Wajah Sesungguhnya di Balik Tragedi Karikatur Nabi

Dunia kembali diramaikan oleh peristiwa sadis kala karikatur Nabi Muhammad dipertunjukkan dalam ruang kelas yang selanjutnya memicu pembunuhan seorang guru oleh muridnya.
Tidak berhenti sampai di situ, dalam penanganannya, kesalahpahaman justru mengakibatkan situasi panas menjadi semakin luas dan semakin dalam.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar mahzab atau aliran dalam agama Islam berpendapat bahwa penggambaran dari seorang Nabi adalah dilarang.
Saya katakan sebagian besar umat Islam karena jika kita mencari "lukisan Nabi Muhammad" dalam pencarian daring, maka ada beberapa dokumentasi lukisan yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad yang berasal dari kebudayaan Islam sendiri.
Secara umum, menggambarkan wajah Nabi saja sudah merupakan larangan, apalagi dengan maksud atau dengan impresi untuk mengolok-olok, mencemooh, bahkan menghina sosok manusia yang paling disucikan dalam agama Islam. Contohnya adalah karikatur yang diterbitkan oleh majalah Charlie Hebdo di Perancis yang kemudian memicu kemarahan umat Islam di berbagai penjuru dunia bahkan memicu tindakan kekerasan yang menargetkan staf majalah tersebut. Kantor redaksi majalah tersebut menjadi target serangan bom lalu pernah juga tiga orang bersenjata merangsek masuk kemudian menembaki orang-orang disana, dua belas orang meninggal dunia.
Yang dilakukan oleh guru dalam insiden pembunuhan seminggu lalu itu mungkin dianggap kesalahan oleh umat Islam. Namun, kemudian meresponnya dengan membunuh, dan tidak berhenti sampai di sana, lalu memenggal kepala guru tersebut sungguh di luar batas nalar. Tindakan ekstrem semacam ini justru menunjukkan ada masalah serius di sana.
Dalam berita, sikap negara Perancis cukup jelas: pembunuhan ini merupakan tindakan teror dan mencederai nilai-nilai kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi. Disebut sebagai tindakan teror karena pembunuhan ini selain mengancam keamanan dan keselamatan juga membuat keresahan dan ketakutan di masyarakat secara luas, terlebih kejadian pembunuhan bukan berasal dari kejadian tunggal, namun juga terjadi pembunuhan dan pemenggalan beberapa hari setelahnya.
Kejadian penusukan dan pemenggalan seorang guru lalu kejadian serupa beberapa waktu kemudian di Gereja Notre-Dame menunjukkan isu yang dipermasalahkan merupakan isu besar dan sangat sensitif bagi kelompok masyarakat umat Islam. Cukup sulit untuk menggambarkan bahwa penghinaan terhadap sosok suci dalam agama Islam bukanlah suatu hal yang sepele dan bagi sebagian dirasa amat sangat menyakitkan, sehingga bagi sebagian cukup untuk secara aktif melakukan sesuatu.
Kejadian di Perancis ini semata-mata merupakan tindakan main hakim sendiri. Persekusi dengan latar belakang agama ini terjadi antara lain karena rasa frustasi, merasa tidak adil diperlakukan, dan ketidakberdayaan. Jika melirik sejarah Perancis, revolusi terbesar yang dialami negara ini juga berasal dari rasa yang sama, namun berbeda latar belakang. Intinya seseorang/sekelompok orang dapat melakukan tindakan ekstrem sebagai kulminasi dari frustasi, frustasi, dan ketidakadilan yang dirasakan apalagi sudah berkepanjangan.
Di Indonesia kita juga pernah mendengar tindakan main hakim sendiri. Maling yang dianiaya hingga babak belur, bahkan ada juga satu dua berita yang mengabarkan ada pencuri yang dianiaya sampai mati. Dianiaya bukan hanya dipukuli atau ditendangi, beberapa kasus malah dibakar hidup-hidup. Sungguh merupakan suatu hal yang mengerikan dan sulit dibayangkan dapat terjadi pada zaman sekarang.
