Pergeseran Makna Sumpah Pemuda
Momentum peringatan hari Sumpah Pemuda 28 Oktober mesti menjadi titik balik (turning point) untuk meninjau kembali konsistensi semangat Sumpah Pemuda kita. Pasalnya, melihat realitas saat ini, tak pelak kaum muda kian melampirkan fakta memilukan. Ketiga sumpah yang menjadi spirit dasar kepemudaan justru kehilangan posisi ontologisnya dalam praktik kehidupan kaum muda. Berseberangan dengan spirit dasar yang digelorakan dalam ketiga Sumpah Pemuda, kaum muda dalam praktiknya justru menjadi aktor utama yang membidani sejumlah praktik negatif-destruktif dalam kehidupan bersama.
Merefleksikan kembali pelbagai persoalan yang berkelindan di tengah kaum muda, kiranya dapat menjadi langkah awal untuk merevitalisasi spirit dasar Sumpah Pemuda yang sepanjang hari-hari ini kian luntur.
Apabila pada zaman perjuangan, momentum Sumpah Pemuda menjadi kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia, maka mestinya era sekarang semangat itu perlu digelorakan terutama untuk meminimalisasi celah bagi timbulnya pelbagai persoalan sosial dalam kehidupan bersama. Namun ironisnya, di tengah gempuran progresivitas IPTEK, muruwah Sumpah Pemuda justru semakin luntur. Keberadaan sejumlah persoalan sosial yang diaktori kaum muda justru mencederai semangat Sumpah Pemuda yang digagas dengan susah payah 93 tahun silam.
Sumpah pertama, "Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia", sepanjang hari-hari ini jutru dicemari dengan sejumlah masalah ideologi yang merongrong konsep berpikir kaum muda. Masifnya pengaruh globalisasi dalam berbagai sendi kehidupan ternyata telah diikuti oleh perkembangan paham liberalisme yang mengerucut pada budaya konsumerisme-hedonisme serta praktik neokolonialisme yang kini secara lambat laun, mulai menjajah konsep berpikir kaum muda.
Untuk konteks masa pandemi ini, budaya konsumtif dan hedonis ditunjukan dengan realitas hidup boros dan egoistis. Eskalasi penggunaan kanal Youtube, Tiktok, dan Instagram yang banyak memproduksi gambaran hidup glamor sebagai standar hidup maju oleh kaum muda justru diterjemahkan ke dalam daftar belanjaan yang menumpuk atas anjuran iklan-iklan. Padahal, di sekitarnya ada begitu banyak orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hariannya di tengah masa pandemi akibat di-PHK dan diberlakukannya kebijakan PSBB. Hal ini semakin diperparah dengan praktik neoliberalisme yang merambah kaum muda.
Hari-hari ini, kehidupan kaum muda kian dijajah oleh produk software house seperti Tiktok dan game online. Akibatnya, kehidupan kaum muda pun dideterminasi oleh produk-produk teknologi, misalnya dengan mendewakan like, komen dan subscribe, mengabaikan sekat privasi, mengambil jarak dengan realitas sosial, mengesampingkan norma dan nilai sosial, mengabaikan kebudayaan lokal serta mengamputasi solidaritas bersama.
Dalam realitas virtual, media sosial yang sejatinya menjadi locus ekspresi diri, diskusi, tukar gagasan serta menyalurkan informasi edukatif, justru berubah menjadi media caci maki, saling jegal, saling hina serta ranah persemaian bagi aneka cerita miring, dan fake news yang dapat berpotensi memecahkan semangat persatuan, merontokan kohesi sosial, serta menciptakan iklim disintegrasi.
Tidak hanya itu, di media sosial, konten pornografi dan link video dewasa dengan slogan #PemersatuBangsa, justru menjadi komoditas konten yang laris diproduksi oleh kaum muda. Secara implisit, realitas ini menggambarkan fakta bahwa ekistensi Pancasila sebagai wadah integrasi bangsa mulai dikesampingkan. Sebaliknya, kaum muda justru menjadikan hal remeh temeh dan destruktif seperti pornografi sebagai media integrasi.
Praktik Sumpah Pemuda yang kedua untuk mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, tak ubahnya masih jauh panggang dari api. Sepanjang hari-hari ini, kaum muda kian dirasuki oleh watak individualis, egosentris, mentalitas instan, tidak sabaran dan tidak menghargai proses, serta apatis terhadap realitas sosial. Hal ini tampak secara gamblang dalam problem-problem krusial semisal bully, pencurian, kekerasan, penipuan, serta sederet persoalan lain yang kian mewabah dalam kehidupan kaum muda.
