Demonstrasi dan Ikhtiar Sumpah Pemuda

“Berikanlah aku seribu orang tua, niscaya akan aku cabut gunung simeru dari akarnya, tetapi berikanlah aku sepuluh orang muda, niscaya akan aku goncangkan dunia.”
Secara implisit, apa yang disampaikan oleh Bapak proklamator Ir. Soekarno ini mengindikasikan betapa besar potensi dan kemampuan dari para kaum muda bagi perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia. Hal ini dapat kita simak dan lihat dari persepsi presiden pertama bangsa Indonesia bapak Ir. Soekarno di atas yaitu dengan membandingkan potensi antara kaum muda dengan kaum tua (10:1000).
Tentu, adanya distingsi kedua elemen ini memberikan ruang, peluang serta kesempatan bagi kaum muda untuk merefleksikan mengenai apakah peran mereka dalam mencapai progresifitas negara Indonesia. Dan dengan potensi yang mereka miliki itu bagaimanakah cara mereka dalam merealisasikannya agar bisa memberikan implikasi menuju bangsa yang maju? Pertanyaan tersebut mestinya menjadi fundamen bagi kaum muda saat ini dengan berpijak pada sumpah pemuda 92 tahun yang silam, dimana kaum muda berusaha dan berjuang untuk mereformasi dan mengemansipasi negara Indonesia dari para penjajah asing.
Secara faktum, negara Indonesia saat ini masih dirundung dalam duka dan kecemasan akan masa depan dari negara ini. Hal ini disebabkan oleh pelbagai polemik, persoalan serta problem yang seringkali terjadi dalam arena kehidupan kaum muda. Masalah tawuran antar pelajar, NAPZA (Narkoba, Alkohol, Psikoptrika dan Zat Aditif), seks bebas, aksi balapan liar dan berbagai deretan kasus lain yang kian mewarnai dinamika kehidupan kaum muda saat ini.
Namun, tema yang menjadi lebih aktual dan akut akhir-akhir ini adalah para kaum muda atau mahasiswa yang melakukan demonstrasi yang justru mengarah ke hal destruktif-anarkis. Memang secara de jure hakikat dari demokrasi itu sendiri adalah demonstrasi. Bahwa demonstrasi dapat dilakukan manakala keputusan dan kebijakan pemerintah tidak menunjukkan ke arah partisipasi dari publik sebagai subjek dan tujuan dari kebijakan itu sendiri. Seperti pengesahan Omnibus Law UU cipta kerja beberapa minggu lalu yang dilakukan secara tersembunyi tanpa mensosialisasikan terlebih dahulu kepada publik.
Tentu tindakan ini dapat menjustifikasi kecurigaan publik akan Revisi Undang-Undang yang telah disahkan itu. Bahwa mengapa DPR melakukan pengesahan Omnibus Law ini secara diam-diam tanpa disosialisasikan kepada publik terlebih dahulu? Lebih mirisnya lagi pengesahan tersebut dilakukan di tengah krusialnya pandemi covid-19. Apakah ini adalah sebuah skenario para elite atau sebaliknya bahwa pengesahan Omnibus Law ini justru mengarah ke hal bonum commune?
Hemat saya, seandainya kalau pengesahan RUU ini mengarah ke hal yang progres-konstruktif publik, paling tidak tetap disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat. Tujuannya agar masyarakat tidak panik atau kaget dengan pengesahan Omnibus Law cipta kerja tersebut. Sehingga tidak heran para buruh dan mahasiswa beberapa hari yang lalu secara konspirasi melakukan demonstrasi besar-besaran di beberapa provinsi di Indonesia.
Dari realitas yang terjadi, saya melihatnya dari dua sisi. Bahwasannya di satu sisi, saya setuju dengan tindakan mahasiswa yang telah melakukan demonstrasi penolakan Omnibus Law UU cipta kerja. Karena demokrasi yang adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah mengalami degradasi nilai sebagai demokrasi itu sendiri. Kaum elite telah mengeksploitasi kekuasaanya sebagai sesuatu yang absolut, tanpa mendengarkan aspirasi rakyat. Konsekuensinya adalah mahasiswa dan kaum buruh melakukan demonstrasi yang sangat krusial selama beberapa hari terakhir. Tindakan ini dilakukan tentu dengan suatu tujuan definitif yaitu penolakan RUU cipta kerja.
Namun di sisi lain, saya tidak setuju dengan tindakan mahasiswa yang secara etis tidak memenuhi kriteria demonstrasi sebagaimana mestinya. Mahasiswa telah terjerembab dalam kerangkeng emosional yang eksesif. Sehingga demonstrasi yang bertujuan untuk menyampaikan orasi secara kritis, etis dan sistematis, kini terarah ke tindakan destruktif-anarkis. Fenomena ini sungguh ironis, karena infrastruktur yang tujuannya disediakan untuk masyarakat universal negara Indonesia kini telah didestruktif oleh aksi mahasiswa yang melakukan demonstrasi beberapa hari yang lalu.
