Dinamika Budaya Tight pada Pendidikan Seksual di Indonesia

Pelecehan seksual, kekerasan seksual, pemerkosaan adalah contoh dari kejahatan seksual yang sering diberitakan di media massa dari waktu ke waktu. Kejahatan seksual ini bukan hanya berdampak pada “korban” pada saat kejadian keji itu terjadi, ini akan berdampak lama dan jika tidak diberikan penanganan yang tepat kepada korban akan berdampak pada sepanjang kehidupannya seperti korban merasa tidak memiliki harga diri, menutup diri dari lingkungan, stress, PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder) dan dampak lainnya.
Perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan pendidikan seksual yang diperoleh individu. Budaya juga mengambil andil terhadap perilaku seksual. Menurut (Gelfand, M et al. 2011) ada dua bentuk norma budaya yakni budaya tight (ketat) dan budaya loose (longgar).
Budaya tight diasosiasikan dengan budaya yang memiliki norma yang ketat dan rendah terhadap toleransi perilaku menyimpang. Sebaliknya budaya loose adalah budaya yang memiliki karakteristik norma yang rendah dan toleransi tinggi kepada perilaku yang menyimpang dari norma. Norma adalah aturan-aturan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Indonesia dengan karakteristik negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat di dunia berdasarkan data worldometer. Worldometer adalah website yang menyajikan data populasi di dunia secara real time (langsung). Masyarakat Indonesia memiliki beberapa kepercayaan agama yang aturan dan norma wajib dipatuhi menurut agama yang dipercayainya, Indonesia memiliki sistem hukum dan pemerintahan yang menjadi landasan dari masyarakat untuk berperilaku dan beraktivitas agar sesuai dengan yang sudah ditetapkan.
Dari beberapa karakteristik negara Indonesia yang disampaikan, hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia adalah negara dengan budaya tight yang lebih menonjol dan sesuai dengan karakteristik budaya tight oleh Gelfand, et al. 2011. Hal ini berdampak kepada seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan seksualitas yang berkembang pada masyarakat.
Budaya tight memiliki norma yang kuat, sehingga masyarakat sering menghindari membicarakan tentang sesuatu yang dianggap tabu atau tidak layak dibicarakan. Perilaku seksual ataupun pembicaraan tentang hal yang berhubungan dengan seksualitas sering dianggap tabu dan tidak sesuai dengan norma. Terkadang ada asumsi bahwa jika berbicara tentang seksualitas, maka orang yang sedang membicarakan hal yang kotor dan menjijikkan. Padahal seksualitas selalu bersinggungan dengan pertumbuhan hidup manusia.
Sebagai contoh, remaja perempuan yang pertama kali datang bulan tanpa diberitahu/diajarkan oleh orangtua/ guru tentang kondisi tersebut mungkin mengira ia sedang pendarahan dan menderita sakit dan ia juga tidak menyiapkan pembalut. Hal yang sama terjadi pada remaja laki-laki yang pertama kali “mimpi basah”, mungkin remaja laki-laki ini berfikir ia “berfikiran kotor” karena bermimpi tentang seksualitas. Padahal kedua hal ini adalah hal yang lazim terjadi ketika seorang anak laki-laki dan perempuan beranjak dewasa dan menandakan organ reproduksinya sudah berkembang.
Anak adalah insan manusia yang selalu ingin tahu akan segala hal termasuk dengan hal yang berhubungan dengan seksualitas. Jika figur dewasa seperti orangtua ataupun guru yang dekat dengan anak menganggap membicarakan seksualitas adalah hal yang tabu (tidak boleh dibicarakan) dan selalu melarang kegiatan-kegiatan yang terafiliasi dengan hal-hal seksualitas seperti tidak boleh mencium orang yang tidak dikenal, memperlihatkan bagian tubuh sensitif kepada orang lain, memberi tahu anak tentang sentuhan yang boleh dan tidak boleh pada anak tanpa memberikan alasan yang masuk akal menjadikan anak mencari sumber informasi dari berbagai sumber, seperti teman-temannya, internet, media sosial dan sosok yang dianggap mengetahui segala hal.
Hal ini sebaiknya dihindari. kenapa? Karena informasi yang diberikan tidak kredibel (tidak dapat dipercaya), bisa saja informasi yang diberikan salah dan keliru. Jadi pastikan anak mendapatkan informasi tentang seksualitas dari sumber yang menuntun anak mengenal seksualitas sesuai dengan tahapan perkembangannya dari figur orang tua ataupun guru. Jika anak mendapatkan pendidikan seksual dari sumber yang tidak kredibel, ini bisa meningkatkan risiko perilaku dan pendidikan seksual yang menyimpang seperti sering terpapar akses pornografi.
Kurangnya paparan pendidikan seksual dari sumber yang kredibel untuk anak, dapat meningkatkan perilaku seksual yang menyimpang seperti melakukan seks di luar nikah yang berakibat hamil di luar nikah, pernikahan usia dini, melakukan kegiatan seksual di tempat umum dan kegiatan tercela lainnya. Pendidikan seksual juga aktif menyuarakan tentang dampat buruk melakukan hubungan seksual yang menyimpang, seperti memberitahu dampak penyakit seksual menular seperti HIV AIDS dan gonorhea yang menular melalui kegiatan seksual.
Pendidikan seksual tidak hanya berhubungan dengan intercourse (hubungan seksual). Banyak aspek yang berhubungan dengan pendidikan seksual. Seperti perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan antar individu dan terutama antar laki-laki dan perempuan, perilaku untuk menjaga kebersihan organ intim, anatomi tubuh laki-laki dan perempuan, mengajarkan saling menghormati antar individu dan mengenalkan consent (izin) tentang suatu hubungan. Pendidikan seksual ini seharusnya diajarkan dari kecil bukan hanya ketika akan menjalin hubungan pernikahan saja.
Pendidikan seksual diberikan pada setiap insan manusia agar tidak terjerumus pada kegiatan seksual yang berdampak buruk pada dirinya. Walaupun dibudaya tight, membicarakan tentang seksualitas adalah hal tabu dan jarang dibicarakan antar generasi, namun diharapkan orang tua yang paling dekat dengan anak menjadi madrasah pertama bagi anak untuk mengetahui tentang seksualitas.
Budaya tight lebih sering mengasumsikan berbicara tentang seksualitas selalu berhubungan dengan berhubungan seksual yang menurut budaya tight hal ini hanya boleh dibahas ketika sudah menikah. Dengan menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh ditambah dengan alasan-alasan yang logis dan masuk akal tentang hal tersebut akan membuat anak bisa memiliki benteng dari kejahatan-kejahatan ataupun perilaku menyimpang seksual yang memberikan dampak negatif kepada individu yang mengalaminya.
Artikel Lainnya
-
142206/07/2020
-
104718/09/2022
-
13308/06/2025
-
110429/07/2025
-
Ironi Demokrasi dan Hak Partisipasi Warga Negara
71418/11/2022 -
Analisis Semiotik Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Paradigma Islam dan Barat
31719/07/2024