Tindakan main hakim sendiri dapat muncul karena tidakpuasan kinerja aparat penegak hukum sehingga alih-alih mempercayakan aparat hukum dan sistem hukum bekerja, orang-orang melakukan tindakan extrajudicial. Tindakan main hakim sendiri juga muncul karena suatu kejadian serupa terjadi berulang-ulang tanpa kejelasan negara menegakkan keadilan di masyarakat, baik karena prosesnya yang dianggap tidak selesai atau ditutup-tutupi.
Tindakan main hakim sendiri atau membalas dengan respon ultra berlebihan justru menunjukan ada permasalahan yang lebih besar pada perespon ketimbang peristiwa awalnya. Peristiwa yang terjadi malah memicu hingga menunjukkan suatu hal yang sama sekali berbeda, seolah membuka tabir dan menunjukkan sesosok wajah yang lebih berbahaya. Bagaimana tidak? Apakah yang dapat memaklumkan kesalahan seorang maling sehingga harus diganjar aniaya sampai babak belur atau mati? Apakah yang dapat memaklumkan kesalahan seorang guru yang menunjukkan karikatur Nabi untuk "dihukum" dengan cara ditusuk lalu dipenggal? Apa salahnya seorang umat gereja Notre-Dame sehingga diganjar tusuk dan penggal? Semoga para pihak menyadarinya.
Bagaimana seseorang dinilai salah satunya adalah dengan memperhatikan bagaimana seseorang tersebut bertindak dan merespon sesuatu. Bayangkan: "mata dibalas dengan mata" saja kadang dianggap masih belum cukup adil apalagi membalas suatu keburukan dengan kejahatan yang lebih besar? Hal ini disebabkan oleh virrtue akan suatu keadilan sangat sulit didapat dan memuaskan semua pihak.
Dalam kebebasan berekspresi itu sendiri pada prakteknya memiliki batasan: beberapa diantaranya antara lain bebas mengekspresikan sesuatu asalkan bukan fitnah, bukan suatu kebohongan, ofensif, bukan hasutan untuk makar, tidak memprovokasi untuk berbuat sesuatu yang melanggar hukum, tidak merendahkan martabat seseorang/golongan, serta termasuk perkembangannya saat ini: tidak melakukan doxing.
Lalu bagaimana dengan ujaran kebencian dan penghinaan? Dapatkah dalih kebebasan berekspresi membenarkan suatu ujaran kebencian dan penghinaan? Inilah yang menjadi simpul perdebatan dari berbagai pihak. Satu pihak merasa terhina oleh suatu kebebasan ekspresi, pihak yang satu lagi berkespresi saja sepanjang tidak melanggar hukum dan tidak melakukan larangan-larangan berekspresi.
Untuk meredakan keadaan yang sudah terlanjur parah ini memerlukan sumber daya dan energi yang sangat banyak, namun bukanlah hal yang mustahil .Kita menunggu bagaimana aparat penegak hukum dan sistem hukum bekerja dengan baik dan kita senantiasa optimis dalam hal kebaikan serta percaya bahwa keinginan untuk bersatu dan hidup damai berdampingan jauh lebih besar dari pecah belah dan kebencian.
Akhirnya semoga komunikasi yang lebih intens dan terbuka serta tenang mampu sedikit demi sedikit mengobati keadaan hingga lebih kondusif bahkan mampu menguatkan Perancis serta bahu membahu menjaga persatuan dan persaudaraan di sana.
Artikel Lainnya
-
99302/03/2022
-
41217/09/2021
-
110823/03/2021
-
Manusia adalah Serigala bagi Sesamanya
16010/11/2022 -
Urgensi Pendidikan Karakter di Era Millennial
65414/12/2021 -
Pandemi Covid-19 dan Pentingnya Sosialisasi Istilah-Istilah Asing
257331/05/2020