Realitas ini tentunya membangun perasaan skeptis terhadap peran kaum muda sebagai tongkat estafet penerus bangsa. Bahkan preferensi yang mau dicapai oleh bangsa Indonesia dipertanyakan oleh karena turbulensi kaum muda dalam hidup berbangsa dan bernegara yang tidak arif tersebut.
Secara tidak langsung realitas tersebut mau membangun opini dari kalangan publik, kemanakah kaum muda akan membawa bangsa ini? Apakah yang terjadi terhadap bangsa Indonesia ketika kaum muda zaman kontemporer ini semakin terdistorsi terhadap aturan dan norma yang berlaku? Mereka yang katanya tonggak masa depan bangsa sekaligus tongkat estafet pemegang kehidupan negara, kini terjerumus dan terperangkap dalam tindakan immoral dan ambivalensi dengan regulasi yang berlaku dalam negara. Sehingga estimasi yang terjadi ketika kaum muda membiarkan dirinya adhesif dengan tindakan tersebut adalah negara tidak akan mencapai sesuai dengan ekspektasi para founding fathers yakni menuju bangsa Indonesia yang maju.
Dalam historiositas kemerdekaan negara Indonesia, kemarin bangsa Indonesia memperingati hari sumpah pemuda yang ke-92 tahun. Suatu peringatan akan peristiwa dimana para kaum muda pada awal kemerdekaan dengan gigih dan semangat memelopori kemerdekaan bangsa Indonesia.
Secara gamblang, memperingati hari sumpah pemuda berarti mengenang kembali bagaimana para pemuda pada 92 tahun yang silam, tepatnya 28 oktober 1928 membuat reformasi demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Perjuangan merekalah yang mampu memberikan genjotan dan implikasi yang besar bagi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta ini.
Untuk itu, mestinya disadari oleh kaum muda saat ini bahwa perjuangan masa lalu oleh kaum muda harus dihidupkan dan digalakkan secara terus menerus. Jangan sampai kemerdekaan bangsa Indonesia hanya sekedar cover bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka, akan tetapi figur yang menjadi harapan bangsa tidak mencerminkan sesuatu yang merdeka melalui tindakan anomali terhadap norma yang ada.
Kaum muda harus mampu membangun spirit sebagaimana semangat dari kaum muda melalui deklarasi sumpah pemuda pada 92 tahun yang silam. Iklim perjuangan tersebut mesti memberi kita ruang dan peluang agar selalu membenahi diri dengan membuka cakrawala berpikir, yaitu semakin kreatif dan inovatif sehingga bisa berkompetitif dengan negara lain yang lebih maju.
Maka dalam rangka memaknai hari sumpah pemuda tahun ini, hemat saya kebobrokan karakter yang sebelumnya terpelihara dan tertanam dalam diri kaum muda harus ditanggalkan demi kemajuan dan tercapainya cita-cita bangsa. Ada beberapa tawaran pilihan solusi-modulatif yang hemat saya dapat diimplementasikan kaum muda dalam memaknai hari sumpah pemuda ini.Pertama, sikap realistis. Artinya bahwa kaum muda harus berani menghadapi apapun yang terjadi termasuk pelbagai tekanan dan tantangan zaman. Kaum muda harus penuh dengan keberanian menghadapi setiap persoalan hidup dan menyelesaikannya dengan bijaksana. Kurang lebih sikap ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Charles Darwin “survival of the fittest” yaitu kaum muda mesti mampu beradaptasi dengan lingkungan. Di tengah situasi pandemi ini, kaum muda harus berani menerobos dan beradaptasi sehingga Pembatasan Sosial Berskala Besar bukan menjadi halangan untuk tetap meraih kesuksesan dengan mencari pengetahuan secara luas melalui kepustakaan internet.
Kedua, sikap kritis. Tidak ayal, zaman ini antara fakta dan fiksi, antara nyata dan khayalan, dan antara berita hoax dengan berita benar sangat sulit dibedakan. Semuanya telah dibuat melalui narasi yang disusun secara sistematis dan terstruktur. Sehingga tidak heran, kalau ada begitu banyak orang yang terkerangkeng dalam pemikiran yang krisis nalar kritis dapat langsung mengkonsumsi dan menerima berita tersebut sebagai sesuatu yang benar.
Hemat saya, menanggapi polemik ini, kaum muda yang menjadi pioner dalam mencapai ekspektasi founding fathers mesti lebih banyak mengembangkan budaya literasi. Dengan maksud agar daya kritis terhadap setiap informasi yang diterima semakin meningkat. Lebih dari pada itu, agar kaum muda tidak bertindak secara emosional yang justru terjerumus ke arah destruktif-deviatif seperti tindakan demonstrasi beberapa hari yang lalu.
Oleh karena itu melalui hari sumpah pemuda yang ke-92 ini, kaum muda mestinya membangun spirit sebagaimana semangat kaum muda pada 92 tahun silam dengan menjadi kaum muda yang bersikap realistis dan kritis terhadap situasi yang ada.
Artikel Lainnya
-
18207/12/2024
-
180902/11/2020
-
68109/08/2021
-
Pergeseran Makna Sumpah Pemuda
104228/10/2021 -
164827/03/2020
-
Kasus Novel: Wayang-Wayang Yang Rakus
241906/01/2020