang dianggap paling ‘jahat’ dengan penggaris kayu yang siap ditepiskan di betis siswa, jika tidak mengerjakan PR; rindu suasana kantin dengan uang jajan yang terbatas; dan masih banyak lagi kisah-kasih di Sekolah yang sulit terlupakan.

Sungguh pasti, bahwa situasi Sekolah memiliki kesan tersendiri dari para peserta didik yang berada didalamnya, pun satuan pendidikan terkait lainnya. Tapi, pandemi Covid-19, sudah mengubur segala kenangan yang sudah/sedang terpatri dalam diri mereka semua yang selalu bersemangat ketika hari Senin tiba, menanti lantunan lagu Indonesia Raya dalam Upacara Bendera di halaman Sekolah. Ironis memang, melihat virus kejam ini, menggergoti kreativitas dan ‘riuhnya’ suasana kelas. Interaksi yang sedikit banyak hanya satu arah antara guru dan siswa, sekalipun dinilai oleh banyak ahli kurang efektif, karena mematikan kreatifitas, akan tetapi justru itulah yang membuat kami (siswa) menjadi lebih baik.

Sekarang, situasi chaos ini tidak bisa kita tampik. Mau tidak mau, kita hanya bisa pasrah dan taat mengikuti anjuran Pemerintah untuk tetap berada di rumah (baca: pembelajaran dari rumah/home learning). Tentunya, maksud baik ini harus dijalankan dengan penuh kesadaran demi tercapainya kebaikan bersama. Namun, pernahkah kita bertanya, seberapa efektifkah kegiatan belajar dari rumah? Memang, terasa sangat prematur kalau saya melontarkan pertanyaan tadi, karena kita masih sedang berada dalam situasi pendemi ini. Tetapi, sedikit argumen saya dari fakta yang ada, bahwa ternyata efektivitas pembelajaran di rumah (home learning) yang diberlakukan saat ini terasa masih kurang. Banyak orang tua dan anaknya (siswa) merasa terbebani, karena ternyata bukan ‘pembelajaran’ yang terbangun, melainkan tumpukan banyak tugas yang datang dari tiap mata pelajaran. Kalau dikaji lebih jauh, dapat dilihat bahwa hampir semua guru, akan selalu memberikan tugas kepada siswa, yang dikirim melalui media sosial atau email, kemudian meminta mereka mengerjakannya, lalu hasilnya dikirim kembali untuk diperiksa. Tujuannya memang mulia, yakni agar anak (siswa) tidak berkeliaran atau melakukan hal lain. Tapi pertanyaan sekarang adalah, securiga itukah kita (guru) terhadap aktivitas anak didik ketika berada di rumah? Apakah mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa, dan hanya menghabiskan waktunya untuk bermain? Pernahkah kalian (para pendidik) memikirkan dan merasakan apa yang dirasakan oleh anak didik?

Bagi saya, model home-learning seperti ini tidak jauh berbeda dengan metode pembelajaran yang bercirikan konsep one way information, di mana guru sebagai sumber utama pengetahuan (teacher centered learning). Kalau demikian, pembelajaran yang dilakukan guru hanya instruksi, bukan konstruksi atau rekonstruksi pengetahuan, bahkan tidak memberi kesempatan pada siswa untuk menentukan arah mana siswa ingin bereksplorasi dalam menemukan pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kemandirian belajar dalam diri siswa.

Sekali lagi, kalau kita masuk dalam diri siswa lebih dalam, akan kita temukan bahwa sebenarnya ada ‘kerinduan’ besar yang belum terungkap, bahwa mereka ternyata ingin kembali menikmati kebersamaan dan keributan ruang kelas. Sebagai seorang yang juga pernah merasakan ruang kelas, saya tahu persis bagaimana ramai dan sukacitanya saya jika berada bersama teman-teman sekelas. Betapa bahagianya saya sekalipun dihukum berlutut bersama teman lain ketika tidak bisa menjawab soal matematika; dan masih banyak lagi cerita dari kalian yang pernah merasa suasana sekolah seperti saya.

Pertanyaan dasar sekarang adalah kalau belajar dari rumah itu dianggap efektif, maka setelah badai ini berlalu, kira-kira masih perlukah gedung Sekolah? Masih layakkah ruang kelas dan berbagai ruangan lain yang dibangun menggunakan dana bantuan dari Pemda dan/atau Yayasan (khusus Sekolah Swasta)? Tentu pertanyaan dasar ini akan dijawab dengan sudut pandang yang beragam sesuai kompetensi kita.

Kasihan ya, sapu ijuk yang tersimpan di sudut ruangan, persis di belakang almari kelas, kini tidak tersentuh. Miris juga, melihat gambar-gambar kreatif bertuliskan: ‘rajin pangkal pandai’ (di zaman saya sekolah), tergantung di dinding kelas yang semakin keropos termakan rayap. Sedih sekali, melihat papan tulis (black/white board) yang kini dihiasi sarang laba memanjang dari satu sisi ke sisi yang lain, ditambah kaca jendela yang semakin pekat tak terlihat karena di-’bedaki’ dengan butiran debu halaman sekolah.

Begitulah kami disini. Rasa-rasanya saya ingin kembali ke waktu itu. Kembali ke masa putih-merah, putih-biru dan putih abu-abu. Kembali berkisah bersama kawan tentang sulitnya menghafal periode waktu Sejarah Indonesia beserta para tokoh-tokoh bangsa, dalam pelajaran IPS; Kembali bertutur pantun dan mendeklamasikan puisi di depan kelas saat pelajaran Bahasa Indonesia; Kembali merasakan suasana kerja tugas membuat dan menghitung volume bangun ruang dalam pelajaran matematika di rumah teman yang dianggap paling ‘pintar’; Kembali mengamati keadaan alam sekitar dan membuat laporan atas temuan pengamatan dalam pelajaran IPA; Kembali berusaha membagi waktu latihan menari, menyanyi, dan bermain musik untuk ujian praktek pelajaran Kesenian selepas sekolah; Kembali mengembangkan kreativitas dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah; dan masih panjang lagi kisah masa lalu yang tercerita di balik pagar sekolah. Sungguh, saya ingin Pulang. Pulang kembali ke ruang ilmu yang kadang menjadi ruang ‘tunggu’, karena sudah jenuh menanti bunyi lonceng saat pelajaran jam terakhir. Inilah cerita tentang Sekolah kami. Sekolah dengan sedikit ruang kelas, yang kami sebut ‘ruang offline’ tapi pemikiran kami online, ruang sempit tetapi dari sanalah kami menjadi ‘orang’. Banyak salam, dari kami anak-anak kelas offline! Kami sedang merindu pada ‘riuhnya’ ruang kelas, sembari menanti waktu, untuk bersatu meraih ilmu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya