Perlukah DPR Dibubarkan?

DPR. Kalau kita berbicara tentang lembaga yang satu ini, kebanyakan terlintas hal-hal berbau negatif. Mulai dari merengek-rengek minta gedung baru, kasus korupsi yang menggurita, hingga pembuatan undang-undang yang sarat kontroversi. Untuk yang terakhir, akan menjadi fokus tulisan ini.
Bagaimana tidak, DPR dalam praktek pembuatan undang-undang, mengawin-paksakan hukum dan politik. Tentu dibalik batu perkawinan paksa itu, terdapat udang yang menggiurkan, yang coba ditangkap oleh para anggota dewan. Hasilnya, lahirlah anak yang bernama ketidakadilan, berbalut pakaian undang-undang, yang nantinya hanya menyengsarakan rakyat kecil.
Delegitimasi Peran DPR sebagai Badan Legislasi
Sebagai sebuah lembaga negara, DPR memiliki empat fungsi, yakni, legislasi, anggaran, pengawasan, dan perwakilan (Harman, 2012:57). Legislasi merupakan salah satu fungsi penting dan paling krusial dalam proyek politis DPR. De iure, fungsi legislasi DPR tercantum dalam UUD 1945 pasal 20 dengan ketentuan bahwa DPR memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-undang (UU). DPR adalah lembaga pembuat UU.
Namun, dalam proses perumusan UU, kita sering menemukan aneka ketimpangan. Hukum, dalam hal ini UU, yang sebenarnya harus independen demi terciptanya tatanan yang adil dan menyejahterakan rakyat malah terkontaminasikan kepentingan-kepentingan politik. Hasilnya dalam praktek penerapan, mengutip bahasa Sarrifuddin Sudding, UU selalu disandera oleh politik sebab hukum adalah produk politik (Sudding, 2014:114).
Alih-alih ingin membuat UU yang independen, ternyata UU memboncengi kepentingan kelompok dan kompromi partai (Harman, 2012:64). Itu artinya ada sekelompok orang yang mencoba memanipulasi UU untuk memuluskan kepentingan partai, kelompok, atau individu tertentu. UU yang dibuat tidak lagi berpatokan pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi digiring pada kepentingan pihak tertentu.
Selanjutnya, ketika UU tersebut dihadapkan dengan kehidupan riil, sudah barang tentu, akan terkuak hegemoni politik dalam diri hukum tersebut. Hukum yang sejatinya memiliki konstruksi berbasis kemanfaatan, kepastian, dan keadilan, direkonstruksi menjadi medan mencari kekayaan pribadi atau kelompok, dalam hal ini partai. Titik equilibirium keadilan pun menghilang. Dengan kata lain, kita dapat katakan bahwa UU yang sudah terkontaminasi adalah UU yang tidak berada pada titik equilibrium keadilan. UU yang demikian hanya akan membebankan pihak yang satu, dalam hal ini pihak yang lemah, dan menguntungkan pihak yang lain, dalam hal ini pihak yang kuat. Lantas, pertanyaan pun mencuat ke permukaan, masih pantaskah fungsi legislasi ini dimotori oleh para anggota DPR yang de facto memboncengi kepentingan politik?
UU yang memboncengi kepentingan pribadi atau sekelompok orang tidak dapat dilihat sebagai UU murni. Untuk itu, demi mencapai UU yang sungguh murni, mau tidak mau, UU harus dipisahkan dari politik. Separasi hukum dari politik ini diharapkan akan semakin menunjukkan wajah hukum yang pasti dan adil. Pasti artinya bahwa hukum berlaku mutlak sebagai pedoman dalam bertindak. Adil berarti bahwa pedoman perilaku tersebut harus menunjang suatu cita-cita tatanan yang dinilai sebagai sah (Antonius Reza, 2006:21).
Hukum mestinya dipurifikasi dari segala kepentingan, selain demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, hemat penulis, legitimitas DPR sebagai lembaga legislasi perlu didelegitimasi, alias dibubarkan saja.
Membentuk Badan Legislasi Baru (?)
Untuk itu, di dalam kerangka mencapai hukum murni yang pasti dan adil, dibutuhkan sebuah demokrasi deliberatif yang sangat menomor-satukan pentinganya prosedur komunikasi. Deliberasi (deliberatio) berarti menimbang-nimbang. Maksudnya, teori demokrasi ini tidak memusatkan diri pada prosedur daftar aturan-aturan tertentu mengenai hal-hal yang perluditaati oleh warga negara (Hardiman, 2009:128). Teori ini sebenarnya lebih mengacu pada cara begaimana aturan-aturan itu diperoleh.
John Rawls, seorang filsuf politik berkebangsaan Amerika Serikat, yang terkenal pada abad XX, memiliki konsepsi teori politik yang berciri proseduralistis (Hardiman, 2009:176). Dalam A Theory of Justice, Rawls mengembangkan demokrasi prosedural dalam jalur ‘yang adil’. Terkait jalur ‘yang adil’, Rawls bergerak menuju idea tentang The Original Position (Posisi Asali).
Dalam posisi asali, Rawls berpandangan bahwa setiap individu berada pada kondisi asali yang fair (Rawls, 1971:136). Posisi asali menurut Rawls adalah setiap individu berada di belakang tabir ketidaktahuan (The Veil of Ignorance). Setiap individu dalam posisi ini tidak mengetahui tempatnya di masyarakat, posisi kelas atau status sosial, keberuntungannya dalam distribusi aset-aset serta kecakapan alamiah, intelegensi dan kekuatan, situasi ekonomi, politik, level peradaban dan budaya, juga mereka tidak mengetahui situasi masyarakat (Hardiman, 2009: 137).
Tidak ada yang tahu situasinya dalam masyarakat dan juga aset-aset alamiahnya. Karena itu tidak ada peserta yang berpretensi mengubah prinsip-prinsip diskursus untuk keuntungannya. Namun, Rawls sendiri tidak memungkiri bahwa setiap individu mengetahui fakta-fakta politik dan prinsip-prinsip teori, basis dari organisasi sosial dan hukum-hukum psikologi (Hardiman, 2009:139).
Konsepsi Rawls tentang The Veil of Ignorance ini, hemat penulis, mengimplikaskan setiap penegak hukum hendaknya tidak berada dalam posisi ‘kepentingan’ partisan. Maksudnya, mereka yang bertugas dalam membentuk UU janganlah yang terikat dengan kepentingan politis manapun dan juga kepentingan pribadi. Dalam bahasa Rawls, individu-individu yang demikian haruslah berdiri di belakang the veil of ignorance. Satu-satunya basis diskursus mereka adalah berdiskusi berdasarkan akal budi, kemampuan menalar setiap peserta sesuai kemampuan pribadi. Rawls menghendaki proses atau prosedur (mekanisme) legislasi yang tidak terpengaruh roh politik.
DPR yang mengisi posisi sebagai Badan Legislasi tidak berada dalam posisi ini. Sejatinya, DPR berada dalam ruang lingkup kepentingan. Tidak ada anggota DPR yang murni bekerja kepentingan masyarakat. Prosedur pembentukan prolegnas dan segala bentuk dinamika prosedural pembentukan undang-undang dalam lembaga DPR tidak berada dalam posisi telanjang, tanpa kepentingan.
Saat ini masyarakat membutuhkan individu-individu yang murni dari cacat kepentingan. Kemurnian hukum hanya bisa ada bila dalam pembahasan UU, setiap individu yang berwenang tidak mengikutsertakan kepentingan politis atau atas apa pun alasannya. Maka, resep efektif untuk melepaskan hukum dari politik adalah dengan membentuk sebuah badan legislasi yang baru.
Anggota badan ini haruslah individu-individu yang non-parpol. Individu-individu yang menempati Badan Legislasi tersebut harus bebas dari berbagai macam kepentingan, sebagaimana dideskripsikan Rawls. Visi yang diunggulkan dari Badan Legislasi yang baru ini adalah kemurnian hukum demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Hukum itu juga haruslah bersifat pasti dan adil. Tidak lupa pula bahwa hukum itu juga harus ‘tajam’ kepada siapa saja, tanpa pandang bulu. Semua itu demi seimbangnya titik equilibrium.
Akhirul kalam, sudah sepantasnya hukum harus memisahkan diri dari pengaruh politik. Hukum murni yang kita cita-citakan adalah hukum yang liber dari pengaruh politik. Untuk itu, dalam membuat hukum, dalam hal ini UU, diperlukan kinerja total tanpa ada sungut-sungut politik. Artinya, mereka yang bekerja di bawah payung Badan Legislasi semestinya didelegitimasi, sebab tidak terhindarlah pengaruh politik yang turut dalam dalam UU. Betapa tidak, kepentingan partai bisa saja hadir dalam UU.
Hukum yang baik adalah hukum yang terbebas dari ‘penindasan’ politik. Sebab, jika hukum ditindas oleh politik, itu bukan lagi sebuah hukum. Maka, DPR sebagai pembuat UU dibubarkan saja, dan diganti dengan lembaga yang baru dan bersih kepentingan.
Artikel Lainnya
-
136628/03/2021
-
74119/04/2024
-
16403/03/2025
-
Home Learning Dalam Lingkaran Stratifikasi Sosial
188606/05/2020 -
Solusi dari Meningkatnya Kekerasan pada Anak di Masa Pandemi
110410/08/2021 -
Bemedia sosial Secara Bebas dan Santun
130415/09/2021