Demokrasi dan Logika Elite Politik Lokal

"Necessitas legem non habet" (Darurat tidak mengenal hukum) - Carl Schmitt.
Carl Schmitt memahami keadaan darurat bukan sebagai perang fisik, tetapi lebih kepada perang diskursus. Dalam perang diskursus, kebenaran mesti didekati dengan multiperspektif agar menghindari diri dari absolutisme kebenaran.
Kredo Schmitt tersebut sebetulnya lahir dari sebuah alasan yang melihat kebenaran sebagai keadaan darurat atau suatu situasi yang mendesak untuk didekati. Pada titik ini, konsekuensi logis yang muncul pada forum diskursus publik ialah menggunakan pelbagai sudut pandang apa saja demi sebuah kebenaran itu, bahkan dengan bermodus melampaui hukum.
Diskursus publik, sebagaimana bahasa Schmitt, dapat saya identikkan dengan demokrasi. Dalam dunia perpolitikan Indonesia, terminologi demokrasi lahir dan beradaptasi pada masa pasca reformasi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan demokrasi sebagai; 1) bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; 2) gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Pada aras ini dapat disimpulkan bahwa demokrasi ialah suatu bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam mengambil keputusan yang dapat mengubah hidup mereka ke arah yang baik (bonum commune).
Dalam mengambil keputusan ini, masyarakat diharapkan untuk bersama-sama bermufakat untuk membuat suatu kebijakan, peraturan, dan mengeliminasi semua hal yang mengganggu kesejahteraan hidupnya. Hemat saya, di sinilah masyarakat mesti mencari sebuah ruang berdemokrasi yang sehat dan tepat cara agar segala keputusannya dianalisis dan dievaluasi secara publik.
Demokrasi lokal di Indonesia tidak dapat terlepas dari istilah desentralisasi. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 berbicara tentang pentingnya pemerintahan daerah sebagai wujud konkret desentralisasi itu. Melaluinya, masyarakat lokal bisa mengatur rumah tangganya sendiri secara otonom.
Masyarakat kemudian bisa dengan bebas untuk berdemokrasi. Ruang demokrasi masyarakat lokal biasanya selalu diwarnai dengan kepentingan multiaspek demi tercapainya kemaslahatan bersama. Diantaranya ialah kepentingan politik, ekonomi, sosial-budaya dan pendidikan aras lokal.
Dalam tradisi orang Manggarai, NTT, ruang demokrasi biasa dikenal dengan istilah lonto leok. Secara etimologis, lonto leok berasal dari dua kata yakni "lonto" yang berarti duduk, dan "leok" yang berarti saling melingkar.
Jadi, lonto leok merupakan forum masyarakat Manggarai dalam berdemokrasi yang mana di sini mereka dapat duduk bersama dan saling melingkar persatuan satu sama lain. Tujuan dari kegiatan ini ialah untuk bermufakat atau berdemokrasi agar keputusan yang diambil sungguh-sungguh sebagai keputusan legitim bersama.
Dalam lonto leok tersebut, forum biasanya diatur oleh aktor-aktor politik yang berbasis golongan elite politik lokal. Mereka ialah tua golo (kepala suku), tua teno (tokoh adat yang membagi tanah), tua gendang (tokoh adat yang menjaga rumah adat), tua panga (tokoh adat yang mewakili suatu ranting keluarga), dan tua kilo (kepala keluarga).
Berdasarkan hasil studinya, Mauritius Van Pranata melihat bahwa kelima elite politik lokal di atas berpengaruh dalam memainkan politik lokal di Desa Compang Kempo, Manggarai Timur, NTT. Menyitir Pranata, kelompok inilah yang membuat dinamika politik yang begitu kuat di antara pasangan calon (paslon).
Senada dengan hal ini, Robert Van Neil menyebut kelompok ini (baca: elite) sebagai orang yang mempunyai stratifikasi di atas rakyat jelata dan memiliki kedudukan, memimpin, memberi pengaruh, menuntun dan mengatur masyarakat Indonesia (bdk. Mauritius Van Pranata, 2020: 3).