Di samping itu, watak intoleran pun sepertinya kian tumbuh subur dalam praktik kehidupan kaum muda. Untuk konteks lingkungan sekolah misalnya, pada awal tahun 2020 yang lalu, di SMA 1 Gemolong, Sragen, seorang siswa aktivis keagamaan merundung siswi lainnya karena tidak berhijab (Kompas.com, 30/03/2021).
Ketidakmampuan menghargai perbedaan serta jiwa kecurigaan seperti dengan mudah menafsir perbedaan sebagai musuh, membentuk kaum muda menjadi pribadi yang intoleran. Tanpa disadari, sikap demikian terus dihidupi dan terbawa hingga ke kehidupan konkret di masyarakat.
Tengok saja, di tengah kian garangnya pandemi Covid-19 merenggut korban jiwa, kaum muda justru menunjukan sikap intoleran dengan membangkang dan apatis terhadap pelaksanaan protokol kesehatan. Watak individualis dan egosentrik yang tertanam dalam diri mereka, membuat kaum muda lebih mementingkan diri sendiri serta abai terhadap realitas di sekitarnya.
Sumpah Pemuda yang ketiga untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia juga dicederai oleh watak kaum muda yang mengagung-agungkan bahasa asing dan meminggirkan bahasa Indonesia. Nama dan judul film, lagu, kegiatan -meskipun isinya bermuatan Bahasa Indonesia- dilabeli dengan bahasa dan istilah asing.
Tuntutan pendidikan menjadi faktor utama kaum muda cenderung menggunakan bahasa asing. Ditengrai, kehilangan rasa percaya diri menggunakan bahasa Indonesia, serta watak rendah diri yang menggangap bahasa asing lebih bergengsi, bernilai, serta berdaya jual, menjadi alasan lain kaum muda lebih mengagungkan bahasa asing.
Akibatnya, batas antar bahasa menjadi kabur dan kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dikesampingkan. Keterpaparan ragam bahasa informal dan bahasa asing membuat kaum muda menjadi kikuk ketika berbahasa di ruang formal-akademis (Kompas, 12/10/2021), serta kalimat yang dilontarkan seringakali menabrak tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa Indonesia tidak lagi menjadi bahasa pemersatu sebab keterpaparan bahasa asing serta kebelumahiran berbahasa indonesia seringkali menimbulkan salah tafsir, salah paham, dan miskomunikasi yang berpotensi menciptakan konflik horizontal.
Realitas di atas sekurang-kurangnya mendedahkan kepada kita kealpaan bahwa Sumpah Pemuda kini menjadi janji verbalistis yang minus praktik. Ketiga sumpah yang digelorakan tidak lagi menjadi suatu sumpah yang bernilai sakral dan monumental karena impelementasi dari sumpah itu justru bertolak belakang (minus) dengan realitas yang terjadi.
Persoalan-persoalan di atas menjadi pekerjaan rumah yang mesti segera diselesaikan kaum muda saat ini. Semangat dan komitmen dari kaum muda untuk meminimalisasi atau bahkan sebisa mungkin mengatasi setiap persoalan yang ada merupakan langkah awal yang strategis.
Spirit dan militansi para pemuda dan pemudi Indonesia 93 tahun silam mesti menjadi pemicu dan pemacu motivasi kaum muda untuk berbenah diri. Membangun karakter berbasis nilai-nilai Pancasila, semangat toleransi, multikulturalisme, antirasisme serta senantiasa membudayakan semangat literasi kritis merupakan konkretisasi semangat sumpah pemuda di era sekarang. Jangan sampai momentum sumpah pemuda hanya menjadi upacara seremonial tahunan belaka yang ketiga sumpahnya semakin minus makna dan implementasi.
Artikel Lainnya
-
19727/09/2024
-
47012/07/2024
-
31920/10/2024
-
Indonesia Dalam Ancaman Kelangkaan Pangan Pasca Corona
277201/05/2020 -
Penyalin Cahaya (2021): Pelecehan Seksual dan Ketiadaan Ruang Aman Bagi Korban
184003/04/2022 -
Menyongsong Harapan Baru di Tahun Baru 2025
16801/01/2025