Selain kelima elite politik lokal di atas, forum lonto leok juga tidak dapat terlepas dari pengaruh perwakilan masyarakat lain yang hadir. Mereka hadir tentu saja tidak terlepas dari profesi mereka seperti tokoh agama, kepala desa, ketua RT, ketua RW, ketua lingkungan, pihak keamanan (Linmas) dan orang muda. Poin saya ialah kehadiran pihak-pihak tersebut turut mewarnai demokrasi yang sehat dan tepat cara dalam bangsa Indonesia secara khusus di Manggarai. Inilah yang kita sebut sebagai partisipasi politik.
Partisipasi politik yang melibatkan banyak pihak seperti contoh di atas, merupakan antitesis dari gagasan Paul Treanor. Paul Treanor (2001) telah menulis tentang "Why democracy is wrong?" Dia berkata bahwa demokrasi dapat menjadi sebuah kebohongan ketika adanya arus penyempitan ruang partisipasi masyarakat. Hemat saya, hal ini berkontradiksi dengan kenyataan yang ada dalam praktik demokrasi di Manggarai.
Kendati dalam lonto leok kita dapat melihat adanya partisipasi, tetapi belum tentu partisipasi yang mendarat dari beberapa pihak itu bersifat aktif. Pada titik ini, Amartya Sen menyebut ini sebagai partisipasi yang pasif (passive participation). Artinya, ada tendensi bahwa kebebasan berbicara dibatasi pada forum lonto leok tersebut (bdk. Lilijawa, 2010: 220).
Hemat saya, pembatasan berbicara dalam forum tersebut disebabkan dua hal, pertama, dominasinya opini elite politik lokal yang berekses pada sempitnya ruang berbicara bagi pihak-pihak yang juga hadir dan terlibat di forum. Alhasil, suara-suara dari pihak-pihak yang ada tersebut ditutup dan kurang diberi kesempatan pada saat diskusi.
Hal ini bermula dari sebuah pra-anggapan bahwa setiap pendapat dari forum pihak-pihak yang lain tersebut bernuansa perbedaan, takutnya nanti segala program elite politik lokal bersama dengan pasangan calon (paslon) ditolak oleh forum. Bahaya terkuak. Elite politik lokal dan paslon kemudian membentuk "tirani politik", kebenaran mereka kemudian sangat sulit untuk didekati. Kebenaran sepenuhnya milik mereka. Inilah yang mesti tidak kita harapkan dalam wajah demokrasi bangsa.
Kedua, adanya sandiwara untuk mencari kepentingan sendiri atas nama demokrasi. Menyitir Lilijawa (2010: 221), demokrasi di Indonesia sering diwarnai oleh sejumlah "dagelan politik", tingkat eksentrik dan jenaka para penguasa di atas panggung politik. Momen politik keseharian mempertontonkan badut-badut politik yang bersandiwara untuk mencari kepentingan sendiri atas nama demokrasi.
Pada titik ini, demokrasi bukan lagi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tetapi pemerintahan yang mengejimatkan kesaktian kata demokrasi sebagai mantra untuk menikmati demokrasi.
Kata demokrasi kemudian disulap sebagai kata sandiwara bagi akar rumput. Disebut penyulapan, karena janji-janji politik itu justru bermetamorfosis menjadi eksploitasi ekologi, pemerasan dan penaklukan terhadap rakyat di kemudian hari.
Pada pesta demokrasi 2020 mendatang, kita mesti jeli untuk mengerti logika elite politik lokal. Jangan sampai mereka berkolusi dengan bos lokal (sebagaimana Sidel), sehingga kebenaran paslon menjadi mutlak di forum demokrasi (lonto leok). Pada taraf ini, kesadaran otentik masing-masing calon pemilih mesti diperkuat. Sudah seharusnya kita kembali ke dalam diri, ke dalam hati nurani politik kita sendiri.
Artikel Lainnya
-
101327/03/2023
-
4105/10/2025
-
107526/12/2021
-
Refleksi 'Laudate Deum': Mengupas Penolakan KWI atas Kebijakan Tambang Jokowi
21608/06/2024 -
Kesetaraan Gender dalam Jurnalisme di Indonesia
65715/11/2023 -
110806/11/2020